Karya: Nana Lalong

Bagaimana mungkin kau membiarkan aku menunggu selama ini? Gadis itu menyatakan kecemasanya dengan jujur. Seringkali ia mengatakannya sambil memandang ke cermin.

Ada kemudian yang mulai tergerus oleh kata yang menakutkan untuk gadis seayu ia: penuaan.

Bagaimana mungkin penuaan diterima dengan sikap rela tanpa ada kekasih yang siap menerima dirinya apa adanya?

Tetapi setiap kali juga lelaki pujaan meneguhkan gadisnya untuk selalu sabar menunggu. Cinta selalu datang di saat yang tepat, sayangku. Begitu ia menghibur ketika mereka kembali duduk di Jembatan Gongger suatu sore.

Jalanan lengang. Hanya satu dua kendaraan bermotor melintas. Angin sepoi-sepoi berhembus dari arah muara.

Seperti halnya kita tak dapat berpikir tanpa bahasa. Demikian juga kisah cinta mereka tak pernah bisa dipikirkan tanpa Gongger.

Ini jembatan terpanjang, 150 meter di Reo, kota di Pantai Utara Manggarai, Flores. Ada ratusan kata manis diungkap lelaki itu pada temaram langit senja di atas jembatan ini.

Di jembatan terpanjang ini, diam-diam lelaki itu hendak menemukan pada kekasihnya kesabaran yang tak pernah pendek! Sekali saja ia pendek, itu bukan sabar lagi.

Di atas jembatan terpanjang ia mengharapkan pada kekasihnya sesuatu yang ia temukan pada Allah, panjang sabar dan penuh kasih setia.

Di mata gadis itu, pacarnya yang bernama Lando adalah lelaki yang tak biasa. Ketika orang tak berani menyatakan rasa, dan membutuhkan jembatan sebagai penghubung, Lando menjadi lelaki yang berani menatap wajah perempuan dan mengungkap perasaannya.

Ada wajah yang tak gentar betapapun akhirnya ditolak. Penolakan memang seringkali dihindari setiap orang. Orang tak berani menghadapinya secara langsung.

Tak cuma itu keberlainan Lando. Ketika yang lain selalu mencari hadiah di toko untuk kado Valentine, Lando melipir ke bengkel kayu dan membuat sesuatu yang berbeda. Ia kembali dengan sebuah papan nama. Gadis itu pun ingat sesuatu yang tiap kali dilihatnya di ambang pintu kamar. Di sana ada papan nama bertuliskan abjad Arab.

Darimana Lando tahu tulisan Arab? Ia Katolik dan tak pernah dapat pelajaran membaca Alquran. Ia tidak pernah belajar Arab. Setiap hari Minggu ia ke gereja. Senin hingga Sabtu ia ke sekolah. Kapan ia belajar Arab?

Gadis itu pernah bergayut dengan pertanyaan ini ketika memandang papan nama itu untuk pertama kalinya. Kado yang mengejutkan dan sangat spesial. Dikaguminya karya itu berkali-kali.

Barangkali itu yang membuat si gadis rela menunggu meski harus lama. Lando memang unik. Ia suka pada sesuatu yang dibuat sendiri.

Sebuah pemberian bernilai tinggi baginya jika berasal dari karya tangan sendiri. Ada rasa yang dibiar getar selama proses pembuatan berlangsung. Dan jelas sekali sesuatu itu dibuat tidak untuk dilemparkan ke pasar. Sesuatu dibuat dengan intensional.

Ada seseorang yang akan menerima barang yang dikerjakan itu.  Rasa itulah yang dirawat Lando setiap kali membikin kado untuk kekasihnya.

Jika kamu gadis, janganlah kamu mengidamkan pacar yang aneh seperti Lando. Begitu celoteh gadis itu suatu ketika di hadapan teman-temannya. Selain jarang, kata gadis itu, Lando hanya satu. Dan itu hanya milik saya! Teman-temannya hanya terkekeh sambil cie…cie…so swee…t!

Kata-kata itu lebih terasa sebagai mantra penghibur. Sebab ada yang tak selalu disenanginya dari Lando. Ia membuatnya menunggu begitu lama. Barangkali ini keberlainan Lando dengan lelaki yang biasa.

Lelaki lain akan ngebet masuk minta setelah satu dua tahun pacaran. Lando dan gadis pantura itu berpacaran bertahun-tahun. Sejak tamat SMA dan selesai kuliah, keduanya saling menjaga rasa. Tak pernah ada cecok di antara mereka. Tapi juga tak ada geliat yang pasti Lando akan datang masuk minta.

Sore itu, pasangan ini duduk di jembatan Gongger dengan mata memandang ke permukaan air yang tenang seperti tak sedang mengalir.

Gadis itu memandang air dengan tatapan nyalang. Ada sesuatu yang diam-diam diharapkannya muncul dari permukaan air yang tenang itu. Sebab di waktu yang silam, wajah lelaki pujaannya pernah muncul dari permukaan itu.

Kemudian ia menoleh ke wajah Lando di sampingnya. Ia sudah sedikit beda dengan Lando tujuh tahun silam. Lando yang ia saksikan terjun dari pagar jembatan dan mencebur ke sungai. Lando berenang dengan lincah dan tak pernah merasa takut.

Setelah menghilang di bawah permukaan beberapa detik barulah kelihatan apa sebetulnya aksi Lando.

Ia menunjuk sebentuk papan yang dia sembunyikan di dalam dadanya saat terjun. Pada selembar papan berbentuk hati itu tertulis nama Aminah dengan huruf Arab.

Sekaligus papan itu menjadi kado Valentine tahun itu.

Papan berbentuk hati itu kini menggantung di dinding kamar Aminah. Melihat aksi itu, Aminah menangkap kedalaman diri lando yang pemberani. Lando yang tak pernah takut dan ragu-ragu.

Tetapi, mengapa dia begitu ragu untuk yang satu ini? Hal yang ditunggu-tunggunya. Yang selalu dibawanya dalam doa-doa. Yang selalu dia bisikkan dalam nada yang lirih, “pinanglah aku Lando!”

Apa yang membuat Lando enggan membawa hubungan ini ke jenjang pertunangan. Jika hubungan ini adalah sebuah jabatan, betapa jabatan yang sepi karena tak penah ada promosi kenaikan pangkat!

Atau jika ini sebuah jembatan, ia nyaris menjadi jembatan tak berujung. Sungguh melelahkan. Padahal kita tak mau berlama-lama di atas jembatan.

Kemudian Aminah berbisik lembut, Lando, melompatlah! Muncullah kembali dari balik permukaan itu dengan papan bertuliskan ‘Malam ini aku hendak melamarmu Aminah’! Lando terkekeh sembari mengusulkan tulisan yang lebih kocak “Melamarmu? Siapa takut!”

Setelah itu Lando teringat seorang cerpenis yang menoreh kata-kata indah. “Tunggu hingga senja ini berlalu. Setelah itu engkau boleh tidak mencintai aku lagi!”

Sore itu Lando mengungkap versinya sendiri dengan ending yang tidak muram “Jelitaku, tunggu hingga senja ini berlalu. Setelahnya aku akan melamarmu!”

***

Kapan senja itu berlalu?

Aminah mulai berpikir. Jika yang dimaksud senja adalah latar perjumpaan mereka kala itu, berarti malam ini Lando akan ke rumah. Betapa senang Aminah. Ia akan menjadi orang paling bahagia di Reo malam itu.

Baginya ini langkah pasti ke hubungan yang lebih serius. Tapi ia juga berpikir, Lando hanya bercanda. Ia tak membicarakan itu sebelumnya ke keluarga Aminah. Paling tidak diberitahu dulu, biar ada persiapan.

Ataukah pertunangan ini sengaja dikemas menjadi lain dari yang lain? Jangan-jangan Lando menjadikan ini momen yang surprise! Ah tidak! Besok masih ada senja. Jangan usai senja ini, Lando. Dalam hati saja ia mencoba membatalkan setelah menimangnya.

Betul kamu mau ke rumah malam ini?

Lando belum menjawab. Aminah ingat pertunangan lima temannya. Yang terakhir adalah Khadijah. Semua keluarga sibuk mempersiapkan segalanya. Sore hari keluarga sudah berkumpul di rumah. Ada yang ditunggu kedatangannya yakni keluarga lelaki.

Acara seperti itu merepotkan. Tapi sore ini Lando mengatakan dengan begitu gampang. Puitis sih, tapi apalah artinya kata-kata puisi jika ujungnya adalah kekacauan!

Acara itu akan menjadi kacau dan tak karu-karuan. Kapan harus menyiapkan makanan. Kapan harus menyiapkan snack? Kapan harus menyiapkan bumbu-bumbu. Kapan harus mandi dan berdandan biar kelihatan cantik? Ah Lando, besok masih ada senja! Senja yang sama dengan yang kita alami di atas jembatan ini.

Besok? Batin Aminah kembali bertanya.

Bukankah ini yang ditunggu selama ini? Bukankah ini yang diharapkan ketika ia mengatakan ‘Melompatlah Lando! Dan Lando berujar lirih. Jelitaku, tunggu hingga senja ini berlalu. Setelahnya aku akan melamarmu!

Jawanban yang enteng, puitis lagi. Tapi ini belum tentu sebuah jawaban yang serius. Dapat saja ini menjadi cara Lando tampil puitis dan kepenyair-penyairan di hadapan kekasih pujaannya.

Sebab seringkali Lando tak beda dengan laki-laki lain yang begitu yakin dengan tesis sesat mereka: wanita dapat ditaklukkan dengan sebait puisi. Wanita gampang dirayu dengan kata berbunga-bunga.

Aminah kembali ingat teman-temannya yang lima tahun lalu telah melewati acara seperti itu. Pertunangan mereka tak berbeda satu sama lain. Tak ada yang merasa terkejut dan dijekutkan. Ada komunikasi antara dua pihak keluarga besar. Kini mereka sudah punya momongan. Ada yang tiga, ada yang baru punya dua.

Jika harus menunggu senja usai hari ini, itu artinya besok. Lalu apa benar esok itu pasti datang?

Gadis itu ngeri membayangkan ‘esok’ tak jadi datang. Ia ingat lirik lagu yang menyentuh kegelisahan serupa itu. If tomorrow never come/ would she know how much I love her….Jika esok itu tak akan tiba, apalagi senja? Lantas apakah untuk selamanya aku menjadi seperti ini?

Ngeri membayangkan senja itu tak pernah datang. Itu artinya kemustahilan untuk segala mimpi hidup bersama orang tercinta.

Gelap telah menyembunyikan permukaan kali. Pagar jembatan menjadi samar-samar. Rumah di sebelah jembatan mulai kelihatan dengan bola lampu yang benderang. Lando mengantar Aminah ke rumahnya di Kampung Banda. Lando menurunkannya tepat di depan rumah. Setelahnya ia kembali ke Kampung Baru.

Ibu Aminah sudah menanti di pintu dengan wajah asam. Harusnya Aminah pulang rumah sebelum magrib. Sebelum mendekat ke ibunya ia membisik ke Lando, “Berani melamar malam ini?”

Jawaban itu ditunggunya sekali lagi. Kata-kata Lando yang enteng berujar “Melamarmu? Siapa takut!”.

Ingin ia sampaikan ke ibunya bahwa malam ini Lando datang melamar! Tapi Lando menjadi tidak pemberani usai senja itu berlalu. Padahal keberanian itu ditunggu si gadis sampai berani melanggar tradisi. Cinta memang sesekali membuat orang paksa membandel!

***

Melompatlah, Landoku!

Bukan hanya kali ini Aminah menyatakan itu. Sejak Januari lalu. Lando ingat ketika mereka ada di Torong Besi pada suatu siang.

Saat itu orang sedang euforia pergantian tahun. Orang-orang gunung datang berjemur dan berenang di pantai. Lando dan Aminah duduk berdua di bawah pohon asam di pantai itu.

Melompatlah, Landoku! Setiap kali kata ini diucap, Lando suka mengalihkan perhatian. Ia bergidik melihat orang-orang yang begitu susah terapung di permukaan laut. Dasar orang gunung. Sesekali juga Lando mengutuki tambang yang memperkeruh suasana pantai ini.

Pasir dari sisa tambang bertumpuk menjejali sisi timur pantai. Air keruh. Keindahan ini menjadi tidak sempurna lagi. Sementara mengagumi keindahan kita juga sekaligus diberi potret kehancuran. Ada keindahan yang hendak dikekalkan orang-orang ini dengan kamera saku mereka.

Juga ada kehancuran nyata. Kehancuran yang ditolak mati-matian oleh warga yang masih waras ketika yang lain-lain tersumpal nuraninya dan tersandera akal kritisnya oleh korporasi.

Mata Lando beralih dari tumpukan limbah tambang itu. Batinnya kembali merenung senja. Kamu tak menangkap apa maksud senja itu Aminah, batinnya. Senja di tengah keluargaku. Senja yang belum berlalu. Senja yang membuat aku tak kunjung melamarmu.

Ia terus saja merenung. Aminah, bagaimana mungkin aku berani melamarmu? Hanya ibu yang merestui hubungan kita.

Ayah, walau tampak ramah ketika kamu kuajak ke rumah, sebetulnya tak merestui hubungan ini. Keluarga besarku menolakmu.

Aku Katolik dan kamu muslim. Ini celaka. Bagi mereka pria Katolik mesti meminang gadis Katolik. Kalaupun meminang gadis Muslim, mereka meminta gadisnya menjadi Katolik.

Tapi bukankah kita selama ini membiarkan perbedaan ini begitu adanya? Bukankah cinta dapat tegak justru di atas sikap saling menghormati perbedaan? Aku Katolik, mengenalmu seorang gadis Muslim.

Aku kagum pada doa lima waktumu. Sementara kamu punya lima waktu untuk tiap hari, aku hanya punya satu waktu sepekan, Hari Minggu. Senin sampai Sabtu aku lupa berdoa. Minggu pagi, melihat orang ke Gereja, aku ikut-ikutan.

Menjadi Katolik memang mesti ke Gereja hari Minggu. Saya menjadi orang Katolik standar. Doa dan devosi pribadi jarang saya buat.

Aku pernah bertanya Aminah, apakah Allah kita sama? Aku juga pernah begitu cemburu melihat kedekatanmu dengan Allahmu. Engkau mendedikasikan lima waktu sehari untuknya. Sementara aku dua puluh empat jam untuk diri sendiri.

Betapa caramu berdoa juga menggugatku. Engkau seringkali mengakhiri perjumpaan kita karena harus sembahyang. Saya dibiarkan sendiri atau terpaksa pulang.

Dan, engkau menemui Allahmu dengan busana Muslimahmu. Engkau menemui-Na di tempat yang telah kau siapkan dengan begitu teduh di bawah langit Reo yang garang ini.

Ketika aku kau tinggalkan demi Dia, aku sebetulnya berpikir tentang Allahku. Tidakkah seharusnya aku juga menjumpai Allahku dalam doa-doa? Doamu menggugatku, Aminah!

Aku lebih memilih membiarkan ini begitu adanya, Aminah. Aku Katolik dan kamu Muslim.

Tetapi keluarga  besar dan ayah menghendakimu jadi Katolik. Begitu beratnya agenda ini buatku. Lebih susah dari melompat pagar jembatan Gongger ke permukaan sungai Wae Pesi itu.

Aminah, bagaimana mungkin kencan kita menjadi kristenisasi? Ngeri membayangkannya. Sementara mengecup keningmu aku berbisik lembut, jadilah Katolik Aminah. Tetapi kau pun tahu Aminah, aku tak pernah membisikkannya di atas jembatan itu! Aku sering bergumam, Aminah: bukankah salib dan bulan sabit tak pernah bertikai di hati kita?

Torong Besi kembali hening. Raung kendaraan bergerak menjauh. Tak seperti biasanya, mereka beranjak sebelum senja tiba di pantai itu. Apakah Aminah sedang jenuh menanti senja, batin Lando.

Ia masih saja menggumam di jalan pulang sebelum senja tiba di pantai itu.

Menantilah hingga senja ini berlalu, Aminahku. Setelahnya aku akan meminangmu.


 

Nana Lalong adalah nama pena untuk seorang mahasiswa asal Manggarai yang sedang studi di Jakarta.