Menyesatkan, Kisah Manggarai Sebagai Hadiah Perkawinan

Oleh: AGUSTINUS BANDUR

Tulisan ini terdorong oleh harapan Vianney Andro Prasetyo, agar ulasan ilmiahnya berjudul Potret Sejarah Manggarai dalam Sejarah Nusantara: Sebuah Studi Literatur yang dipublikasi Floresa.co pada 2 Mei 2016, bisa menjadi referensi bagi masyarakat yang ingin belajar tentang Manggarai.

Harapan tersebut tentu dapat diterima ketika kajian literatur dibuat berbasis riset empiris, baik riset sosial-antropologis maupun studi-studi arkeologis dan antrolingustik tentang Manggarai.

Sebaliknya, cukup sulit untuk tidak mengatakan bahwa banyak literatur tentang Manggarai dapat menyesatkan kita. Bagaimana tidak, literatur-literatur tersebut tidak konsisten antara yang satu dengan yang lainnya.

Karena itu, sikap kritis dibutuhkan untuk menilai mana literatur yang menyesatkan karena terkandung tujuan-tujuan terselubung dalam rangka egoisme, keserakahan, dan pelanggengan kekuasaan di balik kisah-kisah tersebut.

Tulisan ini difokuskan pada salah satu klaim tentang Manggarai sebagai suatu hadiah perkawinan.

Bukan Informasi Baru   

Klaim bahwa Manggarai pernah dijadikan hadiah perkawinan bukanlah informasi baru. Seorang putera asli Todo-Pongkor, Dami N. Toda yang pernah studi dan hidup di Jerman serta menguasai dokumen-dokumen sejarah Manggarai berbahasa Belanda dan Inggris, sangat terang benderang menjelaskan klaim tersebut dalam bukunya berjudul, “Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi” (Toda, 1999).

Dia membuka wawasan kita yang pernah membaca buku tersebut bahwa tidak terdapat konsistensi kebenaran dalam literatur mengenai siapa yang menyerahkan Manggarai, apakah Sultan Bima atau Kesultanan Goa.

Beberapa sejarahwan asal Belanda, Bima dan Manggarai (Chamber-Loir, 1982; Colenbrander, 1925; Gordon, 1975; Hemo, 1987; Sjamsuddin, 1989) konsisten mengatakan bahwa Kesultanan Goa menyerahkan Manggarai sebagai hadiah perkawinan kepada Sultan Bima.

Sebaliknya, beberapa antropolog dan sejarahwan lainnya (Erb, 1987; Zollinger, 1850; Morris, 1891) menjelaskan bahwa Bima membayarkan tanah Manggarai sebagai mas kawin kepada Goa.

Ketiga ahli terakhir ini searah dengan apa yang ditulis Vianney Andro Prasetyo berikut ini:

“Pada tahun 1727, seorang putra Sultan Bima mempersunting seorang Putri dari Kesultanan Makassar, Puteri Daeng Tamima. Kawasan Manggarai kemudian diserahkan sebagai hadiah perkawinan dan Puteri Daeng Tamima mendirikan Kerajaan Islam di Reo, pantai utara Manggarai. Sultan Musa Lani Alima dari Bima ternyata tidak setuju menjadikan Manggarai sebagai hadiah kepada Kesultanan Makassar. Maka, pada tahun 1732 dibentuklah persekutuan dengan Bajo untuk menyerang Reo dari laut dan mengusir orang Makassar di Reo.”

Kritikan Dami Toda

Dami Toda sangat tajam mengkritik literatur-literatur yang disebutkan di atas.

Pertama, dia mengkritik Professor Maribeth Erb yang searah dengan tulisan-tulisan Zollinger dan Morris bahwa klaim mereka tentang Bima yang “membayarkan tanah Manggarai sebagai mas kawin kepada Goa” tidak berdasarkan pada fakta sejarah faktual dan bahkan “tanpa kebenaran historis dan antropologis.”

Ia juga mengkritik kelima penulis sejarah Manggarai (Chamber-Loir, 1982; Colenbrander, 1925; Gordon, 1975; Hemo, 1987; Sjamsuddin, 1989) yang mengklaim pemberian Gowa sebagai mas kawin dan hadiah perkawinan kepada Bima.

Menurutnya, kelima penulis ini “menafikan kebenaran kewajiban adat menurut hukum adat antropologis setempat sekitar pembayaran mas kawin bahwa pihak pengantin laki-lakilah yang berkewajiban membayar mahar kawin, bukan pihak pengantin wanita.”

Namun demikian, jika klaim mereka benar (terlepas dari kemunafikan hukum adat antropologis di Bima, Goa-Tallo, dan Manggarai tentang sunrang, belis atau paca), kelima penulis itu secara implisit menjelaskan bahwa Bima tidak pernah menguasai Manggarai karena Goa yang memberikan hadiah perkawinan tersebut kepada Bima.

Kedua, Dami Toda juga meneliti dasar-dasar hukum tertulis dari klaim tentang Manggarai baik sebagai bélis Bima kepada Goa maupun sebagai hadiah perkawinan Goa terhadap Bima.

Dia kemudian menemukan bahwa “satu-satunya sumber tertua yang memberitakan Manggarai sebagai mas kawin dan hadiah perkawinan ialah ‘memorie’ Josua van Arrewijne, Wali Negeri Belanda di Makassar (1728-1733), yang menuliskan bahwa pada kesempatan perkawinan putra mahkota Bima dan putri Goa pada 5 April 1727 tersebut “het land Manggarai door den Koning van Bima als bruidschat (soenrang) aan den Koning van Goa was afgestaan (tanah Manggarai diserahkan sebagai mahar (sunrang) oleh raja Bima kepada raja Goa).

Selain catatan memoar tersebut, tidak ada dokumen lainnya yang mendukung klaim Manggarai dijadikan mas kawin atau hadiah perkawinan.

Ketiga, kritikan Dami Toda (1999) terhadap berita Manggarai sebagai mahar kawin atau hadiah perkawinan juga sangat kuat dengan melihat cara penulisan tahun berita tersebut. Ia menulis, “bahwa penahunan terhadap berita yang tersebar itu bertahun Latin, tidak ditandai penanggalan tahun hijriah Nabi s.a.w seperti biasa muncul pada karakter penulisan berita-berita Kerajaan Goa-Tallo ataupun tahun naskah berbahasa Melayu di Bima.” hlm. 112.

Kemudian, dalam Catatan Harian Raja-raja Goa-Tallo yang terkenal teliti mencatat peristiwa-peristiwa sekitar tokoh istana, tidak terdapat tanda-tanda tentang berita mahar kawin berupa tanah Manggarai pada perhelatan perkawinan yang telah rutin berjalan sekitar 100-an tahun antara istana Goa dan Bima.

Dami Toda (1999) pun menyimpulkan dengan yakin bahwa “dari segala sudut penilaian, isu Manggarai menjadi “mahar kawin” tersebut di atas sangat “aneh dan asing” dan hanya mungkin ditafsirkan sebagai isu politik, didorong-dorong dan disebarkan pihak Belanda di dalam situasi kesekaratan kekuasaan Goa-Tallo di Makassar.

Isu itu pun terbukti hanya beredar dan populer di kalangan persekutuan Belanda – Bima tanpa diketahui Makassar, apalagi Manggarai yang dijadikan obyek isu.” hlm. 117.

Ulasan Vianney Andro Prasetyo mengenai keberatan Sultan Musa Lani Alima dari Bima menjadikan Manggarai sebagai hadiah kepada Kesultanan Makassar tampak tidak utuh, jika dibandingkan dengan penjelasan Toda (1999) bahwa “Tidak kalah janggalnya pula, bila berdasarkan narasumber Belanda, Zollinger (1850:212), Veth (1850: 171), Morris (1891: 229), Coolhaas (1942) pun melaporkan isu “bruidschat”, Manggarai tersebut ditolak diakui pihak Bima karena tidak memiliki bukti kontrak tertulis.” hlm. 117.

Ketidakutuhan yang lain dari ulasan Prasetyo ialah tentang siapa itu Sultan Musa Lani Alima dan siapa putera sultan Bima yang menikah tahun 1727.

Namun, ketidakcukupan ulasan tersebut dapat dipahami dari buku Dami Toda bahwa “isu mengenai tokoh yang dinamakan Sultan Musa Lani Alisa tersebut adalah tidak lain dari  “Sang Pengantin Laki-laki” itu sendiri: Sultan Ala’uddin Muhammad Alisah yang naik takhta kerajaan Bima tanggal 9 Mei 1731.” hlm. 114.

Ceritera penolakan tersebut pun disebarkan oleh pihak Belanda dan dikutip oleh sejarahwan asal Belanda pada tahun 1850, 1891 dan 1942.

Catatan Awal Hasil Riset

Penulis sendiri sejak tahun 2008 mulai melakukan riset tentang sistem budaya Flores dengan fokus utama pada sistem sosial Kabupaten Manggarai Raya, Ngada, dan Nage Kéo.

Salah satu tujuan utama penelitian ialah untuk membandingkan kepemimpinan adat dengan kepemimpinan modern dengan penekanan utama pada karakteristik kepemimpinan sistem adat dengan sistem pemerintahan birokrasi.

Penulis membagi rute penelitian ke dalam dua kategori, pertama, kategori kampung-kampung yang diyakini lebih dahulu berada di Flores, dan kedua, kampung-kampung yang datang kemudian lalu berinteraksi dengan kampung-kampung yang sudah lama ada.

Misalnya, sebelum kedatangan Empo Masyur yang tiba di Warloka, lalu ke Lalé Lombong, Kilor dan Todo Koé, sudah ada kampung Ndoso di Desa Waé Mowol, Kecamatan Lémbor.

Dikisahkan keturunan yang masih hidup sampai saat ini bahwa nenek moyang salah satu uku  di Ndoso hidup berdampingan dengan empo rua, manusia hutan berbadan pendek dan berbulu.

Demikian juga dikisahkan oleh seorang kakek berusia lebih dari 80 tahun di Kampung Ncamar, Poco Léok bahwa sebelum ada empat suku yang dibentuk Todo-Pongkor di Poco Léok, Kampung Ncamar sudah ada dan nenek moyang mereka masih tinggal di belang, sejenis rumpun bambu tetapi diyakini memiliki kekuatan mistis.

Selain itu, seperti dikisahkan tokoh-tokoh adat di Kolang Koé-Papang, Satar Mésé bahwa Empo Poca dulu hidup di belang sebelum pindah ke kampung Desu, Desa Gulung, Satar Mésé Barat karena tidak nyaman hidup bersama pendatang baru keturunan Wangsa Ngkuléng yang dikisahkan Dami Toda berasal dari keturunan Turki, mendarat di Nanga Rawa, lalu ke Mandosawu dan kemudian tersebar ke Lambaleda, Riwu, Cibal, dan Sita.

Penelitian pun dilanjutkan ke Desu untuk mengklarifikasi hubungan anak rona antara Todo dengan Desu. Dikisahkan oleh tetua adat Desu bahwa Empo Masyur menikahi puteri Empo Poca bernama Rewung Ngoél.

Data-data awal juga telah diperoleh dari kampung Masang Pacar dan Kasong Manggarai Barat; Kénggu, Lamba, dan Nampé di Kecamatan Lelak; Kampung Rampasasa, Liang Bua; Solo di Boawae dan So’a di Ngada.

Hasil analisis data sementara telah menghasilkan tiga kesimpulan sementara bahwa pertama-tama, leluhur orang Manggarai menjalani hidup independen dengan alam hutan sejak zaman dahulu kala.

Mereka hidup pada zaman batu, terbukti dari batu api dan peralatan berburu dari batu yang masih tersisa di kuburan-kuburan tua di Manggarai, termasuk kuburan Empo Poca di Poco Weri Ata, Desu.

Kendatipun sistem sosial budaya belum terbentuk dengan teratur pada leluhur Manggarai purba, mereka memiliki keyakinan terhadap kehidupan setelah kematian, terbukti dari ritual-ritual dengan Sang Wujud Tertinggi yang dinamakan Jari agu Dédék, awangn éta, tanan wa. Sang Wujud Tertinggi diyakini sebagai Yang Menghidupkan (Jari) dan Menciptakan (Dédék).

Percaya akan hidup setelah kematian juga nyata dalam komunikasi dengan para leluhur nenek moyang serta asé kaé ata pa’ang blé yang diyakini menetap di boa (kuburan) dan harus diundang ke béo untuk bersama-sama mengikuti ritual-ritual adat yang telah dijanjikan leluhur dan nenek moyang.

Leluhur orang Manggarai juga memiliki relasi yang harmonis dengan roh-roh alam, baik roh-roh halus dan bidadari maupun berelasi dengan roh-roh jahat untuk tujuan-tujuan personal yang tidak bisa dicapai dengan cara-cara data raja leso (manusia) sehingga mengandalkan poti raja wié (setan dan roh jahan yang hidup pada malam hari).

Relasi yang kuat dengan Wujud Tertinggi, leluhur, dan roh-roh pelindung nyata dalam ritual-ritual adat di compang (mesbah sesajian ritual), waé barong (mata air mistis), boa (kuburan). Intisari dari ritual-ritual tersebut ialah untuk kehidupan komunitas yang visioner dan bermartabat, seperti terungkap dalam ujud-ujud ritual, porong saung bembang nggreta, waké celer nggerwa, jengokn lé ulu, wikon lau wa’I; porong uwa haeng wulang, langkas haéng ntala.

Selanjutnya pada massa pemerintahan Adak Todo-Pongkor, terbentuk suatu sistem kepemimpinan adat yang demokratis di béo (kampung) tanpa mengabaikan ritual-ritual komunitas setempat.

Melalui struktur kepemimpinan béo yang bersifat kolegial dan fungsional antara tu’a tembong (pemimpin adak yang punya kuasa dan wewenang atas béo), tu’a teno (pemimpin adak yang punya kuasa dan wewnang atas pembagian tanah ulayat), tu’a panga (yang punya kuasa atas klan), terbentuklah tembongn oné lingkon pé’ang (legitimasi satu kesatuan antara rumah adat dan tanah ulayat); pa’angn olo ngaungn musi (satu kesatuan hidup komunitas); téu ca ambo néka woléng jaong, muku ca pu’u néka woléng curup (kesepakatan bersama berdasarkan musyawarah mufakat).

Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa kalau kita ingin belajar demokrasi sesungguhnya, belajarlah dari sistem kepemimpinan adat komunal Manggarai yang dibentuk pada sistem pemerintahan Adak Todo-Pongkor.

Pengakuan ini sesungguhnya bukan pengakuan baru dari penulis yang dapat diibaratkan seperti lawo cai bao, tekur cai entuk (belum berpengalaman dan matang soal tata pemerintahan komunal), tetapi juga sudah diakui Kementerian Dalam Negeri sejak awal kemerdekaan sampai pertengahan dekade 1950-an.

Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa persatuan dan kesatuan Manggarai Raya sampai pemekaran Manggarai Barat dan Manggarai Timur di dekade 2000-an merupakan hasil keringat darah dan kematian para tokoh Adak Kerajaan Todo-Pongkor, tanpa mengecualikan pengorbanan para tokoh Adak Kerajaan Cibal, Bong Bajo, dan Reo.

Berdasarkan informasi dari lima informan kunci yang masih hidup di Woang, Satar Mese, dan Lembor, politik Jakarta yang dimainkan melalui Praja Ende melumpuhkan kekuasaan Todo-Pongkor sehingga terbentuklah Kabupaten Manggarai pada zaman transisi dari raja terakhir Manggarai, Raja Ngamboet ke bupati pertama Manggarai, Kraéng Hamboer.

Tentu ada transaksi politik mengapa Todo-Pongkor menyetujui tawaran Kementerian Dalam Negeri di Singaraja, Bali lalu didorong terus oleh Praja Ende akan peralihan status kerajaan menjadi kabupaten. Konflik dan transaksi ini yang sedang didalami penulis sampai saat ini.

Kendatipun terdapat informasi yang diperoleh penulis bahwa salah satu ungkapan transaksional politik Praja Ende yang melicinkan pilihan Adak Todo-Pongkor pada sistem pemerintahan birokrasi ialah bahwa bupati Manggarai akan selalu berasal dari keturunan adak Todo-Pongkor.

Akhir Kata

Kisah-kisah lisan dan literatur tertulis tentang Manggarai tidak dapat kita terima secara harafiah begitu saja, apalagi jika konteks tulisan tersebut belum utuh.

Pernyataan ini tidaklah berlebihan karena diantara kisah-kisah tersebut, seperti ceritera Manggarai sebagai hadiah perkawinan atau mas kawin, tidak terlepas dari seks, politik dan agenda kekuasaan kolonial Belanda yang mempraktekkan politik devi det et impera.

Bagi para peneliti dan ilmuwan, apalagi yang menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, sebaiknya publikasi ilmiah perlu diperkuat dengan studi-studi empiris atau paling tidak, kajian literatur yang dibuat berbasis studi meta-sintesis.

Jika tidak, anak cucu orang Manggarai akan mendapatkan pengetahuan dan informasi yang salah, untuk menghindari istilah kisah literatur yang menyesatkan.

Penulis adalah Dosen Program Master dan Doktoral Psikologi serta Wakil Direktur Publikasi Riset Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Persada Indonesia Jakarta Pusat

spot_img

Artikel Terkini