Perjuangan Tolak Tambang di Manggarai dan Peran Gereja

Floresa.co – Siprianus Amon, 62, seorang tokoh masyarakat memilih untuk menentang perusahaan tambang yang menyebabkan masalah pernafasan dan penyakit kulit di kalangan sesama warga desa dan menghancurkan sejumlah besar hutan.

Dia memilih berpihak bersama mereka meskipun ia rela ditangkap.

Banyak penduduk desa – balita, anak-anak dan orang dewasa – menderita sakit dada dan perut, bahkan batuk darah akibat polusi udara dan air yang diduga disebabkan oleh perusahaan tambang PT Arumbai Mangan Bekti.

Perusahaan itu telah beroperasi di Kabupaten Manggarai, Pulau Flores bagian barat, sejak tahun 1982, termasuk di desa Serise, di mana Amon dan ratusan warga lainnya tinggal.

Selama bertahun-tahun, kaum ibu tidak bisa mendapatkan air bersih karena air sumur telah berubah hitam akibat limbah tambang. Selama musim kemarau, debu mangan menyelimuti rumah penduduk, peralatan dapur, tanaman, dan makanan.

Anak-anak tidak bisa bermain di luar rumah karena ketika mereka melakukan hal itu, pakaian atau seragam sekolah mereka menjadi hitam. Warga mengeluh kepada manajemen perusahaan, pemerintah dan DPRD. Keluhan mereka diabaikan, dan ruang gawat darurat rumah sakit dan klinik lokal menjadi terbebani untuk mengobati berbagai penyakit mereka.

Saat itulah penduduk setempat melapor ke pemimpin Gereja Katolik.

“Para pemimpin Gereja merespon dengan cepat dan segera mengorganisir orang tahun 2009, menuntut bahwa perusahaan berhenti operasi,” kata Amon.

Tak lama kemudian, ia dan tiga orang lainnya di desa Serise ditangkap oleh polisi. Dia didakwa karena berencana melakukan serangan terhadap perusahaan dan dipenjara selama lima bulan.

“Semua yang kami lakukan adalah mempertahankan tanah leluhur kami. Tidak ada yang kurang, tidak ada yang lebih,” katanya, mengklaim tuduhan terhadap dirinya.

“Ini adalah saat yang menyakitkan bagi saya dan keluarga saya ketika suami saya dipenjara karena membela hak-hak rakyat,” kata istri Amon, Elisabet Gambung.

Rikardus Hama, tokoh masyarakat di Tumbak, sebuah desa tetangga Serise, dipenjara selama tiga bulan lantaran membela tanah leluhur dan hak-hak lebih dari 400 petani menghadapi eksploitasi oleh PT Aditya Bumi Pertambangan, perusahaan pertambangan lain.

Dia mengatakan polisi menuduhnya mengancam staf perusahaan, yang datang untuk survei lokasi.

“Tapi alasan utama saya ditangkap karena saya tidak mengizinkan perusahaan yang mulai membawa eksavator dan buldozer ke lahan warisan nenek moyang kami, secara turun-temurun,” kata Hama, mengacu pada sekitar 22.200 hektar lahan yang perusahaan mengaku telah diberikan oleh otoritas lokal – tanpa diskusi sebelumnya dengan masyarakat setempat.

Protes terhadap perusahaan tambang membuat Hama dan dua orang lainnya, termasuk aktivis Gereja Marianus Kisman dipenjara selama tiga bulan.

“Namun, kami sangat berterima kasih karena Gereja Katolik segera merespon setelah kami meminta bantuan,” tidak seperti anggota parlemen dan pemerintah yang mengabaikan keluhan mereka, kata Hama.

Karena protes besar-besaran, Bupati Manggarai Timur Yosef Tote tahun 2011 menginstruksikan perusahaan tambang untuk menghentikan operasi dan menginstruksikan pemerintahannya mengevaluasi kembali kegiatan pertambangan.

‘Sebuah Gereja anti-tambang’

Kisman, aktivis Gereja yang bekerja pada kampanye anti-pertambangan untuk Fransiskan dan SVD, mencatat bahwa Gereja telah berperan penting dalam protes anti-tambang dalam empat tahun terakhir.

Dia mengatakan para aktivitas pertambangan di Manggarai mengkritik pemerintah dan perusahaan pertambangan lokal yang mengambil keuntungan dari kepolosan dan kenaifan penduduk setempat. Tiga puluh tahun lalu, ketika operasi pertambangan dimulai di kabupaten ini, tidak ada yang tahu apakah pertambangan dan apa dampaknya terhadap lingkungan.

“Adalah Gereja Katolik yang membuat orang sadar akan dampak negatif pertambangan untuk kehidupan warga dan keutuhan ciptaan di sini,” kata Kisman. “Kasus ini mendorong uskup, imam, bruder, suster, dan orang awam bersatu.”

Kisman dipenjara karena sikapnya melawan PT Aditya Bumi Pertambangan, yang juga menuduh dirinya, yang membuat ia ditangkap oleh polisi, katanya. Ia dituduh menerima uang dari perusahaan.

Dalam beberapa tahun terakhir, sekitar 14 orang di Manggarai dan Manggarai Timur dipenjara karena penentangan mereka terhadap operasi pertambangan.

“Ketika kami dipenjara, semangat aktivisme anti-tambang dinyalakan oleh para pemimpin Gereja, terutama ketika Uskup Ruteng Mgr Hubertus Lenteng mengunjungi dan berbicara dengan umat dan memimpin Misa di lokasi pertambangan,” kata Kisman.

“Kehadiran uskup di lokasi pertambangan memberikan sinyal yang kuat terhadap pertambangan,” kenang Pastor Mikael Peruhe, koordinator Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan (KPKC)  di Jakarta.

Berbicara kepada peserta sinode keuskupan pada Januari tahun lalu, Uskup Lenteng menyatakan bahwa Keuskupan Ruteng adalah Gereja anti-tambang. Dia juga menginstruksikan umat Katolik untuk menentang setiap calon pejabat terpilih yang langsung atau tidak langsung terkait dengan perusahaan tambang.

Pada Oktober tahun lalu, ribuan orang bergabung bersama Uskup Leteng mengadakan reli anti-tambang di Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai.

Selama demo yang disponsori Gereja, pengunjuk rasa meminta pemerintah menghentikan semua operasi pertambangan di tiga kabupaten di bawah yurisdiksi Keuskupan Ruteng karena dampak bencana itu terhadap lingkungan, tradisi dan konflik sosial.

Pertambangan dan politik

Dari tiga kabupaten di bawah yurisdiksi gerejawi keuskupan Ruteng, hanya bupati Manggarai Timur membuat pilihan politik untuk menentang pertambangan.

Sebuah sikap yang sama diharapkan dari kabupaten Manggarai dan kabupaten Manggarai Barat, karena bupati baru diharapkan akan dilantik setelah pilkada 9 Desember.

Namun, warga setempat masih dipengaruhi oleh pertambangan – seperti Amon, Kisman, dan Hama – mengatakan mereka akan tetap waspada dengan perusahaan tambang.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara melaporkan bahwa pemerintah kabupaten Manggarai Timur memberi izin untuk tiga perusahaan – PT Istindo Mitra Perdana, PT Arumbai Mangan Bekti, PT Aditya Bumi Pertambangan – menambang di lahan dengan luas 37.000 hektar, sebagian lahan tersebut subur  dan menjadi sumber kehidupan warga lokal. Kesepakatan itu mempengaruhi ribuan warga di desa-desa setempat.

Bagi Hama, tokoh masyarakat yang dipenjara karena membela tanah leluhurnya, kasus ini menggarisbawahi pentingnya waspada.

“Kami merasa ditipu. Oleh karena itu kami harus berjuang dengan segenap hati dan jiwa kami,” katanya.

Tulisan ini merupakan hasil liputan Siktus Harson, jurnalis Uca News. Versi aslinya bisa Anda baca di Ucanews.com. Kami mempublikasinya kembali dengan mengedit beberapa bagian untuk disesuaikan dengan gaya Floresa.co.

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini