Film “Tida Lupa” dan Jejak Tragedi 1965 di Rekas

Baca Juga

Floresa.co – Rekas, sebuah kampung yang terletak di lereng Golo Menes, di Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), diselimuti kabut tebal selepas hujan pada Sabtu sore (15/01/2016).

Dedaunan, pepohonan, dan semak belukar tampak bergeming dan basah kuyub. Ketika tiba pada malam harinya, keadaan menjadi gelap gulita lantaran terjadi pemadaman listrik.

Bagi beberapa orang tua yang berkumpul di sebuah tanah lapang malam itu, suasana demikian justru sangat meneduhi kegundahan hati mereka yang tersimpan selama bertahun-tahun. Diterpa biasan cahaya dari layar tancap, tak dapat disembunyikan raut muka mereka yang sedih.

Malam itu di, Rekas, digelar acara nonton bersama Tida Lupa, sebuah film dokumenter yang bercerita tentang pembantaian anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan simpatisannya pada tahun 1965 di seputaran wilayah Manggarai Raya. Rekas termasuk salah satu lokasi pengambilan gambar dan cerita film itu.

Tida Lupa disutradarai oleh Asrida Elisabeth, seorang gadis kelahiran Kampung Nanga, Cibal, Kabupaten Manggarai.

Malam itu, warga Rekas terlihat sangat antusias. Semenjak sore, anak-anak, remaja, dan para orang tua sudah memadati tempat gelaran acara itu yang berlangsung di tempat terbuka.

Rekas memang menjadi salah satu tempat bersejarah terkait peristiwa pembantaian anggota PKI itu. Dari diskusi selepas menonton film itu, diceritakan bahwa Rekas menjadi tempat eksekusi para anggota PKI di wilayah Kempo.

“Semua orang anggota PKI dari kampung-kampung seputar kempo dibawa ke sini. Di sini mereka diganyang atau disiksa” kata Abdu Malik, salah satu saksi mata langsung dari kekejaman pengganyangan anggota PKI di Rekas.

Ia sendiri nyaris dieksekusi namun kemudian dibebaskan.

Karena ia tinggal di rumah Neta Narung, salah seorang anggota PKI, ia lantas dituduh anggota PKI.

Meski di usianya yang sudah 80-an itu, ia masih mengingat tiap detail kejadian dan menceritakan berapi-api pengalaman kelam itu. Katanya, ada yang telinganya dipotong, punggungnya disayat dengan pisau, dan bahkan ada yang mengalami patah tangan dan kaki sebelum meninggal.

“Kami tidak bisa lawan tentara. Pasrah. Hanya disuruh doa sebelum dieksekusi.”

Untungnya kemudian dia dibebaskan. Dalam film Tida Lupa, ia menunjukkan surat pembebasannya pada 50 tahun silam itu.

“Ngeriii…”katanya beberapa kali mengenang peristiwa itu. Tidak hanya dia, beberapa orang yang saat itu masih duduk dibangku SD berkomentar serupa.

“Ngeri luar biasa. Mau lari, tidak bisa,” kenang Yohanes Don Bosko Bur yang saat itu duduk di kelas 4 SD. Ayahnya termasuk yang dibunuh kala itu.

Refleksi

Film Tida lupa hanya berdurasi sekitar 20 menit, namun berhasil memancing diskusi. Di antaranya mereka merefleksikan tentang apa yang terjadi sebelum dan sesudah peristiwa itu yang kini lebih dikenal sebagai tragedi 1965.

Dari kesaksian yang terungkap, Rekas adalah sebuah kampung dengan sejumlah kebanggaan.  Sebelum zaman kemerdekaan Republik Indonesia, terutama zaman Kerajaan Gowa dan Bima, Rekas sudah menjadi pusat Kedaluan Kempo.

Setelah Indonesia merdeka, posisi sentral itu pun berlanjut. Karena itu, Rekas terhitung disegani di kampung lain. Apalagi, di Rekas muncul beberapa tokoh yang aktif dan pandai berbicara politik.

Ibarat nila setitik rusak susu sebelanga, citra Kampung Rekas hancur berantakan setelah operasi penumpasan PKI kala itu.

Rekas menjadi pusat eksekusi anggota PKI di Kempo. Dari Rekas, beberapa pimpinan PKI di Manggarai juga berasal. Termasuk sejumlah orang yang terlibat dan terdaftar.

Sejak itu, nama Rekas identik dengan PKI. PKI kala itu dipandang buruk karena dinilai menyebarkan ajaran yang menyesatkan.

“Setelah itu, di kampung lain, kalau kami omong, banyak yang bilang, jangan percaya orang Rekas. Mereka adalah PKI. Orang Rekas dicap jelek,” kata Hendrikus Jehamat, seorang warga.

Bahkan, dalam urusan nikah pun, mereka kena imbasnya. Jika menikah dengan warga dari kampung lain, keluarga pasangan pengantin sulit merestui anaknya menikah dengan orang Rekas.

“Kami akhirnya menderita rasa rendah diri,” kata Theo Temang.

Yang lebih memalukan, beberapa anggota keluarga mereka dibawa ke kampung lain. Mereka diperkerjakan sesuka kehendak aparat pemerintah. Di antaranya, disuruh membuat jalan, membuat lapangan dan bahkan mencari kayu api.

Karena itu, bagi mereka, walaupun sekarang perlakuan kepada korban  sudah banyak berubah, namun  keadaan itu belum pulih sepenuhnya. Selama bertahun-tahun keluarga korban menderita lahir dan batin.

“Negara perlu meminta maaf atas kekejaman yang dilakukannya” demikian usul konkret yang disepakati malam itu.

Sementara itu, sebelum film ditayangkan, Asrida mengatakan bahwa film tersebut tidak bermaksud mengungkit luka lama, tetapi lebih pada upaya meluruskan sejarah agar hanya ada cerita yang benar yang diwariskan kepada generasi selanjutnya (Greg/Floresmuda.com/ARL)

Artikel ini sebelumnya dimuat di Floresmuda.com dengan judul, “Ketika Film “Tida Lupa” Ditayangkan di Rekas. Dipublikasi kembali di Floresa.co untuk kepentingan pencerahan kepada publik.

Terkini