Kehadiran 12 Uskup dalam Pernikahan Keluarga Pengusaha di Jakarta Dikritik

Floresa.co – Forum Komunikasi Alumni Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (Forkoma PMKRI) mengkritik 12 uskup yang hadir dalam pemberkatan pernikahan pasangan dari keluarga pengusaha di Jakarta pada Sabtu (6/2/2016).

Hermawi Taslim, Ketua Forkoma PMKRI menyebut, kehadiran para uskup itu dalam pernikahan pasangan Melisa Kristi Kristianto dengan Narsis Nararya Ciputra di Katedral Jakarta “berlebihan dan terkesan menghilangkan sikap kritis Gereja Katolik yang terkenal dengan semboyan option for the poor atau berpihak pada orang miskin.”

BACA JUGA: Kontroversi 12 Uskup

Narsis merupakan cucu dari pengusaha properti Ciputra, sementara Melisa adalah anak dari pengurus Yayasan John Paul II, Lucy Liando.

Hermawi mengatakan, sesuai ketentuan hukum kanonik, keabsahan dan kesakralan perkawinan dalam tata cara Katolik memang harus dilakukan oleh pejabat Gereja, dalam hal ini uskup atau pastor.

“Tapi masih menurut hukum kanonik, pejabat Gereja tersebut cukup satu, tidak perlu berbondong-bondong hingga belasan, sehingga terkesan diistimewakan,” ungkapnya dalam pernyataan tertulis, Senin (8/2/2016).

Ia menjelaskan, seharusnya para uskup lebih mencurahkan waktu dan pemikiran mereka untuk membangun jiwa dan mental umat di keuskupan masing-masing, khususnya umat di daerah pedalaman.

Para uskup yang hadir dalam Misa pernikahan itu hampir merata dari seluruh wilayah nusantara. Beberapa di antaranya adalah Uskup Agung Samarinda Mgr Yustinus Harjosusanto MSF, Uskup Amboina Mgr Petrus Mandagi MSC dan Uskup Manado  Mgr Josef Suwatanan MSC.

Menurut Hermawi, hal-hal seperti ini menyinggung kepekaan dan kekritisan umat khususnya di kalangan aktivis, seperti Forkoma PMKRI.

Ia berharap, di masa yang akan datang, pelayanan umat lebih merata, fokus, dan terhindar dari kesan keberpihakan atas status-status sosial ekonomi umat itu sendiri.

Secara terpisah, Benny Sabdo, penulis buku “Kiprah Tokoh Katolik Indonesia” juga mengkritik hal tersebut.

“Ada yang mengatakan semakin banyak uskup, semakin banyak berkat, seolah-olah berkat itu dapat dikapitalisasi,” ungkapnya.

Benny menjelaskan, peristiwa ini tergolong langka. “Apakah mungkin terjadi fenomena seperti ini pada pengantin yang miskin. Padahal, Paus Fransiskus mendedikasikan Gereja bagi kaum miskin,” gugatnya.

Ia menandaskan, memboyong 12 uskup dengan biaya yang mahal ke Jakarta memberikan signal yang keliru kepada umat Katolik dan masyarakat Indonesia.

“Bukan karena keluarga mempelai tidak boleh kita beri simpati. Barangkali keluarga mempelai banyak berbuat baik dan pantas diakui tapi hal yang sama tidak terjadi pada umat biasa. Padahal, kita jangan memberikan perlakuan khusus kepada mereka yang diberkati karena kekayaan,” paparnya.

Menurut Benny, kritik ini harus dimaknai dalam perspektif yang positif demi kewibawaan hiraki Gereja Katolik.

Ia juga mendesak agar praktek misa jor-joran uskup dalam pernikahan atau pemberkatan rumah ditertibkan demi kesucian sakramen.

BACA JUGA: Dikritik Hadiri Misa Pernikahan Pengusaha, Ini Respon Uskup

“Hal ini bertujuan agar tidak terjadi manipulasi oleh status sosial tertentu. Sebaiknya, Ekaristi dengan banyak uskup itu dikhususkan bagi event hirarki Gereja saja,” tegasnya. (Ari D/ARL/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini