Polemik Pede: Melawan Ketidakwarasan

Oleh: RIKARD RAHMAT

Tentang polemik Pantai Pede di Manggarai Barat (Mabat) yang hari-hari ini kian memanas, mari kita mulai dari soal kewarasan.

Sebab produk-produk hukum ataupun perjanjian yang baik pastilah dimulai dari kewarasan. Orang menyebutnya, common sense. Kalau tidak waras, pasti juga mengandung benih-benih ketidakadilan.

Mengapa? Tak jarang, banyak produk hukum yang tidak waras itu dibuat dengan sengaja untuk melindungi kepentingan pelaku-pelaku bisnis dan orang-orang berkuasa.

Dengan alasan telah sesuai prosedur, misalnya disetujui DPRD, bupati atau gubernur, produk-produk perjanjian atau hukum itu pun dianggap sah bahkan adil.

Di Indonesia, kediktatoran hukum (pasal-pasal perjanjian) semacam ini bukan barang baru. Tidak heran, “hukum-hukum” semacam itu menghadapi perlawanan yang kuat justru karena hilangnya elemen kewarasan dan keadilan di sana.

Maka, bukankah hukum, atau dalam wujud perjanjian, Memorandum of Understanding (MoU) atau apa pun namanya – yang tidak waras dan tidak adil tidak pantas dijadikan pedoman hidup bersama? Dan, bahkan tidak pantas ditaati?

Ketika hari-hari ini masyarakat Mabar tegas menolak privatisasi Pantai Pede, itu sebetulnya juga perang terhadap ketidakwarasan dan ketidakadilan.

Di mana ketidakwarasan dan ketidakadilannya? Terlalu sulitkah untuk menjawab pertanyaan ini?

Pertama, sederhana sekali, bagaimana mungkin, demi menghamba kepada investor, pemerintah mencaplok hak rakyat atas seluruh wilayah pantai yang representatif, mudah diakses dan indah? Bagaimana mungkin di Labuan Bajo, kota pantai, rakyat tidak dapat menikmati kesenangan di wilayah pantainya?

Bagaimana mungkin seluruh wilayah pantai yang bagus dan mudah diakses diberikan kepada investor? Rakyat Mabar bersenang-senang di mana?

Sebagian besar wilayah Pantai Pede telah diberikan kepada pelaku bisnis, terutama pengusaha hotel. Tinggal yang secuil ini saja, masa diberi lagi? Kalau begini caranya, Pemda Mabar dan Pemprov NTT tidak usah tanggung-tanggung: buat saja Labuan Bajo itu kota yang eksklusif bagi pengusaha pariwisata. Tetapi, ungsikan dulu sebagian besar penduduknya.

Itu kalau pemerintah mau Labuan Bajo menjadi kota eksklusif bagi pengusaha pariwisata. Toh, tidak ada lagi yang menarik di Labuan Bajo dan Mabar ketika secuil wilayah pantainya pun diambil untuk investor.

Air minum susah, listrik susah, fasilitas kesehatan susah. Dan, kali ini seluruh wilayah pantainya pun diambil.

Yang menyedihkan, ketika semuanya susah, incumbent masih percaya diri pula untuk mencalonkan diri lagi menjadi bupati!

Kedua, (calon) hotel PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM) milik Setya Novanto yang dibela habis-habisan oleh bupati sebelumnya Agustinus Ch Dula dan Gubernur Frans Lebu Raya itu, sesungguhnya bukan sesuatu yang sedemikian penting untuk pariwisata di Mabar.

Kalau perjanjian dengan PT SIM ditarik kembali, pariwisata tidak mati. Kontribusi hotel itu nanti tidak seberapa terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD), kalau itu yang mau dibela.

Masih banyak peluang dan ruang-ruang lain yang bisa digali dari kepariwisataan demi menunjang PAD Mabar.

Pertanyaannya: sudah seberapa serius Dula dan Lebu Raya mengelola dan mendulang hasil dari banyak potensi pariwisata di Mabar? Masih sangat jauh dari harapan.

Itu kalau mau berpikir lurus. Sayangnya, sudah sejak awal polemik Pantai Pede, baik Dula maupun Lebu Raya tampaknya tidak berurusan sama sekali dengan PAD itu. Patut diduga kuat, ada kongkalikong di ruang gelap yang sama sekali jauh dari kepentingan rakyat Mabar.

Kalau peduli dengan PAD, saya kira bupati dan gubernur yang paling bebal pun akan berpikir: secuil wilayah Pantai Pede itu tidak hanya dinikmati warga Mabar di Labuan Bajo, tetapi juga seluruh masyarakat Manggarai di 3 kabupaten, bahkan seluruh masyarakat dunia.

Ketiga, katakanlah Gusti Dula dan Lebu Raya serius mendatangkan PAD dari wilayah Pede yang tinggal secuil itu. Tapi, itu tidak lantas berarti bahwa satu-satunya cara adalah dengan menyerahkan pengelolaan dan bahkan kepemilikannya ke investor, bukan?

Mengapa Pemda Mabar tidak kelola sendiri saja dengan sumber daya dan anggaran yang ada. Katakan saja, setelah diambil alih Pemda, setiap pengunjung ke tempat itu dipungut tarif Rp 2000,00.

Dikumpulkan dengan jujur dan transparan, dalam setahun Pemda pasti mendapatkan uang yang jauh melampaui pajak hotel PT SIM.

Rakyat Mabar senang dan gembira, Pemda pun dapat uang. Pemerintah yang benar tentu tidak akan mengabaikan kesenangan dan kegembiraaan rakyatnya.

Kesenangan dan kegembiraaan itu tidak diberikan oleh pemerintah, tetapi oleh alam.

Ketika pemerintahan Dula (dan Lebu Raya) tidak menyenangkan dan menggembirakan dalam banyak hal, antara lain tidak ada rumah sakit umum daerah (RSUD), air minum, listrik yang memadai, infrastruktur yang parah, minimnya kompetensi untuk mengelola berbagai sumber daya potensial serta dugaan praktik korupsi yang masif terutama oleh para tukang proyek baik di jajajaran eksekutif maupun legislatif –  masa kegembiraan dan kesenangan yang diberikan oleh alam itu mau dicabut juga?

Bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di Indonesia ini memang milik negara, tetapi seharusnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan masyarakat banyak.

Kata kunci di sini adalah: perlunya kebijakan yang dibuat sedemikian rupa sehingga hak-hak dan kemaslahatan banyak orang tidak dikorbankan demi membela kepentingan segelintir, apalagi satu orang.

Kebijakan macam manakah yang niscaya menjamin kesejahteraan bagi banyak orang? Itu adalah kebijakan yang penuh dengan kebajikan. Landasan kebijakan seharusnya kebajikan.

Bagaimana caranya agar sebuah kebijakan penuh dengan kebajikan?  Pertama, dengan memelihara prinsip kejujuran dan integritas. Kedua, dengan mendengarkan suara rakyat, bukan pertama-tama dan terutama suara undang-undang atau MoU.

Dengan begitu, Anda disebut pantas menjadi pemimpin atau wakil rakyat.

Kebijakan yang tidak “bajik” sering kali terjadi karena dilandasi kepentingan atau ambisi pribadi, yaitu “ke-bijok-an”: menjadikan diri sendiri makmur dan sejahtera, yang disimbolkan dengan perut “bijok” (=buncit), sambil mengorbankan kepentingan rakyat.

Tentu, suara-suara seperti ini dapat digugat oleh orang-orang yang mengagung-agungkan “kepastian hukum”. Negara ini memerlukan kepastian hukum. Itu benar. Tetapi, kepastian itu tidak boleh mengorbankan keadilan dan kemanfaatannya bagi banyak orang.

Ketika rakyat banyak dikorbankan dan rasa keadilan terkoyak-koyak, tidak ada salahnya sama sekali hukum atau MoU itu ditarik kembali.

Jangan ada lagi dalih “sudah ada MoU, perjanjian, atau semacamnya”. Sebelum ditarik dan menyatakan secuil wilayah Pantai Pede itu milik rakyat Mabar, rakyat sah untuk tidak taat dan melakukan perlawanan.

Saya dengar, ada wakil rakyat NTT menyarankan agar rakyat Mabar ikhlas saja, dengan alasan, sudah ada surat resmi yang sah bahwa itu aset milik pemerintah provinsi.

Janganlah pakai argumen “jadul” semacam ini, apalagi Anda wakil rakyat. Wakil rakyat itu mendengarkan suara rakyat, bukan suara undang-undang.

Yang diperjuangkannya adalah pertama-tama dan terutama aspirasi rakyat, bukan penegakan (enforcement) pasal-pasal dalam undang-undang atau perjanjian. Ingat itu! Apalagi, pasal-pasal yang nyata-nyata jauh dari rasa keadilan dan kewawarasan.

Sama halnya, dalam kasus tambang di Manggarai, kaum klerus seperti uskup mesti mendengarkan jeritan dan penderitaan umat yang menjadi korban pertambangan PT SJA di Reo, bukan pertama-tama dan terutama mengacu pada hasil keputusan MA – yang dijadikan acuan oleh SJA untuk membenarkan langkah mereka merambah hutan lindung.

Maka, kasarnya, apapun bentuk dan hasil keputusan hukum,  wakil rakyat (DPRD) dan kaum klerus harus melawan apapun yang bertentangan dengan keadilan dan rasa kemanusiaan, meski dengan itu, ada resiko-resiko yang harus ditanggung.

Penulis adalah warga Mabar, tinggal di Jakarta dan mantan aktivis Florete Flores.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini