Dilema Kedaulatan Pangan dan Duka Petani Lembor

Oleh: EVERD DANIEL

“Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman”

Demikian lirik lagu dengan Judul Kolam Susu, yang dipopulerkan Koes Plus, grup band legendaris tanah air. Lirik tersebut bercerita tentang kekayaan alam nusantara yang begitu luar biasa.

Dengan kekayaan yang ada, terkadang tidak memberi jaminan kolektif terhadap unsur pemenuhan hak dasar masyarakat, termasuk untuk kebutuhan pangan. Ini sebuah ironi bagi negara agraris.

Sesuai hakekatnya, pangan adalah kebutuhan pokok yang mutlak dan harus dipenuhi (basic needs). Diskursus pangan menjadi sebuah esensi dasar yang memiliki implikasi serius bagi kelangsungan hidup manusia.

Akses pemenuhan dan ketersediaan pangan secara global seringkali menjadi persoalan mendasar. Data badan PBB untuk Pertanian dan Tanaman Pangan (Food and Agriculture Organization, FAO), setidaknya ada 925 juta orang kelaparan dan tidur dalam kondisi perut lapar. Satu dari tujuh orang kekurangan pangan setiap hari.

Diskursus pangan merupakan suatu tema global yang cukup seksi dan kompleks.

Menyadari pentingnya arti pangan bagi kehidupan, FAO mengajak masyarakat memperingati hari pangan yang jatuh pada setiap tanggal 16 Oktober.

Apabila diamati lebih dekat, isu pangan cukup menarik dikaji dari ruang lingkup nasional. Lebih khusus, permasalahan pangan di daerah.

Menarik karena, Indonesia yang dijuluki sebagai negara agraris, kerap menjumpai permasalahan dalam konteks keberpihakan terhadap petani.

Belakangan ini, permalasahan pangan tidak hanya berkutat soal akses pemenuhannya. Lebih luas, pengaruhnya menyangkut kehidupan sosial masyarakat.

Di banyak contoh kasus, konteks pangan kerap melatari munculnya ketidakadilan. Seperti perampasan tanah (land grabbing), alih fungsi lahan, dan fenomena kepentingan modal di balik itu.

Situasi ini memicu implikasi serius mengingat peran dan fungsi tanah sangat fundamental bagi masyarakat petani.

Selain sebagai tempat untuk hidup, tanah sebagai sumber kesejahteraan (the source of life) dan faktor produksi utama bagi masyarakat agraris mengakses kesejahteraan.

Kuatnya ketergantungan itu, sayangnya tidak dilirik negara dalam upaya mempertahankan hak-hak dasar warganya. Masyarakat sebagai kelas minoritas justru hanya menerima resiko ancaman, dikerdilkan haknya di atas tanah sendiri.

Petani Lembor dan Kisah Ketidakadilan

Pada masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, slogan Nawacita dijadikan program prioritas menuju perubahan Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Dalam beberapa poin Nawacita, konsep kedaulatan pangan masuk agenda prioritas. Nawacita diharapkan dapat menyuguhkan energi baru bagi petani dan memuliakan sektor pertanian di tanah air.

Di samping Nawacita, ada jaminan konstitusi dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani menuju kedaulatan pangan.

Sesuai terminologinya, kata kedaulatan berarti harus mampu mandiri. Jika dikaitkan dalam konteks kedaulatan pangan, maka bermaksud mengurangi ketergantungan impor dan dampak dari itu adalah mewujudkan kesejahteraan petani.

Namun kenyataannya, situasi yang terjadi tidak demikian. Cita-cita kedaulatan pangan dan UU hanya menjadi slogan dan seakan masih melenceng jauh dari harapan.

Makna program Nawacita dan UU pemberdayaan petani belum diejawantahkan secara konkret. Kondisi ini terlihat ketika petani seringkali dirampas haknya dan menjadi korban kebijakan dari program pertanian pemerintah.

Misal, program penetapan 100 ha lahan untuk pencetakan sawah baru yang menjadi bumerang bagi petani di Raminara, Desa Siru, Kecamatan Lembor, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.

Para petani merasa dikorbankan karena pencetakan sawah dilakukan lewat cara penggusuran hasil komoditas pertanian warga seperti sorgum, jagung dan kacang hijau.

Duka petani Lembor semakin terasa saat penggusuran terjadi di atas lahan pertanian siap panen. Tiga hektar lahan sorgum dan dua hektar lahan kacang hijau terbengkalai.

Penggusuran itu terjadi bersamaan dengan upaya intimidasi, di mana tentara dilibatkan. Fenomena penggusuran lahan pertanian secara serampangan merobek cita-cita kesejahteraan sekaligus media sistematis merusak kolektivitas sumber mata pencaharian masyarakat.

Kisah ketidakadilan yang dialami petani Lembor menjadi cerminan kritis bahwa hakekat menjamin kolektifitas hak masyarakat belum terwujud.

Dilema Menuju Kedaulatan Pangan

Praktek dan cara-cara sistematis semisal penggusuran lahan pertanian secara perlahan mereformasi ruang hidup masyarakat petani.

Bahkan lebih parah, dikuatirkan, secara perlahan menggerus identitas Indonesia sebagai negara agraris.

Jika demikian, maka akan muncul dilema dan sikap skeptis terhadap cita-cita kedaulatan pangan.

Ada beberapa faktor yang memperburuk situasi pertanian di tanah air. Misalnya, penggunaan kekerasan lewat aksi perampasan lahan dan berkembangnya fenomena konflik agraria.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang tahun 2014 terjadi 472 konflik agraria di atas lahan seluas 2.860.977,07 hektar dengan melibatkan 105.887 Kepala Keluarga (KK).

Konflik agraria tertinggi terjadi di sektor infrastruktur sebanyak 215 kasus (45,55%), sektor perkebunan 185 kasus (39,19%), Kehutanan 27 kasus (5,72%), Pertanian 20 kasus (4,24%), Pertambangan 14 kasus (2,97%), Perairan dan kelautan 4 kasus (0,85%), lain-lain 7 kasus (1,48%).

Keadaan ini sangat berbahaya karena beriringan dengan tingkat penurunan angkatan kerja di tingkat petani.

Data Kementerian Pertanian (2015), jumlah angkatan tenaga kerja petani dan buruh tani mengalami penurunan. Tercatat, pada periode 2003-2013 jumlah petani masih mencapai 31 juta jiwa.

Namun, pada kondisi sekarang, angka itu mengalami penurun menjadi 26 juta jiwa. Artinya, Indonesia telah kehilangan 5 juta petani dalam kurun waktu kurang lebih 10 tahun terakhir.

Melihat fenomena yang terjadi, eksistensi sektor pertanian semakin terancam. Salah satunya dikarenakan belum adanya garansi kebijakan.

Indonesia: Pasien Impor

Rendahnya jaminan di sektor pertanian secara nyata berdampak buruk bagi stabilitas ketahanan pangan nasional. Sebagai salah satu negara penghasil beras terbesar dunia, Indonesia justru sering menjadi pasien impor negara lain.

Menurut data FAO, pada tahun 2010 Indonesia termasuk dalam 7 besar negara dengan tingkat angka ketersediaan pangan terendah.

Sebagai negara agraris, Indonesia belum mampu menjadi basis produksi pangan dunia. Sebaliknya, cerita ketergantungan pangan tengah menjadi dilema baru. Secara fakta, eksistensi Sumber Daya Alam Indonesia belum membawa pengaruh signifikan. Setidaknya untuk menekan angka impor pangan yang meningkat setiap tahun.

Berdasarkan grafik impor, Indonesia masih memiliki ketergantungan yang kuat dengan negara benua Asia lainnya dalam sektor impor komoditas pangan.

Sepanjang tahun 2012, impor beras Indonesia mencapai 1,8 juta ton dengan nilai US$ 945,6 juta. Negara terbesar yang memasok beras ke tanah air adalah Vietnam (1,1 juta ton) senilai US$ 564,9 juta, Thailand (315,4 ribu ton) dengan nilai US$ 186,2 juta, India (259 ribu ton) dengan nilai US$ 122,2 juta, Pakistan (133,1 ribu ton) nilai US$ 52,5 juta, China (3.099) ton dengan total nilai US$ 11,2 juta dan negara lainnya. (Asia Business Info, 2013).

Terdapat beberapa jenis komoditas pangan yang masih terus di impor hingga bulan November 2013.

Komoditas bahan pangan tersebut antara lain: beras, jagung, kedelai, gula, garam, minyak goreng, susu, kelapa sawit, lada, teh, kopi, cengkeh, kako, ubi kayu, dan kentang. Ironis ketika melihat komposisi pangan yang diimpor pemerintah karena pada dasarnya Indonesia sendiri seharusnya bisa mandiri memproduksi komoditas tersebut.

Keadaan itu mendeskripsikan Indonesia tengah berada dalam ancaman. Dikhawatirkan, pola produksi pertanian ikut dikontrol jaring-jaring kuasa Neoliberal yang pro kepentingan asing dengan konsep liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi.

Tidak ada pilihan lain di samping menafsirkan ulang program Nawacita pemerintah demi menjaga kedaulatan pangan. Eksistensi pangan harus tetap dijaga agar Indonesia tidak kehilangan identitas sebagai negara agraris.

Penulis adalah lulusan Hubungan Internasional Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, kini tinggal di Jakarta

spot_img

Artikel Terkini