Privatisasi Pantai Pede dan Ketiadaan “Legitimasi” Sosial

Oleh: INOSENTIUS MANSUR

Gubernur NTT, Frans Lebu Raya, tetap ngotot memberikan otoritas kepada PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM) untuk mengelola Pantai Pede.

Dalam pertemuan dengan beberapa elemen rakyat dan perwakilan dari PT SIM beberapa pekan lalu lalu, terlihat sekali sikap pemprov yang lebih memilih untuk “melawan” gerakan penolakan rakyat terhadap privatisasi pantai itu. Sikapnya jelas, pantai itu tetap dikelola oleh pemodal.

Dengan dalih, demi kesejahteraan rakyat, keputusan itu pun tetap dieksekusi. Libido politik dan ambisi pragmatis yang disertai dengan “cika-bakal” tipikal kepemimpinan otoritarianisme, telah menyebabkan nurani penguasa mengabaikan desakan publik agar mengkaji lagi (membatalkan) keputusan itu.

Saya menduga bahwa kengototan itu terjadi karena satu hal: pemprov sudah memberi legitimasi kepada PT SIM untuk memprivatisasi Pantai Pede. Sudah ada kesepakatan (barangkali banyak poin tersembunyi yang menguntungkan pihak tertentu saja) dan tidak mungkin lagi kesepakatan itu didelegitimasi.

Sebab, jika demikian, PT SIM akan menuntut balik pemprov dan bisa jadi membongkar semua deal (aib) yang selama ini telah disepakati. Sampai di sini, jangan heran jika gerakan penolakan rakyat kian nirmakna.

Maka sungguh tepatlah pepatah ini, “anjing menggonggong, khafila berlalu”. Kritik dan desakan sama sekali tak digubris. Meminjam “rintihan” Amir Hamzah, kerinduan rakyat untuk tetap memiliki Pantai Pede sebagai pantai bersama, sebagai ruang bersama, sebentar lagi akan menjadi “rindu sendu mengharu kalbu”.

Kerinduan itu tak akan menjadi kenyataan. Rakyat akan dipisahkan dengan pantai kebanggaan mereka. Kritikan, kecaman, kecemasan dan “tangisan” rakyat seolah-olah tak penting. Pemprov tetap pada keputusannya. Perlahan tetapi pasti, rakyat lokal (Mabar) pun tergusur oleh “legitimasi” pragmatis pemprov.

Padahal, setiap kebijakan pemerintah, apa pun jenisnya, tidak pernah boleh mengabaikan kritikan dan keinginan rakyat. Sebab pada hakikatnya, pembangunan merupakan kristalisasi dari harapan rakyat. Apa yang menjadi kebijakan pemerintah mestinya mengakomodir keinginan rakyat.

Hal ini sesuai dengan salah satu poin Nawa Cita Presiden Joko Widodo yaitu membangun bangsa dari pinggiran. Rakyat yang menginginkan deprivatisasi Pantai Pede adalah rakyat “pinggiran”. Tetapi bukan berarti mereka pantas “dipinggirkan”. Jika merujuk pada Nawa Cita, maka harus dikatakan bahwa justru mereka inilah yang menjadi subjek pembangunan.

Namun kini, agaknya suara rakyat benar-benar menjadi suara kaum tak bersuara yang tak pantas bersuara. Kalaupun bersuara, suara mereka tak layak didengarkan. Sungguh ironi, karena kita menyaksikan dengan cukup baik bahwa demokrasi di Mabar telah dipelintir menjadi demokrasi kaum elitis-kapitalis yang berisi persengkokolan dan konspirasi antara elitis dan pengusaha, lantas memarginalisasi rakyat biasa.

Kesepakatan level elite, telah mengorbankan rakyat lokal. Padahal, pembangunan itu harus mampu mensejahterakan rakyat yang berada pada level akar rumput.

Selain itu, hemat saya, pendekatan pembangunan terutama berkaitan dengan Pantai Pede terlalu menekankan aspek (legitimasi) yuridis, lantas mengabaikan legitimasi sosial. Bahwa sebagai negara hukum, pemerintah (dalam hal ini pemprov), berhak untuk memberikan legitimasi berupa basis yuridis berkaitan dengan tata kelola pembangunan termasuk menyerahkan pengelolaan Pantai Pede kepada siapa pun.

Tetapi, negara hukum bukan berarti mengabaikan pendekatan berbasiskan etika kultural dan psiko-sosial masyarakat. Desain dan pola pendekatan pembangunan, meskipun itu merujuk pada legitimasi yuridis, mestinya tetap mempertimbangkan reaksi rakyat yang berada di sekitarnya.

Dalam kaitannya dengan kebijakan Pantai Pede, kita harus mengakui bahwa pemprov gagal merancang pembangunan yang pro rakyat, yang membangun dari pinggiran.

Pemprov mengabaikan pola pendekatan berbasiskan konteks sosial dan kultural rakyat. Pola pendekatan yuridis yang hanya menguntungkan elite dan kapitalis semata, justru mengeliminasi pola pembangunan partisipatif dimana rakyat sendirilah yang harus menjadi subjeknya.

Dampaknya adalah keputusan itu memarginalisasi rakyat dan otomatis meng’genosida’kan kearifan lokal rakyat setempat.

Pemprov boleh berkeinginan memberikan wewenang pengelolaan pantai itu kepada pemodal, tetapi jangan pernah mengabaikan pola pendekatan pembangunan yang “ramah” kearifan lokal.

Persoalan utama penolakan privatisasi Pantai Pede justru terletak di sini. Di satu sisi, pemprov ngotot karena merasa memiliki kuasa untuk memberikan legitimasi kepada pemodal dalam mengelola pantai itu. Tetapi di pihak lain, hal seperti akan menimbulkan pertanyaan: apalah artinya legitimasi yuridis jika tidak mendapat legitimasi sosial?

Yang saya maksudkan dengan legitimasi sosial adalah dukungan penuh masyarakat (sosial) atas sebuah kebijakan. Yang termasuk di dalamnya adalah aspek psiko-sosial dan psiko-kultural rakyat setempat.

Hal seperti ini seharusnya menjadi salah satu unsur yang patut dipertimbangkan dalam kebijakan. Legitimasi inilah yang menjadi bagian penting berkaitan dengan setiap kebijakan sosial.

Untuk konteks Pantai Pede, secara sosial dan kultural, rakyat tidak bisa menerima kenyataan bahwa pantai itu bukan lagi menjadi milik mereka. Mereka akan sulit mengakui bahwa pantai yang sudah ribuan tahun lamnaya telah menjadi milik mereka itu sebentar lagi akan menjadi milik pihak tertentu saja.

Mereka akan enggan menerima kenyataan bahwa pantai yang saat ini menjadi satu-satunya ruang publik yang masih secara bebas dapat digunakan sebagai ruang kolektif itu, akan dikapitalisasi. Tidak mungkin mereka menerima kalau mereka dilarang untuk masuk ke sana, ataupun harus berurusan dengan berbagai administrasi yang rumit jika hendak pergi ke pantai itu.

Bayangkan saja, sudah ribuan tahun mereka menjadikan Pantai Pede sebagai ruang publik, tempat afirmasi diri sebagai makhluk rekreatif, tetapi kini dan selamanya akan dilarang atau minimal dibatasi.

Inilah yang sama sekali tidak diperhatikan oleh pemprov. Sementara rakyat merasa bahwa Pantai Pede telah menjadi bagian integral dari eksitensi mereka. Pantai Pede sudah menyatu dengan mereka dan telah menjadikannya sebagai “natas labar” bersama. Dan sebentar lagi “natas labar” bersama itu akan dicaplok demi kepentingan tertentu.

Jika kebijakan pembangunan dan pengelolaan Pantai Pede oleh pemodal ditolak secara massif oleh rakyat, maka pembangunan itu harus dibatalkan. Ini menjadi pertanda bahwa kebijakan itu sama sekali tidak mendapat legitimasi sosial.

Saya berani bertaruh, kalaupun pemerintah mempertahankan keputusan itu, maka eksistensi pengelola Pantai Pade (dalam hal ini PT SIM) tidak akan aman.

Rakyat akan terus “mengganggu” keberadaannya sampai kapan pun. Hal ini tentu saja mengganggu para tamu yang hendak ke sana dan menjadi preseden buruk pemprov NTT, pemda Mabar dan terutama lagi bagi dunia pariwisata kita.

Dengan tetap memberikan izinanan kepada PT SIM, itu berarti pula, pemprov membuka ruang bagi adanya distorsi sosial berkepanjangan dan pergolakan publik yang hebat sebagai akibat ketidakpuasan rakyat akan kebijakan itu.

Maka, potensi anarkisme tidak mungkin terhindarkan lagi. Karena itu, atas nama kestabilan sosial dan kemaslahatan bersama serta demi terwujudnya demokrasi yang pada hakikatnya adalah dari, oleh dan untuk rakyat, kita berharap agar pemprov “meninjau” lagi keputusannya itu.

Sebab, sekali lagi, legitimasi yuridis tidak boleh mengabaikan “legitimasi” sosial. Harus diakui bahwa legitimasi yuridis memang memberi wewenang kepada pemprov untuk mengeluarkan kebijakan apa saja berkaitan dengan ruang publik itu.

Tetapi, perlu disadari bahwa legimitasi sosial akan memberi jaminan sosial dan kenyaman bagi keberlanjutan sebuah program.

Legitimasi sosial merupakan salah satu penentu apakah kebijakan pemprov itu pro rakyat ataukah tidak. Karena itu, tidak boleh diabaikan.

Penulis adalah dosen dan ketua penyunting Jurnal ALTERNATIF, STIPAS St. Sirilus Ruteng

spot_img

Artikel Terkini