Polres Sikka Dikecam Terkait Perlakuan Kasar Kepada Aktivis Cipayung

Floresa.co – Kepolisian Resor Sikka-Floers, NTT dikecam terkait tindakan kekerasan kepada para aktivis Cipayung dalam aksi demonstrasi di lapangan Kota Baru, Maumere pada Kamis 19 Mei lalu.

Aksi kelompok mahasiswa Cipayung yang terdiri dari PMKRI Cabang Maumere, GMNI Sikka dan PMII Sikka dilakukan pada saat Tour de Flores (TdF) memulai etape pertama dari kota Larantuka menuju Maumere.

Saat itu para mahasiswa menuntut Bupati Sikka untuk menyediakan dokter kandungan di daerah itu. Karena menurut mahasiswa selama ini Sikka ketiadaan dokter kandungan.

Demo ini tidak mendapat persetujuan dari Kepolisian karena saat bersamaan sedang berlangsung event balap sepeda TdF. Setelah melalui proses negosiasi, bentrok akhirnya pecah antara mahasiswa dan aparat kepolisian.

Sejumlah mahasiswa mengaku mendapat perlakukan kasar bahkan pelecehan seksual.

“Kapolres Sikka dan seluruh anak buahnya harus bertanggung jawab kepada warga masyarakat Sikka dan kepada masiswa kelompok Cipayung Sikka atas perlakuan kasar yang berkategori penganiayaan dan pelecehan seksual terhadap Mahasiswa Kelompok Cipayung Sikka Maumere,”ujar Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPID) Petrus Salestinus dalam pernyataan yang diterima Floresa.co.

BACA JUGA:

Menurut Petrus, aksi mahasiswa saat itu adalah aksi yang konstitusional terutama hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Apalagi, lanjutnya, aksi tersebut merupakan advokasi sosial yang bertujuan mengingatkan Bupati Sikka Joseph Ansarera akan tugas dan tanggung jawabnya terhadap persoalan kesehatan masyarakat khususnya Ibu-Ibu Hamil.

Dari sisi, persyaratan untuk melakukan demonstrasi, menurut Petrus tidak ada peraturan yang dilanggar oleh mahasiswa.

Menurutnya, berdasarkan investigasi TPID, para mahasiswa sudah memberitahukan secara tertulis kepada Kapolres Sikka pada tanggal 18 Mei 2016, dengan target Kantor Bupati Sikka, dengan kekuatan massa aksi di bawah 100 orang.

“Sehingga dengan demikian mengenai persoalan prosedur melaksanakan kegiatan penyampaian pendapat di muka umum, Mahasiswa Kelompok Cipayung Sikka, telah memenuhi syarat atau prosedur, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri No: 9 Tahun 2008, Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan Dan Pengamanan Perkara Penyampaian Pendapat Di Muka Umum,”ujar Petrus.

Berdsarkan pemberitaan di media massa dan hasil investigasi TPDI, kata dia, tidak terdapat pelanggaran, baik terhadap syarat formil dan materil, yang dilakukan oleh Kelompok Mahasiswa Cipayung Sikka sebagaimana digariskan dalam pasal 19 Peraturan Kapolri No:9 Tahun 2008, seperti soal lokasi atau tempat, waktu dan rute, tidak ada pemblokiran jalan atau kegiatan yang membahayakan pemakai jalan, tidak ada aksi bakar-bakar ban atau intimidasi yang mengganggu ketertiban umum, tidak terjadi peristiwa yang bersifat anarkis atau pelanggaran pidana yang dilakukan oleh Mahasiswa Kelompok Cipayung Sikka dan terlebih-lebih tidak menimbulkan kerusuhan massal.

“Sehingga disini jelas terjadi kontradiksi antara kejadian aksi unjuk rasa mahasiswa dengan cara bertindak Kepolisian,”ujarnya.

Karena itu, menurutnya cara bertindak yang dilakukan oleh Polres Sikka terhadap Mahasiswa Kelompok Cipayung Sikka yang berunjuk rasa, telah melampaui batas dan tahapan penindakan, “bahkan Polisi patut diduga telah bertindak sebagai preman bayaran Bupati Sikka untuk mengintimidasi Mahasiswa, menganiaya bahkan disebut-sebut terdapat anggota Polisi yang sambil menindak atas nama negara, tetapi juga sekaligus melakukan pelecehan seksual terhadap peserta aksi unjuk rasa.”

“Ini adalah kejahatan dalam tugas jabatan di mana Polres Sikka tidak menggunakan akal sehat sehingga tidak mampu membedakan mana penindakan dan tahap-tahap penindakan dan mana yang premanisme, brutalisme dan mana yang merupakan tindak pidana dan pelanggaran terhadap etika dalam tugas pelayanan,”ujarnya. (*Floresa)

spot_img

Artikel Terkini