Pariwisata Mabar dan Proses Eksklusi Masyarakat Lokal

Oleh: ALFRED TUNAME

Selalu ada hal menarik yang mengisi ruang diskursus publik terkait Kabupaten Manggarai Barat (Mabar). Salah satunya adalah terkait pariwisata.

Dalam trias pemerintah-rakyat-bisnis pariwisata, intimasi bisnis dan pemerintah kian erat meniadakan eksistensi rakyat. Selebrasi pada kepentingan publik hanya sejauh tidak mengganggu kepentingan pemerintah dan kelompok bisnis.

Kelompok bisnis di sini mengacu kepada kekuatan modal. Investor pariwisata adalah satu kekuatan besar yang persis menggurita di Mabar.

Potensi-potensi pariwisata di Mabar telah menggaet pemodal lokal dan nasional, juga internasional. Namun, persis pada saat yang sama, masyarakat lokal tidak berdaya.

Modal tetap saja lebih kuat berdigdaya di ruang bisnis pariwisata. Kedigdayaan investor kian gagah oleh lobi-lobi politik. Intimasi investor dan elit politik melahirkan regulasi dan kebijakan timpang.

Dengan jargon “demi pembangunan”, privatisasi dilakukan terhadap sumber daya publik.

Privatisasi

Privatisasi adalah anak kandung ekonomi liberal. Privatisasi beroperasi dalam pakem politik Jeffersonian (Thomas Jafferson) “the best government is that governs least.” Bahwa kaum pebisnis, korporasi dan investor mengatur alur operasi ekonominya sendiri.

Ekonomi pasar beroperasi menurut hukum pasar itu sendiri. Pemerintah berada di luar pasar. Peran pemerintah hanya sebagai penjamin operasi korporasi dan investor. Tidak ada proteksi oleh pemerintah, kecuali menanggung eksternalitas yang muncul sebagai ekses operasi ekonomi liberal.

Tanpa ada proteksi itu, korporasi dan investor berbondong-bondong memasuki pasar pariwisata Mabar. Privatisasi sumber daya pariwisata dan sumber daya publik dilakukan secara semarak.

Pulau-pulau dijual-beli. Pembelian dan penguasaan tanah masyarakat terjadi secara serampangan. Malpraktik kebijakan publik dan moral hazard elite politik dan birokrat terjadi di luar kontrol. Hal itu setali tiga uang dengan tumbuhnya bibit-bibit premanisme yang “didonasi” oleh elit penguasa.

Pulau Mawang, salah satu pulau dalam kawasan Taman Nasional Komodo, misalnya, diklaim oleh pemilik Alam Kulkul. Terpampang plang di pulau itu dengan klaim tanah bersertifikat.

Ironinya, pemilik Alam Kulkul adalah Haji Feisol asal Malaysia, yang merupakan keponakan Mahatir Mohamad, Perdana Menteri Malaysia.

Haji Fesol menanggalkan nasionalisme demi bisnis pariwisata di Labuan Bajo. Ia mengubah kewarganegaraannya menjadi warga negara Indonesia dan menjadi  pemilik PT Jaytasha Putrindo Utama (PT JPU) yang menguasai 49 % saham PT Putri Naga Komodo.

Pada periode tahun 2004-2012, pemerintah pusat pernah memberi hak pengelolaan Taman Nasional Komodo kepada perusahan tersebut bersama The Nature Conservancy, perusahaan konservasi berbasis di Virginia, Amerika Serikat.

Pemda Mabar tidak berdaya. Lobi-lobi bisnis tingkat kementerian dan elite politik pusat berhasil membuat keponakan Perdana Menteri Malaysia itu mampu mencaplok sumber daya pariwisata di Mabar.

Setali uang dengan itu adalah kasus Pulau Padar. Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup menerbitkan Surat Keputusan pengelolaan pulau Padar kepada PT Komodo Wildlife Ecotourism. Perjanjian kontraknya adalah 52 tahun dan bisa diperpanjang. Ada juga PT Segara Komodo Lestari dan PT Karang Permai Propertindo yang akan menguasai kawasan Taman Nasional Komodo.

Izin kepada perusahaan-perusaahan tersebut adalah usaha penyediaan sarana wisata alam, tetapi izin itu merupakan surat sakti sebagai muslihat penguasaan bisnis wisata di kawasan itu.

Lagi-lagi, semua itu terjadi karena lobi-lobi elit di pemerintah pusat. Hal itu persis tak berbeda dengan yang dilakukan oleh PT Sarana Investama Manggabar milik Setya Novanto yang “kongkalikong” dengan Gubernur NTT Frans Lebu Raya untuk menguasai areal Pantai Pede untuk membangun hotel.

Lobi-lobi dan kongkalikong pemodal, pejabat publik dan elite politik merupakan simptom negara tidak kuat menjamin kehidupan warga negara.

Politics is for sale,” tulis Noreena Hertz dalam bukunya berjudul The Silent Takeover (2001). Politik telah dijadikan barang kelontong yang berujung pada privatisasi sumber daya publik.

Dengan kebijakan senyap lembaga kementerian, sumber daya publik secara tiba-tiba berpindah tangan kepada investor domestik ataupun asing.

Pencaplokan tersebut seraya diikuti oleh pemberlakukan aturan-aturan privat yang dipaksakan kepada publik. Aturan-aturan tidak adil dan diskriminatif diberlakukan kepada rakyat. Tidak heran, pelarangan, penggusuran dan pengusiran kepada penduduk lokal marak terjadi di areal privatisasi.

Warga asli pulau diusir; nelayan lokal dilarang melaut (harus ada SIMI: surat izin menangkap ikan); penduduk setempat digusur. Semua itu demi muslihat geliat pariwisata.

Pariwisata Mabar merupakan paradoks kebijakan pembangunan an sich. Pembangunan seharusnya dimengerti sebagai pertumbuhan kesejahteraan yang baik (bdk. Majid Rahnema dan Victoria Bawtree, 1997). Bahwa harus ada perbaikan kehidupan masyarakat; distribusi kekayaan merata; akses pelayanan mudah; ruang publik terbuka; dan regulasi ekologi dan perlindungan rakyat menguat.

Sayangnya, pariwisata Mabar hanya meningkatkan dispartitas antara kaum miskin dan kaum kaya. Kaum kaya makin jaya. Penduduk miskin makin terusir dari tanahnya. Mereka tidak dilindungi negara.

Proses Eksklusi

Apa yang terjadi di Mabar memperlihakan bahwa negara tidak melindungi warga negaranya, justru menjadi biang teror bagi rakyat. Negara menjelma menjadi monster Leviathan yang mengancam keselamatan warga negara. Leviathan berkonspirasi dengan “the invisible hand” (pemodal, kapitalis) untuk menguasai wilayah, suasana dan ruang kehidupan masyarakat.

Di Mabar, masyarakat nyaris tak berdaya melawan kekuatan monster itu. Mereka mengalami proses eksklusi di tanah yang sejatinya adalah milik mereka.

Para calo tanah ibarat monster berparas cantik yang terus merayu warga lokal menjual tanah. Dengan iming-iming dan setumpuk uang, warga diperdaya melepas tanahnya.

Tidak heran, beberapa pemodal bisa memiliki ratusan hektar tanah di Labuan Bajo. Dalam keluguannya, warga lokal terusir.

Tak ada regulasi, seperti peraturan daerah yang melindungi ulayat dan tanah mereka. Pemimpin politik dan anggota DPRD tidak memiliki political will untuk melindungi rakyat.

Tentu mereka juga bagian dari monster dan mafioso yang membagi tanah publik dan menguasai secara pribadi tanah-tanah strategis di Labuan Bajo.

Sementara itu, kualitas pelayanan publik begitu miris. Air untuk kebutuhan masyarakat tidak lancar. Sumber mata air banyak, tetapi air untuk publik hanya berupa tetesan air mata derita rakyat.

Krisis air publik juga terjadi karena pipa air hanya disalurkan kepada hotel megah di Labuan Bajo.  Sisanya, dijual kepada “calo-calo” air yang menjual kepada rakyat dengan mobil tenki.

Ribuan rakyat tidak mendapatkan jatah aliran listrik baru sebab jatah tersebut akan dialihkan ke rumah sakit swasta dan hotel di Labuan Bajo.

Hal lainnya, rumah sakit daerah tidak pernah dibangun, tetapi rumah sakit swasta dibiarkan meraja.

Kepala-kepala SKPD dan birokrat daerah menjadi penjilat arogansi penguasa politik. Jika tidak begitu, mereka siap didepak. Dan, para tim sukses Pilkada menjadi pagar betis (premanisme) dan “hostess” penguasa sekaligus kontraktor proyek ajimumpung dan tak bervisi pembangunan.

Sementara kepada daerah laksana Hannibal (247-181 BC), penguasa kuat Kartago yang menentang supremasi Republik Roma. Pada konteks Mabar, supremasi hukum dan kedaulatan rakyat telah dikangkangi oleh pemimpinnya sendiri.

Rakyat Mabar sedang diteror dengan privatisasi sumber daya publik, privatisasi sistem dan legalized bribery. Narasi kekalahan terus didegungkan dalam liang-liang penderitaan rakyat.

Kemanakah para pemimpin? Ah, mereka sedang membangun istana mereka sendiri.

Penulis adalah peneliti, meminati isu-isu sosial dan politik.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini