Politik dan Kebohongan

Oleh: INOSENTIUS MANSUR

Pesimisme publik terhadap politik kian tak terbendung lagi. Hal ini terjadi karena beberapa elemen yang berkaitan dengan politik seperti elite-elite parpol dan penguasa sipil seringkali memelintir politik untuk kepentingan mereka saja. Rakyat yang merupakan aspek elementer dari politik itu acapkali dilupakan.

Politik yang pada hakikatnya adalah memperjuangkan kepentingan rakyat, justru “memperjuangkalkan” kepentingan rakyat itu sendiri. Politik yang merupakan sarana suci untuk membela kepentingan rakyat, malah mengorbankan rakyat.

Elite-elite politik di negeri ini jago membohongi rakyat, lalu menyelundupkan berbagai kepentingan parsial mereka melalui perjuangan politik. Alih-alih berdiri pada posisi rakyat, elite-elite politik kita malah menjauhi rakyat dan membiarkan rakyat terkapar tak berdaya menghadapi persoalan dan tekanan hidup.

Malah, mereka sendirilah yang menyebabkan rakyat tertekan dan mendatangkan persoalan bagi rakyat. Politik pun dikapitalisasi dan dikapling-kapling bagi perjuangan kepentingan elit.

Ya, harus diakui bahwa kebohongan telah menjadi bagian integral dari politik kita. Semacam ada “kesepakatan” umum dan tak tertulis dalam masyarakat bahwa jika berbicara tentang politik, berarti menjadikan kebohongan sebagai salah satu subtema diskursusnya.

Memang benar bahwa  politik itu suci (Sabam Sirait, 2013), sebab selalu berkaitan dengan kebijakan-kebijakan dan terobosan-terobosan konstruktif demi tercapainya kebaikan bersama.

Politik selalu berpilin erat dengan pemerdekaan manusia dari sandera sosial yang dirancang entah secara kultural, sosial maupun (terutama) secara sistematis.

Namun demikian, faktanya politik acapkali dipelintir untuk memenuhi kebutuhan pragmatis. Politik didekonstruksi dan direduksi ke dalam kerangka berpikir ambisius-subyektif dan tidak lagi berjalan dalam kerangka liberatif-kemanusiaan. Politik dipakai untuk tindakan salah kaprah karena tidak menjabarkan konsep kemaslahatan dalam tatanan hidup bersama.

Politik seringkali mengabaikan aspek demokratis, mengorbankan harmonisasi, melahirkan keretakan, menciptakan dikotomi dan polarisasi publik. Diharapkan untuk menjadi instrumen liberatif, politik malah dijadikan sebagai sarana untuk menghalangi usaha-usaha merestorasi peradaban sosial yang didegradasi oleh paradigma berpikir ambisius dan tindakan-tindakan distortif-abratif.

Politik tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang bernilai, tetapi dijadikan sebagai instrumen yang dipakai untuk mencapai keinginan-keinginan ilegal.

Benarlah sudah kata Mulgan (1994), bahwa politik, yang semestinya dan seharusnya dibangun berdasarkan nilai-nilai moral serta etika, justru didominasi oleh praktik-praktik memperbanyak kepentingan dan untuk menyelamatkan diri semata.

Politik kini menjadi alat dan diperalat oleh sebagian orang yang ingin mendapatkan keuntungan pribadi. Politik kini menjadi lahan bisnis dan selalu berjalan dalam logika untung rugi orang-orang tertentu saja.

Maka sekali lagi harus diakui bahwa politik selalu berjalan bersama kebohongan. Keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang saling mengandaikan dan saling membutuhkan. Resiprokalitas antara keduanya menyebabkan rakyat sulit mengindentifikasi dan membuat distingsi antara mana yang benar dan mana yang salah.

Elite-elite politik seringkali bertindak ibarat serigala berbulu domba. Tampil seolah-olah baik, padahal tidak baik. Tampil etis, tetapi ternyata menjadi “vampir” politik.

Politik menyebabkan rakyat dijebak dan bahkan dijerat dalam praktik kebohongan. Rakyat dikelabui oleh polesan-polesan yang tampaknya elegan, suci dan benar, berpijak dan berpihak, tetapi sesunggunya menyimpan maksud-maksud terselubung dibalik apa yang tampak itu.

Palsu! Itu kira-kira kata yang tepat untuk melukiskannya. Pada akhirnya rakyat tidak sanggup mendeteksi gerak-gerik dan tipuan yang dilakukan oleh elite-elite politik.

Sebab, menipu telah menjadi bagian tak terpisahkan dari praksis perpolitikan mereka.

Memang benar bahwa rakyat menginginkan agar setiap elite politik tidak boleh berbohong kepada rakyat, tetapi kenyataannya mereka doyan membohongi rakyat. Benar juga bahwa mereka bukan hanya tumpuan dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, tetapi juga menjadi acuan dan rujukan moral.

Namun, faktanya mereka seringkali menjadi politikus yang tidak hanya cuek terhadap kepentingan rakyat, tetapi juga mengorbankan aspek moral. Rakyat pun teralienasi dan tereliminasi serta berada pada posisi bagaikan buah simalakama. Rakyat seringkali diperdayai dan ditipu oleh virus verbalisme tokoh-tokoh politik.

Restorasi Kolektif

Sulit untuk dibantah bahwa arena sosial-politik kita kebanyakan dihuni oleh oknum-oknum yang bermental pragmatis.

Marginalisasi sistematis terhadap rakyat seringkali terjadi justru disebabkan oleh perbenturan kepentingan politik elitis.

Kita lihat saja akhir-akhir ini, partai politik malah mengeliminasi rakyat dari kiblat perjuangan mereka. Karena itulah, kita berharap agar elite-elite politik mengembalikan esensi politik ke jalan yang benar.

Mentalitas berbohong yang selama ini menjadi bagian integral dari praksis perpolitikan harus segera dihentinkan. Mentalitas yang acapkali memelintir politik untuk tujuan subyektif mesti segera direstorasi agar tidak menciptakan apatisme rakyat terhadap politik.

Rakyat harus kembali percaya kepada politik. Politik yang secara ontologis dan esensial ada hanya untuk kepentingan rakyat mesti ditegakkan kembali.

Politik tidak boleh lagi diselewengkan untuk memenuhi target-target golongan/individu tertentu. Kiprah politik elite-elite politik kita yang acapkali salah kaprah mesti segera dikembalikan ke jalan sesungguhnya.

Maka, mesti ada restorasi kolektif yang disertai dengan adanya kesadaran kritis untuk selalu melakukan otokritik terhadap berbagai deviasi publik yang akarnya adalah kebobrokan setiap pelaku politik itu. Politik harus dikembalikan kepada hakikatnya.

Politik tidak boleh menjadi tempat menyembunyikan kebohongan. Sebaliknya, kebohongan tidak boleh berelasi secara simbiosis-mutualisme dengan politik.

Hanya dengan itu, kredibilitas politik bisa dipulihkan kembali.

Penulis adalah dosen dan ketua penyunting jurnal Alternatif, Stipas St. Sirilus Ruteng

spot_img
spot_img

Artikel Terkini