Cinta Ibu di Wae Peca

Floresa.co – Seorang bapak sedang merapikan beberapa papan dan balok di sebelah kiri jalan masuk, ketika saya tiba. Kala itu, pertengahan Februari, waktu hampir pukul 12.00 Wita.

“Perlu dengan siapa?” tanya bapak itu, yang tiba-tiba menghentikan aktivitasnya. “Perlu dengan Pater Hila Gudi, om.”

Bapak itu lalu menunjuk satu rumah di pojok kiri yang terhubung dengan rumah-rumah lain di dalam kompleks itu.

Ini untuk pertama kalinya saya bertemu Pastor Hila Gudi SVD. Keingintahuan tentang cerita pembantaian terhadap orang-orang yang dituding anggota  Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965 di Manggarai membawa saya bertemu dengan pastor asal Maumere ini.

Dulu, saat perisiwa itu terjadi, Pastor Hila adalah Pastor Kapelan di Paroki Katedral Ruteng, mendampingi Pater Kale SVD yang menjadi pastor paroki.

Tapi, cerita ini bukan tentang peristiwa 1965 dalam ingatan Pater Hila.

Pastor Hila Gudi SVD, kini menjadi salah satu pembina di Panti Asuhan Yayasan Sesamamu Wae Peca. (Foto: Asrida Elisabeth)
Pastor Hila Gudi SVD, kini menjadi salah satu pembina di Panti Asuhan Yayasan Sesamamu Wae Peca. (Foto: Asrida Elisabeth)

Ada hal menarik lain terasa begitu istimewa untuk saya, yakni, panti asuhan di mana saya berdiri saat itu, tempat Pater Hila menghabiskan masa tua.

“Panti Asuhan Yayasan Sesamamu,” demikian tertulis di papan yang dipajang di halaman depan.

Panti yang terletak di Wae Peca, Desa Lalong, Kecamatan Wae Ri’i, ini hanya sekitar 3 km dari Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai-Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Cikal bakal panti ini berawal dari tahun 1959. Perintisnya adalah Pater Kale. Pada tahun-tahun ini, banyak ibu-ibu di Manggarai yang meninggal saat melahirkan.

Go, seorang dokter yang bertugas di Kota Ruteng menampung anak-anak itu. Tujuh orang anak ia kemudian tawarkan untuk diasuh oleh Pater Kale. Imam itu pun mengiyakan.

Mulanya, anak-anak itu ditempatkan di Kampung Maumere, Ruteng. Pater Kele, kala itu, tidak sendirian. Ia dibantu oleh sepupunya bernama Musa dan seorang gadis bernama Geno. Dalam perjalanan waktu, Geno dan Musa pun menikah.

Pater Kale lalu mengirimkan Geno bersekolah ke Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan St Boromeus Bandung, Jawa Barat. Saat pulang, ia mengabdi di panti ini.

“Mereka kerja tanpa gaji, hanya dapat makan 3 kali sehari. Saat itu, untuk dapat uang, Geno keliling suntik orang,” kenang Pater Hila.

Panti ini pindah ke Wae Peca tahun 1975. Sepeninggalan Pater Kale hingga saat ini, Mama Geno dan Bapa Musa bersama Pater Hila yang menggantikan misi Pater Kale melanjutkan panti ini.

Berupaya Mandiri

Saat ini ada 39 anak penghuni panti, dimana 31 orang yang tinggal di dalam panti. Sementara, 8 orang lainnya tinggal di luar dan panti hanya membiayai pendidikan mereka.

Anak-anak ini sedang mengenyam pendidikan, mulai dari TK hingga perguruan tinggi.

Untuk mengurus kehidupan sehari-hari mereka, terdapat 5 orang pengasuh, 4 orang pembina dan 2 karyawan yang masing-masing sebagai sopir dan tukang.

Tampak depan Panti Asuhan Yayasan Sesamamu Wae Peca. (Foto: Asrida Elisabeth)
Tampak depan Panti Asuhan Yayasan Sesamamu Wae Peca. (Foto: Asrida Elisabeth)

Soal tugas pengasuh, kata Paster Kobus SVD, yang sekarang memimpin panti, “mereka mengurus mulai dari dapur sampai kebun”.

“Sebagaimana tugas seorang ibu dalam keluarga,” katanya.

Anak-anak panti terutama yang sudah duduk di bangku SMP sudah ikut membantu memasak dan mengurus rumah, ternak serta kebun.

Untuk membiayai seluruh kebutuhan, mereka mengolah sawah, kebun cengkeh, kebun sayur, lombok, hingga ternak babi, ikan, kambing dan ayam.

“Prinsipnya sebelum orang bantu, kami harus bisa bantu diri sendiri. Ini kan bukan asrama. Ini keluarga panti. Kalau bisa, kita hidup dari hasil keringat kita,” jelas Pater Kobus.

Kebutuhan beras selama setahun misalnya, dari hasil sawah, panti ini bisa memenuhi kebutuhan 8-10 bulan. Lauk dari hasil menjual lombok dan sayuran, pun gaji karyawan diperoleh dari kebun cengkeh dan pemasukan angkutan umum milik keluarga Mama Geno dan Bapa Musa.

Donor tetap untuk panti ini hanya sebesar Rp 3.250.000 per bulan. Kebutuhan lain seperti pakaian, peralatan tulis dan tidur didapat dari sumbangan juga.

Banyak alumni panti yang sudah hidup mandiri dengan berbagai macam profesi.

Seperti Keluarga

Apa saja kriteria anak yang tinggal di panti ini? Menurut Pater Kobus, mereka memberi prioritas pada anak-anak yang kehilangan ibu saat dilahirkan, juga anak-anak yang “dibuang” orangtuanya serta anak dari keluarga miskin dan tak berdaya.

“Untuk anak-anak orang miskin biasanya diseleksi oleh kepala desa dan ada rekomendasi pastor paroki.”

Saat saya berkunjung, penghuni panti yang paling kecil adalah seorang anak perempuan berusia 2 tahun. Ia masuk ke panti hanya beberapa jam setelah ibunya meninggal di rumah sakit.

“Dia dan ada beberapa yang belum sekolah. Kalau pagi kami ke sekolah, mereka tinggal di rumah saja. Yang ini kalau marah suka menangis dan banting diri. Rambutnya juga susah disisir,” jelas salah seorang anak yang disambut derai tawa kami semua.

Si bungsu ikut tersenyum malu-malu sambil menggelanyut manja dalam dekapan  salah seorang pengasuh.

Saat kami makan bersama, si bungsu yang rambutnya keriting ini disuap oleh pengasuh.

Saya mengamati kedekatan mereka satu sama lain. Sambil membagikan nasi satu per satu, para pengasuh ini mengingatkan anak-anak ini akan tugas mereka di sore hari.

Kami makan sambil bertukar cerita.

Meskipun lahir dari keluarga yang berbeda, kehidupan di panti ini layaknya satu keluarga.

“Anak-anak yang sudah besar lihat yang kecil-kecil ini sebagai adik mereka. Jadi, saling membantu dan saling memperhatikan,” kata Pater Kobus.

Sekilas, kehidupan di panti ini tidak sekaku di asrama. Anak-anak menikmati kehidupan mereka layaknya di rumah. Hubungan dengan pembina dan pengasuh pun tidak sekaku anak asrama dan pembinanya.

Aktivitas harian mereka antara lain sekolah dan kuliah, bekerja di kebun dan rumah serta belajar. Doa bersama hanya di malam Minggu.

Misa juga hanya dilaksanakan pada hari Minggu, mengingat banyak anak yang bersekolah di kota dan pagi-pagi sudah harus berangkat.

Untuk ke sekolah, mereka diantar menggunakan mobil panti, sedangkan yang mahasiswa diberi uang transpor, karena jadwal kuliah yang tidak tetap.

Sesaat sebelum saya pulang, hujan turun. Menunggu redah, saya duduk bersama Pater Hila di beranda rumahnya.

Usianya yang sudah cukup tua membuat ia harus selalu menggunakan tongkat dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah untuk membaca.

Pater Hila pernah menjadi pemimpin di Seminari Pius XII Kisol – Manggarai Timur, juga menjadi Sekretaris Pelaksana Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), pastor paroki dan berbagai tugas yang lain.

Saat kami duduk, sesekali anak-anak yang lewat memanggilnya.

“Selamat siang Nene Pater,” sapa mereka. Ia pun selalu menyambutnya dengan senyum. “Kalian dari mana?” pater balik bertanya dan dijawab anak-anak itu.

Anak-anak di Panti Asuhan Yayasan Sesamamu, Wae Peca, anak-anak dididik untuk mandiri. (Foto: Asrida Elisabeth)
Anak-anak di Panti Asuhan Yayasan Sesamamu, Wae Peca, anak-anak dididik untuk mandiri. (Foto: Asrida Elisabeth)

“Apa yang membuat iater ingin menghabiskan masa tua di tempat ini?” tanya saya.

“Saya ini SVD angkatan tua, menjadi misionaris dan mati di tempat di mana kami diutus. Itu prinsipnya. Dan, saya pilih tempat ini karena anak-anak ini,” jawabnya sambil tersenyum.

Perjalanan pulang saya ke Ruteng dibayang-bayangi wajah anak-anak panti ini, bayang-bayang tentang bagaimana memulai kehidupan di dunia ini tanpa ibu, ditinggal ibu, atau lahir dalam kehidupan ibu yang tak mampu.

Saya teringat Eric Fromm seorang psikoalanisa asal Jerman menulis begini: di tahun-tahun awal kehidupannya, seorang anak merasakan dan mengalami ibu sebagai sumber kehidupan, sebagai kekuatan yang memberi makan, melindungi dan menyelimuti. Ibu adalah makanan, cinta, kehangatan; bumi. Cinta ibu bagaikan tindakan rahmat. Jika ada, maka merupakan berkat, jika tidak maka tak dapat dihadirkan.

Di panti asuhan ini, berkat kelapangan hati-hati orang-orang yang mengurusnya, telah berusaha menghadirkan cinta ibu itu, menjadi keluarga yang memampukan anak-anak ini terus hidup hingga saatnya mandiri, hidup dari diri sendiri. (Laporan Asrida Elisabeth/ARL/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini