Kasus SMK Stella Maris dan Pendidikan Anti Kekerasan

Oleh: LORENS SANTOS

Beberapa hari ini kita tentu disentak oleh aksi kekerasan yang dilakukan oknum polisi di Manggarai Barat (Mabar) – Flores, terhadap beberapa siswa SMK Stella Maris, Labuan Bajo.

Peristiwa yang terjadi pada Sabtu, 23 Januari itu tentu menyedihkan. Bagaimana tidak, polisi yang mestinya menjadi pelindung atau pengayom masyarakat, malah secara brutal menyerang warganya sendiri. Bahkan, yang diserang adalah anak-anak sekolah menengah, saat mereka sedang mengikuti kegiatan belajar mengajar.

Saya meyakini, tindakan brutal seperti itu bukanlah hal baru. Peristiwa demikian sudah jamak terjadi.

Dalam kasus di SMK Stella Maris, yang menarik adalah tindak kekerasan ini dilakukan di lingkungan pendidikan saat sedang terjadi kegiatan belajar-mengajar. Guru-guru pun bahkan tidak digubris oleh oknum kepolisian. Semakin miris terdengar bahwa ada guru yang diintimidasi dan hampir saja dipukul.

Hal ini menjadi menarik karena pemerintah memastikan akan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang pencegahan dan penanganan kekerasan, termasuk di lingkungan pendidikan. Perpres itu masih berkaitan dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Anti kekerasan.

Mendikbud Anies Baswedan pada Rabu, 20 Januari  mengungkap data bahwa 85 persen anak di sekolah pernah menjadi korban kekerasan. Sedangkan sebanyak 70 persen anak sekolah pernah menjadi pelaku kekerasan.

Ada harapan di balik munculnya Perpres itu, bahwa lembaga pendidikan menjadi zona anti kekerasan. Lembaga pendidikan diharapkan menjadi tempat yang sakral dari tindakan kekerasan, tempat para generasi anti kekerasan ditempa. Dan, di masa depan, mereka diharapkan menjadi agen anti kekerasan.

spot_img

Artikel Terkini