Koruptor dan Kharmapala

Oleh: DONI KOLI

Apabila kita sedikit meluangkan waktu dari pelbagai macam kesibukan beraktivitas dan coba menilik beberapa bacaan berisi dongeng-dongeng masa lalu, -saya yakin kita semua tidak cukup kaget bahwa pada narasi dongeng klasik tersebut, terdapat begitu banyak nilai dan kearifan filosofis.

Pada beberapa dongeng yang saya baca seperti Bawang Putih dan Crukcuk Kuning atau seperti Cinderella dan Sepatu Kaca, saya menemukan sebuah dikotomi filosofis sekaligus kebenaran umum yang aksiomatis. Dikotomi tersebut cukup sederhana, “Perbuatan atau kelakuan yang baik akan menuntun hidup pada kebaikan. Sebaliknya, perbuatan atau tingkah laku yang tidak baik akan berimplikasi pada kehidupan yang buruk pula. Kenyataan pada dikotomi inilah yang disebut dengan kharmapala atau hukum karma.

Kemudian, saya mengajak kita untuk melihat praksis dalam sejarah percaturan politik bangsa kita dimana para koruptor banyak berseliweran. Penjahat seperti koruptor memang tidak pernah habis bermunculan dalam sejarah bergulirnya bangsa kita.

Reformasi 1998 sebagai antitesis rezim pemerintahan orde baru yang korup ternyata tak seutuhnya mampu membonsai praktik korupsi. Lantas, kita mungkin menaruh pesismisme besar akan aras politik kita. Apakah korupsi adalah sebuah produk kejahatan yang niscaya terjadi dalam peraturan politik bangsa kita?

Dikotomi kharmapala yang filosofis memang tidak berlaku bagi penjahat koruptor. Sebab, mereka secara sadar melakukannya (korupsi) dan tidak punya perhitungan rasional tertentu bahwa kejahatan busuk seperti itu sejatinya hanya berdampak buruk. Merugikan dan menipu rakyat sebagai pemangku kedaulatan secara brutal.

Kematian Nalar

Terkuaknya begitu banyak korupsi selama ini menempatkan koruptor sebagai “penjahat banal”. Berbagai upaya memerangi korupsi seperti yang dilakukan KPK dan banyak lembaga penumpas rasuah faktanya tidak mampu menghapus praktek korupsi

Hasil survei lembaga penelitian Indonesian Corruption Watch terkait eskalasi indeks korupsi yang signifikan tak mempan menelurkan “ketakutan” para elit politik yang punya tanggung jawab besar memperjuangkan rakyat.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini