Sakralitas Pilkada

Oleh: YORNES PANGGUR OFM

Pilkada merupakan pengalaman ‘pribadi’ banyak orang. Di sana, setiap warga ‘menyerahkan sepenuhnya kepentingan-kepentingan pribadi mereka (suara hati) kepada beberapa orang untuk menyelengggarakan negara (pemerintahan)’.

Karena menyangkut kebebasan memilih yang melibatkan banyak ‘suara hati’ maka tepatlah jika dikatakan bahwa momentum Pilkada menjadi salah satu ‘ruang sakral.’

Sakralitas Pilkada terletak pada ‘penyerahan diri cabub dan cawabub untuk dipilih’ dan ‘pengakuan publik atas mereka’ serta ‘hakikat tugas yang diemban’.

Dalam kazanah akademis, menurut saya, dimensi sakralitas ini memperkaya ide politik demokrasi deliberatif J. Habermas: “pemerintahan oleh yang diperintah” atau dalam konteks Indonesia kita lebih mengenalnya dengan ‘musyawarah’.

Musyawarah memang biasa dalam sistem demokrasi Indonesia, namun tidak/belum mengatakan apa-apa tentang ‘kesediaan pribadi yang mau memimpin’.

Dengan lain kata, demokrasi modern jarang sekali memandang pemimpin sebagai sebuah ‘panggilan’ yang luhur. Kalau ada, itu pun hanya formalitas belaka.

Dari pihak warga, Pilkada menjadi sakral karena ia ada berkat ‘kesediaan’ warga memberi ‘hak-hak’ asasinya untuk memilih pemimpin bagi  mereka.

Slogan Latin ‘Opto ergo sum’ (aku memilih maka aku ada) dari Leonard Thomas (1765)  barangkali relevan dalam konteks ini: kita ada karena kita memilih.

Sayangnya, perihal sakralitas ini tidak laku dalam refleksi para pemimpin selama ini. Banyak pemimpin daerah menjadi ‘raja-raja’ lokal yang hidup sesuka hati, demiki kepentingan mereka sendiri.

Untuk itu, terasa perlu meneliti lagi jejak-jejak sakralitas Pilkada (demokrasi) agar para pemimpin nantinya tetap tahu diri.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini