Petani di Lembor Kesal Terhadap Wabup Maria Geong

FLORESA.CO – Meskipun hujan terus mengguyur selama dua hari berturut-turut, namun rumah Benediktus Pambur di Kampung Golokoe, Desa Ngancar, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) masih ramai didatangi para peserta pelatihan pengelolahan pangan lokal pada Rabu, 29 Juni 2016.

Sebagian besar dari sekitar 60 peserta itu adalah ibu-ibu dari empat desa di Kecamatan Lembor dan Lembor Selatan, antara lain Desa Ngancar, Desa Siru, Desa Liang Sola dan Desa Wae Mose.

Mereka tergabung dalam Aliansi Petani Lembor (APEL), sebuah kelompok petani yang fokus pada pengembangan dan pengolahan benih lokal, salah satunya sorgum.

Dalam acara itu, para petani mengharapkan kehadiran Wakil Bupati Mabar, Mario Geong dan pejabat dari beberapa dinas terkait, antara lain Dinas Pertanian, Badan Ketahanan Pangan serta Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi.

Karena itu, di rumah Benediktus, yang merupakan Ketua APEL, semua orang tampak sibuk. Beberapa perempuan dan laki-laki mengenakan busana adat.

Menurut Benediktus, persiapan itu sudah dilakukan jauh-jauh hari. Beberapa hari terakhir mereka bahkan tidak tidur demi merancang acara dan mengemas sorgum dalam berbagai ukuran.

“Kehadiran ibu wakil bupati dan para kepala dinas sangat penting bagi kami untuk menyebarluaskan gagasan pengembangan benih lokal dan pemanfaatannya kepada masyarakat luas di tengah ancaman penyeragaman pangan selama ini terutama di Lembor,“ tuturnya.

Namun, dalam pertemuan hari itu, Maria Geong maupun para pejabat lain yang diundang tidak hadir. Yang bersedia memenuhi undangan mereka hanyalah aparatur desa dan kecamatan.

“Kita sangat kecewa. Padahal, kami sudah siap penyambutan dengan acara adat,” kata Benediktus.

Menurut ceritanya, penetapan agenda pelatihan itu berdasarkan pertimbangan Maria Geong sendiri, yang menentukan kapan waktu yang tepat sehingga ia bisa hadir dalam acara tersebut.

“Tetapi pagi ini, kami sudah siap, ternyata ibu tidak datang. Setelah ditelpon, dia ternyata ada urusan di Kupang.” katanya.

Dari Dinas Pertanian yang sangat erat kaitannya dengan kegiatan pelatihan tersebut, tak satu pun yang hadir.

“Kemarin (Selasa – red) ditelepon dari Dinas Pertanian bahwa kepala dinas di Bali sehingga berhalangan hadir. Namun, diberitahukan ada utusan yang menghadiri acara tersebut. Tadi pagi, tiba-tiba ditelepon, tidak ada yang bisa datang, karena ada urusan mendadak di kantor,” katanya lagi.

Sejak terbentuk tahun 2008, APELyang kini beranggotan 167 petani menjadi salah satu kelompok yang aktif memetahkan masalah pertanian dan bersama-sama mencari solusi.

Beberapa persoalan pertanian yang mereka petakan antara lain, praktik pertanian yang mengandalkan benih hibrida dan pestisida kimia, sentralisasi tanaman padi, hama, dan menurunnya debit air.

Akibat dari persoalan tersebut, petani tidak sekadar mengalami gagal panen, tetapi juga gagal pangan.

Lembor, daerah yang dijuluki “lumbung padi” di Provinsi Nusa Tenggara Timur itu pun rentan terhadap rawan pangan.

Tercatat di Kecamatan Lembor, ada sekitar 2.781 rumah tangga miskin yang tersebar di 15 desa langganan menerima beras miskin (raskin). Jumlahnya mencapai 41.715 ton per bulan.

Di tengah persoalan tersebut, pengembangan benih lokal adalah langkah alternatif sekaligus mampu mengembalikan kedaulatan petani yang sudah sangat tergantung kepada pengembangan benih hibrida. Benih lokal dinilai organik, hasilnya melimpah, berbiaya murah dan tahan terhadap kondisi kekurangan air.

Sorgum adalah salah satunya. Selama periode 2015-2016, para petani APEL mengembangkan sorgum di atas lahan seluas 20-an hektar.

Dalam pelatihan pada Rabu lalu itu, sorgum tidak hanya dibuatkan dalam kemasan tetapi juga diolah agar bisa menjadi kue dan pangan alternatif lainnya.

Kini, penting bagi petani APEL agar refleksi menggeluti pertanian itu semakin tertular kepada petani lain. Pemerintah diharapkan turut mendukung kegiatan tersebut.

Ketidakhadiran Maria Geong dan para pejabat lain tidak hanya dikeluhkan para petani.

Romo Beny Jaya dari Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Keuskupan Ruteng yang juga hadir dalam pertemuan APEL juga kecewa, karena menurutnya acara itu sangat penting bagi kehidupan petani.

Sementara, Edward Angimoy, Wakil Direktur LSM Sunspirit for Justice and Peace mengatakan, ketidakhadiran itu bisa mencerminkan ketidakhadiran pemerintah dalam seluruh persoalan petani.

“Kenyataan demikian harus dikatakan secara tegas. Jangan sampai kebiasaan itu terus terulang dan tersistematisasi” jelasnya.

Dalam nada kesalnya, Aven Turu, petani dari Raminara, Desa Siru mengatakan, “mereka (pemerintah) ini kerja untuk siapa sebenarnya?” (Greg/ARL/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini