Kisah Malam 1000 Lilin di Pede: Dari Seruan Perlawanan Hingga Todongan Pistol

Floresa.co – Tidak seperti biasanya, Minggu  (8/11/2015) mulai pukul 18.00 Wita hingga pukul 20.00, Pantai Pede gemerlap dengan cahaya lilin.

Lebih dari 300 orang dari segala usia berkumpul dan membentuk lingkaran di pantai sebelah barat Labuan Bajo, Manggarai Barat (Mabar) itu.

Di tengah-tengah lingkaran, sebuah instalasi menyerupai hotel yang terbuat dari bambu dan kardus berdiri tegak.

Sementara itu, di salah satu sudut, di bawah sebuah pohon bidara dengan temaram lampu seadanya, terdapat panggung yang ditata sederhana.

Perlengkapan musik dan sound system seadanya digelar di situ. Di samping kiri dan kanan, dua baliho besar bertuliskan Selamatkan Pantai Pede Untuk Ruang Publik dan maket plan berisi desain Pantai Pede dengan tema Natas Labar terpampang jelas.

Di dekat itu, ada sebuah frame warna biru bertuliskan Save Pede, I’m in dan poster berukuran 50×50 cm bertuliskan Kami Butuh Ruang, Bukan Cuma Uang. Keduanya bersandar pada tubuh bidara.

Di areal yang menjadi titik tengah Pantai Pede, orang-orang tadi dengan lebih dari satu cahaya lilin di tangan membentuk sebuah lingkaran besar. Ada gemerlap cahaya yang teduh di sana.

Tidak jauh dari situ, persis di atas pasir pinggir pantai, sebuah instalasi lilin dirancang sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah rangkaian tulisan.

Ketika dinyalakan, instalasi lilin tersebut membentuk tulisan “Save Pede!”

Tentu, ini pemandangan yang jarang terjadi di pantai yang selalu gelap-gulita ketika malam tiba.

Lingkaran Cahaya

Lingkaran cahaya dan tulisan Save Pede itu adalah bagian dari rancangan yang secara khusus disiapkan untuk aksi Malam Cahaya 1000 Lilin.

Inisiator aksi ini dalah gabungan komunitas orang muda dan seniman di Mabar, dengan kordinator Jovially Satriano Valentino dan Boe Berkelana.

Rino, begitu Jovially sering disapa mengatakan, aksi ini adalah sebuah penegasan atas sikap masyarakat yang 100 persen menolak privatisasi Pantai Pede.

“Ini menindaklanjuti sikap kukuh Gubernur NTT ketika mengadakan pertemuan tertutup-terbatas dengan sejumlah elemen masyarakat untuk memuluskan rencana privatisasi Pantai Pede,” katanya.

Ia merujuk pada pertemuan Gubernur Frans Lebu Raya pada dua pekan lalu di kantor bupati Mabar, di mana kala itu, Lebu Raya  menegaskan sikapnya untuk tetap menyerahkan Pantai Pede kepada PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM) untuk pembangunan hotel.

“Cahaya lilin bertuliskan Save Pede secara simbolik merupakan seruan perlawanan terhadap sikap Gubernur NTT,” jelas Rhino.

Boe menambahkan,  Boe aksi tersebut juga merupakan sebuah panggilan sekaligus ajakan kepada seluruh masyarakat untuk meneguhkan kembali sikap tolak 100 persen  terhadap segala bentuk privatisasi ruang publik.

“Juga, lebih lanjut membangun solidaritas untuk terlibat bersama dalam gerakan nyata mempertahankan Pantai Pede sebagai ruang publik bersama, natas labar,” katanya.

Dan secara simbolik,  menurut Boe, hal itu kemudian ditandai dengan lingkaran cahaya yang memenuhi titik tengah Pantai Pede.

Boe menjelaskan,  memakai lilin sebagai sebagai properti utama dalam aksi ini mengandung maksud tersendiri.

“Lilin disepakati oleh seluruh penyelenggara sebagai simbol harapan, doa, ketulusan, dan sekaligus keyakinan bahwa perjuangan mempertahankan Pantai Pede sebagai natas labar adalah perjuangan masyarakat untuk kebaikan umum melawan kehendak penguasa yang lalim,” katanya.

Dan untuk itu, ungkapnya, semua yang menggerakan aksi ini yakin bahwa ketika seluruh masyarakat terlibat bersama-sama dalam perjuangan habis-habisan, maka perang ini sudah pasti dimenangkan oleh kebaikan.

“Sudah banyak buktinya,” tandas Boe.

Berbeda dengan Festival Pantai Pede yang baru digelar 15-17 Agustus 2015 lalu, acara itu mendapat respon positif sejak awal dikomunikasikan kepada pihak kepolisian. Padahal, penyelenggara kegiatannya sama.

Kapolres Mabar bahkan memerintahkan satu pleton aparat untuk mengamankan aksi sampai tuntas.

Dan memang, sejak setengah jam sebelum aksi dimulai, di beberapa titik terlihat aparat kepolisian sudah tersebar dan tampak berjaga-jaga.

Pesan Perlawanan

Malam Cahaya 1000 Lilin ini tepat dimulai persis setelah matahari terbenam.

Lagu rakyat Cei Lalong Beo yang dipopulerkan kembali oleh Gazpar Araja menjadi pembuka jalan sekaligus menantang semua yang hadir untuk menjadi pembela tanah Manggarai beserta seluruh isinya.

Gaspar merupakan salah satu musisi muda kelahiran Manggarai yang menolak privatisasi Pantai Pede melalui lagunya, Save Pede, Natas Labar Dami.

Suasana di Pantai Pede (Foto: Maria Rosdalima Panggur)
Suasana di Pantai Pede (Foto: Maria Rosdalima Panggur)

Pemandangan matahari terbenam petang itu menjadi teman yang sempurna untuk Rino ketika mulai membacakan sebuah monolog sekaligus renungan berjudul Lalu Untuk Apa Pede (Pesan) Ini?

Dengan tegas Rino, dalam salah satu barisnya, menyerukan: Ataukah Kita menunggu saja, melihat dan tahu-tahu Kita sudah diperbudak kebijakan, kebijakan yang kita gantungkan pada jabatan dan kebijaksanaan mahkluk rakus?

Ketika emosi yang hadir memuncak, lilin satu per satu mulai dinyalakan sebagai tanda harapan, doa, ketulusan dan keyakinan juga mulai dipanjatkan bersama lantunan instrumental lagu Ewada yang sayup-sayup dimainkan band dari Komunitas Bolo Lobo.

Rino kemudian menutup dengan satu baris ajakan: Mari kawan-kawan, jadilah pembawa pesan. Pesan yang lahir dari rahim ketidakadilan, pesan yang datang dari pusat keserakahan. Pesan untuk hancur-LEBUR-kan ketamakan. Agar anak cucu kita tahu bahwa Kita pernah berjuang untuk tawa mereka, Kita pernah berdiri dan TEGAS berteriak: TOLAK!

Persis di ujung monolog, salah satu baris lirik berbahasa Manggarai dalam lagu Ewada yang pernah dipopulerkan Franky Sahilatua dan Ivan Nestorman itu menjadi pamungkas, ketika semua yang hadir begitu emosional menyanyikan: Sangged one lino de Morin de ngaran ta (Semua di dunia adalah milik Tuhan).

Lilin-lilin belum padam ketika sesaat setelah monolog lagu Poti Kose (Setan Perusak) gubahan Ivan Nestorman yang dikumandangkan dengan lantang oleh Komunitas Bolo Lobo, lagi-lagi, seperti mengajak semua yang hadir untuk sama-sama bernyanyi: Poti pande jiri ata tako, Poti pande bike taungs (Setan yang menghasut manusia untuk jadi pencuri, setan yang menimbulkan perpecahan).

Ketika lagu berakhir, sebuah puisi berjudul Kota karya Kris Bheda Somerpes dibacakan secara spontan oleh salah seorang gadis yang ikut hadir. Vony namanya.

Dengan suara lirih, ia mendeklamasikan pusi itu: Pandangi gedung-gedung kota, ada jejak-jejak tangis, jadi bata, ditampar diam, tanpa kata.

Penampilan spontan kembali dilanjutkan band Seminari St Yohanes Paulus II Labuan Bajo dengan lagu berjudul Menulis Dengan Hati.

Penampilan apik mereka dilengkapi dengan sebuah puisi berjudul Cinta di Pede yang dibacakan secara romantis oleh Arsi, seorang siswa seminari.

Berkali-kali, larik-larik pada puisinya tentang sebuah kisah cinta remaja yang dipertemukan di Pantai Pede disambut riuh tepuk tangan.

Setelah itu, secara bergantian musik dari band GoS asal Nggorang dan Bolo Lobo kembali menaikkan tensi untuk menjemput sebuah penampilan yang sejak awal acara diwanti-wanti akan mengejutkan.

Tanpa ditunggu-tunggu, Teater Kejut, benar-benar menepati janji untuk memberi kejutan.

Tiba-tiba, dari antara yang hadir, sejumlah pelakon berlari dan berguling dengan tubuh penuh berlumuran cat putih menuju instalasi “hotel” di tengah-tengah lingkaran. Liar betul gerakan mereka.

Sementara itu, sebuah puisi berjudul Berontak karya Ragil Sukriwul, penyair muda NTT, diekspresikan dengan begitu sentimental oleh Minangsari.

Tiba di tengah, para pelakon berusaha untuk menumbangkan “hotel” tadi. Geraknya sendiri-sendiri. Namun, tidak ada yang berhasil sampai Minangsari meneriakkan kata “Berontak!”  tiga kali.

Tepat ketika itu, seruan untuk bersatu dan sama-sama menghancurkan “hotel” tadi menyeruak dari antara mereka sendiri.

Pada akhirnya, memang “hotel” itu hancur-lebur didobrak kemarahan bersama yang telah melampaui ambang batas. Lebur sampai tidak ada yang tersisa. Hanya senyum kemenangan dan teriakan “Kami butuh ruang, bukan cuma uang!” yang beberapa kali terlontar.

Kuhancurkan Kau di Pantai Pede, itu judul pertunjukan teaternya.

Matheus Sakeus, seniman serbabisa pengampuh Lontart Academy yang menulis teater  singkat ini, menjelaskan, yang ditampilkannya bersama Komunitas Teater Kejut adalah cara mereka menangkap realitas ketika kaum kapital dengan segala tipu dayanya begitu leluasa menghancurkan harga diri masyarakat kebanyakan.

Labuan Bajo  adalah contoh paling kasat mata. Namun menurutnya, para pemuda mesti menjadi yang terdepan untuk melawan segala bentuk penindasan kaum kapital.

“Termasuk memperjuangkan Pantai Pede menjadi ruang publik, natas labar,” kata Matheus.

Testimoni: Todongan Pistol

Menjelang akhir acara ini ini, yang hadir dipersilahkan memberikan testimoni secara spontan. Beberapa di antaranya langsung menuju panggung di bawah temaram pohon bidara dan mulai menyampaikan testimoninya.

Seorang bapak separuh baya asal Lembor bernama Darmin menegaskan bahwa Pantai Pede harus dipertahankan untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk investor.

Sebab, kata dia, investor adalah cerminan poti kose sebagaimana lagu yang dinyanyikan band Bolo Lobo.

Marta Muslin Tulis dari Komunitas Bolo Lobo dengan sangat tajam menjabarkan bahwa secara filosofis orang Manggarai bahkan tidak menjadikan semua lahannya sebagai kebun.

Selalu ada halaman yang dikhususkan menjadi tempat bermain dan berkumpul, yang disebut natas labar.

Marta kemudian melemparkan pertanyaan tentang siapa yang paling diuntungkan dengan pembangunan hotel di pantai yang jadi satu-satunya pantai publik terakhir.

“Bukan kita tetapi investor,” tegas Marta.

“Lalu apakah kita membutuhkan hotel?”

Serentak semua yang hadir menjawab lantang “Tidak”.

Sayangnya, lanjut Marta, gubernur lebih mementingkan investor, bukan masyarakat.

Beberapa pelajar dari Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo juga turut memberikan testimoni.

Nada para calon imam itu berapi-api.

Salah satu di antaranya dengan keras menyatakan, logika pembangunan yang diusung pemerintah adalah logika pembangunan kapitalis neolib.

“Hanya memburu untung semata. Tetapi aspek lain dari masyarakat tidak diperhatikan,” kata siswa itu.

Yang mengejutkan dan membuat geram hampir semua yang hadir,  seorang yang lain memberi kesaksian bahwa pernah suatu ketika ia dan beberapa kawan seminaris lainnya mengunjungi Pantai Wai Cicu.

Ketika memaksa masuk ke areal pantai yang sudah dipagari Hotel Sylvia, mereka dicegat seseorang.

Belum sempat beradu argumentasi lebih banyak, mereka langsung diancam pergi dengan todongan pistol.

Melihat pistol, mereka yang masih belia ini pun memilih mundur.

Setelah testimoni-testimoni selesai diutarakan, band Bolo Lobo langsung menutup aksi malam itu dengan sebuah lagu rakyat Flores Timur berjudul Lui E.

Lagu ini diubah sedemikian rupa oleh Bolo Lobo menjadi sebuah lagu gerakan yang selalu dinyanyikan sebagai bentuk kampanye menolak privatisasi Pantai Pede.

Salah satu bait lagu itu terus-menerus diulang:

Jika Anda rebut pantai kami, maka kami akan rebut kembali. Jangan sampai kami naik pitam, karena Anda pasti kena hantam terus-menerus diulang. (Edward Angimoy/ARL/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini