[Narasi 100 Hari Ben Mboi] Seluas-luas Cakrawala

1778
Ben Mboi
Oleh: GERARD N. BIBANG
Seluas-luas cakrawala! Begitulah jawaban saya jika orang bertanya siapa Ben Mboi yang telah meninggalkan bumi ini di RS Pondok Indah pukul 00.05 WIB, Selasa dini hari tanggal 23 Juni 2015, seratus hari yang  lalu, dalam usia 80 tahun.
 
Ketika orang bertanya lagi mengapa ‘seluas-luas cakrawala’, maka saya akan tegas menjawab: “Karena Ben Mboi adalah orang Manggarai yang beriman.” Ia lahir di Ruteng 22 Mei 1935, 80 tahun lalu, di lereng Mandusawu, udik terpencil di Nusa Tenggara Timur, yang dengan usia tujuh tahun tamat Sekolah Dasar merantau ke Kupang menempuh pendidikan SMP, seterusnya SMA di Malang, lalu masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, lamar jadi tentara sambil menjadi gubernur NTT dua periode 1978-1988, kembali ke Jakarta untuk tugas-tugas negara yang lebih besar hingga menghembuskan nafas terakhirnya justru di bumi rantau, bukan di Ruteng.
 
Bukankah ini sebuah bentangan perjalanan seorang manusia yang menggenggam bintang di langit dengan membentangkan langkah seluas-luas cakrawarala dan yang merambah hingga ke kaki langit? Bukankah ini sebuah keberanian moral luar biasa bahwa seorang bocah Ben mengambil keputusan exit dari zona aman di Ruteng lalu dengan tahu dan mau pergi ke tanah rantau untuk tidak kembali ke tempat dari mana ia datang? Melihat perjalanan hidupnya ini tak bedanya seperti kita menonton seorang anak mengarungi samudera mahaluas sambil berselancar di atas riak-riak gelombang tanpa tepi.
 
Dempul Wuku Tela Toni
 
Sejujur-jujurnya, saya tidak heran atas perjalanan hidup yang mencengangkan ini. Yah, itu tadi: karena Ben Mboi adalah orang Manggarai yang beriman. Ayahnya yang adalah seorang mantri kakus bukan tidak tahu akan bahaya yang bakal melintangi wajah anaknya. Tapi ia bukan tidak tahu bahwa terhadap bahaya itu ada penangkalnya yaitu dempul wuku tela toni, kuku tumpul punggung terbelah, yang berarti bekerjalah sekeras-kerasnya sejauh mampu sambil berdoalah dengan seikhlas-ikhlasnya, atau ora et labora, kata orang Latin.
 
Dempul wuku tela toni ! Inilah roh yang ditiupkan ayahnya dalam sebuah torok, dalam doa saat wua wa’i di Ruteng yaitu  dalam sebuah ritus ketika hendak memberangkatkan sanak keluarga ke tempat jauh.  Bocah Ben paham betul akan torok ini dan meyakininya sebagai kekuatan tiada tara di tanah orang. Maka, bocah Ben boleh sendiri – karena waktu itu dia berangkat sendiri–  tapi dia yakin tidak merasa sendirian, meskipun dia sendirian – karena belum banyak teman di tempat baru– tapi dia yakin tidak pernah merasa sendiri.
 
Begitulah misalnya ketika bocah  Ben tiba di Kupang. Dia bekerja apa saja dan di mana saja sambil berdoa di mana dan kapan saja. Tentang hal ini, rumah Om Bentanone asal Timor, menjadi bukti. Bocah Ben tinggal di rumah ini dan sekolah di SMP Negeri Airnona, satu-satunya SMP di Kupang waktu itu. Seorang guru sejarah,  Anton Sinaama Belen dan istrinya –- ayah bunda dari Sirilus Belen– yang sering bertandang ke rumah om Bentanone, kagum melihat bocah dari Ruteng ini. “Ben lincah tumbuk jagung untuk bikin jagung bose sambil bersiul-siul, rajin bikin tanda salib, sedikit-dikit: tanda salib” kenang Ibu Belen. “Ben juga senang main bola kaki,” lanjut Ibu Belen. “ Kalo tendangannya lambung tinggiiiiiiiiii sekali, Ben cepat-cepat tanda salib!”
 
Inilah Ben Mboi yang mengalirkan dempul wuku tela toni dalam darah dan dagingnya.  Ben Mboi yakin kehadiran Mori Keraeng (=Tuhan),  memiliki arti sangat besar dan menentukan. Mori  Keraeng adalah pencipta, penjaga, pemelihara dan penjamin mose one lino ho’o agu mose tedeng len yaitu kehidupan di bumi dan kehidupan kekal. Mori Keraeng juga hadir di mana-mana. DIA tidak selalu tinggal jauh di atas sana di langit biru tapi DIA hadir di bumi ini, sekarang dan di sini, pada setiap hirup nafas dan derap langkahnya. DIA transenden sekaligus imanen. DIA penguasa alam semesta yang mengatur peredaran waktu dan musim : parn awo kolepn sale, ulun le wa’in lau. DIA adalah penopang kehidupan manusia: Ame Rinding Mane, Ine Rinding Wie.
 
Dengan ini kita sedikitnya paham mengapa bocah Ben dan Ben dewasa selalu gembira. KarenaOmnipresentia dari Yang ILAHI, yaitu hadir-NYA ALLAH di mana-mana sama sekali tidak membuatnya kerdil, infantil dan fatalistis. Sebaliknya: Ben berdoa memohon penyertaan TUHAN tapi tidak lantas berarti meminta TUHAN membatalkan usaha dan kerja kerasnya. Ora et laboramemang harus seiring sejalan membentuk birama simfoni kehidupan.
 
Dalam keyakinan ini, doa adalah ungkapan intimintas relasinya dengan Tuhan. Tidak ada wilayah kehidupan dan pengalamannya di dunia yang dipisahkan dari Tuhan. Tidak ada waktu istimewa dan tempat khusus untuk DIA. Pemisahan antara yang profan dan kudus tidak terjadi secara tegas. Doa dan kerja membentuk kehidupannya yang sepenuhnya bernilai religius dan seutuhnya manusiawi. Tuhan bukan hanya urusan hari Minggu. DIA tidak hanya dijumpai di Gereja. DIA adalah ALLAH yang dijumpai dan menjumpai manusia dalam seluruh peristiwa hidup pribadi dan kolektif.
 
Jelaslah di sini ! Dempul wuku tela toni telah mengantar Ben Mboi kepada omnipresentia ILAHI dengan keyakinan bahwa manusia beriman bukan hanya pengemis rahmat dan pemohon berkat. Bahwa manusia beriman sejati bukan hanya berdoa saat menghadapi kesulitan. Dia juga bersyukur ketika mengalami keberhasilan dan kegembiraan. Maka,  seluruh pengalaman manusia, entah suka, entah duka, merupakan pengalaman berada di hadapan Allah.
 
Inilah pijakan Ben Mboi. Inilah fundamen hidupnya sehingga dari dulu hingga kematiannya, dia tanpa henti-henti menjelajah seluas-luas cakrawala melalui imannya yang terus menerus mencari pencerahan sambil melintasi kemungkinan-kemungkinan tak berhingga.
 
Standing Aplaus-Pertengkaran-Istri Gubernur
 
Ledalero, Maumere, medio ‘80-an. Suatu hari, saya lupa tahunnya, Gubernur Ben Mboi memberi kuliah umum. Aula STFK (Sekolah Tinggi Filsafat Katolik) Ledalero penuh sesak bukan hanya oleh mahasiswa mayoritas calon imam tapi juga oleh penduduk sekitar Ledalero, guru-guru dan pejabat pemerintah daerah dari kota Maumere.
 
Ada tiga kejadian dari peristiwa hari itu yang tak terlupakan sepanjang hidup saya: Standing Aplaus, Pertengkaran dan Istri Gubernur. Inilah standing aplaus terlama yang saya alami dalam tiga tahap bersambung.
 
Aplaus pertama berlangsung lima menit lalu reda karena Ben Mboi memberikan isyarat supaya audiens duduk. Tapi audiens segera bangkit berdiri lagi memberikan aplaus tahap kedua dengan kata-kata: viva Mboi, viva Mboi. Lalu reda sedikit karena dia tampaknya ingin meninggalkan podium. Tapi ketika dia tetap berdiri di depan podium, audiens segera berdiri lagi sambil bertepuk tangan lebih kencang di tahap ketiga disertai yel-yel: viva Mboi, viva Mboi, viva Mboi. Kejadian ini merebak persis di akhir kuliah umumnya, saat gubernur Ben Mboi berkata: “ Itulah sebabnya saya ke sini supaya kita sama-sama berpikir jernih agar NTT yang orang pelesetkan Nasib Tak Tentu segera beralih menjadi Nice To Turn!”
 
Kejadian kedua, pertengkaran kecil. Kami berlima notulis (Fr Martin Warus, Fr Alex Seran, Fr Sirilus Sungga, Fr Boni Selu dan saya sendiri) saling menuduh kenapa tidak menulis notulensi. Tanpa kami sadari, saking begitu terpukau mendengar pidato gubernur Ben Mboi, kami berlima sampai lupa menulis apa pun. Otak kami begitu terlena dalam kemesraan kata-kata dan ungkapan indah dari gubernur Ben Mboi sehingga tak satu otak dari kami berlima memberi perintah ke jemari kami untuk menulis. Atau menurut istilah Fr Boni: “Kita punya mata dan mulut sama-sama tebuka le…”
 
Thanks God. Kegaduhan kami tidak berlangsung lama. Selama kuliah umum, saya memperhatikan Ibu Nafsiah yang duduk di deret depan, selalu mencatat dan sering memberi kode ke gubernur Ben Mboi untuk beralih topik, banyak tersenyum dan sesekali mengangguk.
‘Ah, saya minta catatannya saja,’’ kata saya dalam hati, sambil berjalan kencang menuju Ibu Nafsiah.
“Siang bu Naf! Eh, Ibu Naf malah langsung menyorong tangannya. Kami berjabat tangan. Aduh. Saya merasa sangat bangga, berjabat tangan dengan First Lady.
“Bagaimana frater……. frater dari mana?”
“Saya dari Manggarai bu…”
“Eh nana frater…bagaimana, bagaimana…”
“Bu, boleh saya dapat catatan ibu tadi untuk lengkapi catatan kami.”
“Boleh nana, boleh…Ini. Mudah-mudahan nana bisa baca huruf jelek saya ya” (sambil tersenyum dia mengeluarkan dua kertas HVS dari tasnya).
“Pak gubernur tu selalu mau supaya orang ngerti apa gagasan fundamentalnya membangun NTT. Tadi kita dengar kan: pembangunan manusia paling penting”
“iyah bu!”
“Maka-nya tadi bapak cukup lama cerita tentang revolusi industri abad pertengahan,” katanya sambil berjalan mengikuti Pak Gubernur dan rombongan menuju kamar makan untuk makan siang.
 
Mulailah saya membaca catatan ibu Naf di depan rekan notulis lainnya. Ouwww! Diam dan kagum. Lidah kami seakan kelu menelusuri kalimat demi kalimat pada catatannya. Lengkap dan substantif. Sambil mengetik catatannya, terdengar tiga perdebatan tanpa solusi.
 
Pertama, siapa notulis. Kata fr Martin Warus: “ Untuk kejujuran ilmiah, kita harus tulis nama Nafsiah Mboi sebagai notulis.”
“Kenapa begitu ka,” jawab fr Alex Seran.
“Tidak usah,” sambung Fr Sungga. “Anggaplah Ibu Naf itu tulang dan kita daging!”
“Aeh kau ini Sungga, terlalu…. “ kata Fr Boni. “Ibu Naf yang begitu cantik, kau anggap tulang.” Semua kami tertawa.
 
Kedua, siapa yang gubernur sebenarnya. Pertanyaan ini keluar dari mulut saya saat mengetik begitu lengkapnya notulensi Ibu Naf. “Saya jadi bingung siapa yang gubernur:  Ben Mboi atau Ibu Naf?”
“Dua-duanya ka teman” jawab Fr Boni.
“Setuju. Karena dibalik suami hebat terdapat istri yang hebat” sambung Fr Martin.
“Sebab mereka bukan dua tapi satu, sabda Injil” kata fr Alex sambil tertawa.
 
Ketiga, siapa Ben Mboi sebenarnya: filsuf kah, teolog kah? “Ini serius, teman,” kata Fr Sungga. “Tadi itu saya dengar seperti ikut kuliah sejarah filsafat Pater Moelmann. Ada cogitu ergo sumSaya berpikir oleh karena itu saya ada dari Rene Descartes, ada knowledge is power dari Francis Bacon”
“Dan jangan lupa,” sambung Fr Boni, “ dua faktor inilah yang mencirikan revolusi pola pikir sebagai penentu perubahan besar-besaran abad pertengahan.  Revolusi industri lahir dan sejak saatu itulah, belum pernah terjadi dalam sejarah, alam kita dikuras habis-habisan”
“Oeh kau hafal betul kalimat-kalimat Ben Mboi e” kata saya. “Bagaimana nhi: Ben Mboi filsuf ka?”
“Iyah ka Gradus…jangan jauh-jauh cari data dari abad pertengahan. Setiap manusia yang mulai bertanya mengapa, maka pada saat itulah itu dia menjadi filsuf” kata Fr Alex. Semua kami tertawa.
“Terus, sebagai teolog? Ben Mboi juga teolog? ,” tanya Fr Martin. “Jelas ka teman. Kau tidak dengar tadi ka. Ada beberapa terminologi dari  Ben Mboi yang sangat bernuansa Katolik” jawab Fr Sungga
“Misalnya?” tanya Fr Martin lagi.
“ Ada martabat manusia NTT, pembangunan sebagai aufklaerung, pencerahan, pembangunan sebagai pembebasan,  panggilan orang NTT untuk membangun,”jawab Fr Sungga yakin. “Semua ini bernafas katolik.”
“Benar Sungga. Kalo saya ya, begitu seorang mulai bertanya tentang imannya, mulai omong dan refleksi tentang imannya, sejak saat itulah dia teolog,” sambung Fr Boni.
 “Aeh Boni, pasti kau hafal pengertian teologi dari stensilan Pengantar Teologi Pater Kirsch e,” timpa Fr Martin. Kami tertawa.
 
Kredo Pembangunan
 
Setelah perdebatan kecil ini, semua kami sepakat bahwa kuliah umum tadi itu adalah semacam kredo pembangunan gubernur Ben Mboi. Berangkat dari revolusi pola pikir pada abad pertengahan yang dimotori oleh filsuf Aristoteles, Descartes dan Francis Bacon, dengan beberapa kali menyebutadagium Inggris, Prancis dan Jerman – suatu bukti bagi kami bahwa Ben Mboi fasih menguasai beberapa bahasa asing – Ben Mboi tiba pada kredonya: pembangunan NTT haruslah people centered development dengan menjunjung tinggi martabat manusia sebagai potensi tak terbatas dan anugerah tak berhingga dari Sang Pencipta..
 
Dengan tegas dan berwibawa, Ben Mboi membela pembangunan yang ia lakukan pertama-tama ialah sebuah aufklaerung, sebuah pencerahan. Pembangunan adalah sebuah pembebasan dari jebakan kebodohan dan kemiskinan, dengan empat perangkap yang melestarikan orang miskin sebagai pihak yang miskin papa sedari awal (destitute), yang dirampas hak miliknya (dispossessed), yang kehilangan tempat tinggal (displaced) dan discriminated, yaitu yang dirampas hak-haknya secara hukum dan politik.
 
Ketika Ben Mboi meninggalkan aula STFK, kami akhirnya paham akan dua hal. Pertama, Ben Mboi sebagai gubernur peziarah. Inilah julukan untuknya di tahun-tahun itu. Dialah gubernur yang paling rajin turba bukan hanya mengawasi tapi berbicara dan menjelaskan. Koperasi Unit Desa dibentuk setelah melewati proses aufklaerung cukup lama dan dia sendiri yang berpidato di mana-mana. Begitu pun dengan program Nusa Makmur dan Nusa Hijau. Dan ini lebih penting, kami berlima sepakat bahwa kuliah umum tadi layak disebut sebagai kuliah filsafat pembangunan NTT. Bahwa kemudian ada unsur teologis di dalamnya, sah-sah saja karena filsafat dari sono-nya memang adalah pelayan teologi (Ancilla theologiae).
 
Kedua, mengunjungi sekolah dasar. Tadinya saya berpikir, Ben Mboi selalu mampir di Sekolah Dasar hanya karena kebetulan sekolah-sekolah itu terletak di kota atau di pinggir jalan di mana ia lewat. Ternyata saya salah.
 
Dari kuliah umum pagi itu, Ben Mboi sama sekali tidak menghina kemiskinan dan kebodohan, dua stempel yang selalu dikenakan untuk bumi NTT. Malahl sebaliknya: dengan gagah berani dia berkata: “ Saudara sekalian, orang boleh bilang NTT ini miskin dan bodoh. Silahkan. Supaya mereka tahu, ini saya katakan sekarang: “kemiskinan dan kebodohan adalah lingkaran yang melestarikan orang-orang kecil NTT dalam penindasan terus menerus. Hanya sekolah, sekali lagi, hanya sekolah dapat menembus lingkaran ini dan membuat seorang manusia NTT yang membaca dan menulis melihat nasib sebagai sesuatu yang dapat dibangunnya sendiri dan bukan oleh orang lain.”
 
Istri Gubernur
 
Sehubungan dengan sekolah sebagai penembus lingkaran kebodohan, saya tiba pada kejadian ketiga yang tak terlupakan dari peristiwa hari itu: Istri Gubernur. Kuliah umum sudah selesai. Notulensi kami sudah beres. Sehabis makan siang, sekitar 15 mahasiswa dikumpulkan dan diajak untuk mengikuti rombongan gubernur ke SDK Nita yang terletak di pinggir jalan negara Maumere-Ende, tak jauh dari Ledalero.
 
Sebelum memasuki Nita, tiba-tiba rombongan berubah arah. Dia minta berbelok arah ke kiri, ke SDK Koting yang agak masuk ke dalam. Prot0koler sempat panik.  
 
Coba bayangkan apa yang terjadi. Riuh rendah anak-anak SD menyambut Ben Mboi dan Ibu Nafsiah di halaman sekolah. Dari sana sini, suara chorus anak-anak serempak berucap: bapa gubernur, bapa gubernur, bapa gubernurrrrr…sambil berebut mencium tangannya.
“Kamu sudah belajar ?” tanya Ben Mboi
“Sudahhhhhhhhh….” jawab anak-anak
“Bagus, bagus….apa nama sekolah ini?”
“Kotinggggggg”
“Ada yang mau tanya sama bapa gubernur?”
“Mauuuuuuuuu…”
“Saya pak gubernur, saya pak gubernur” jawab anak-anak beramai-ramai.
“Kau nama siapa?” kata Ben Mboi sambil menunjuk seorang anak di bagian belakang.
“Nama saya Fredo..”
“Nanti mau jadi Fredo”
“Mau jadi camat..”
“Bagus, bagus. Lalu, kau nama siapa?”
“Nama saya Getrudis Meak. Kelas lima SDK Koting”
“Nanti mau jadi apa Getrudis”
“Saya mau jadi istri gubernur”
Sontak semua tertawa. Semua mata tertuju kepada Ibu Nafsiah Mboi yang menyambut jawaban itu dengan tepuk tangan dan tersenyum.
“Kenapa Getrudis,” tanya Ben Mboi lagi
“Karena Ibu Nafsiah putih dan cantik sekali……”
“Yah, nanti bisa. Belajar rajin-rajin ya. Kamu pasti bisa. Kamu pasti jadi orang-orang besar nanti.”
Semua anak SD tepuk tangan dan melambaikan tangan mengucapkan selamat jalan kepada gubernur Ben Mboi dan rombongan. Kami pun berbagi arah. Kami balik Ledalero dan Ben Mboi serta rombongan terus ke Ende.
 
Di jalan pulang, kami bukan hanya ingat yang lucu-lucu tapi kagum pada Ben Mboi. Apa yang dia lakukan keluar dari kredonya. Spontanitas dadakan bukan sebatas spontanitas. Ternyata sudah direncanakan dari sebuah komitmen tanpa kasatmata. Anak-anak sekolah, lelaki dan perempuan diperlakukannya, disemangatinya dengan kata ‘kamu pasti bisa,” dan dianggapnya semua mereka cerdas-cerdas.
 
Memang di salah satu bagian pada kuliah umum tadi, Ben Mboi mengutip beberapa hasil penelitian, sangat rumit di telinga saya, tapi hasil akhirnya begini: rata-rata berat otak perempuan dibagi berat tubuhnya lebih tinggi tinggi dari berat otak laki-laki. Maka, perempuan dan laki-laki sama-sama cerdas.  Dengan demikian ia menolak alasan biologis yang mengatakan volume otak perempuan lebih kecil dari laki-laki.
 
Kerumitan tidak hanya sebatas di sini. Berikutnya Ben Mboi mengutip bahan bacaannya dari buku-buku, sebagian berjudul dalam Bahasa Jerman dan satu berjudul Bahasa Perancis dan membuat telinga kami bertambah rumit tapi intinya begini: tingkat kecerdasan seseorang sering tidak ada hubungannya secara langsung dengan volume dan berat otaknya. Ahli matermatika dan ahli filsafat Jerman, Leibniz, hanya memiliki berat otak 1.300 gram; ahli fisika, Bunsen:1.295 gram dan kampiun politik Perancis, Gambetta:1.189 gram. Seorang peneliti lain menemui seorang kuli bahkan memiliki berat otak:2.222 gram.
 
Tepuk tangan meriah membahana waktu mendengar istilah-istilah rumit ini tapi saya yakin tepukan-tepukan itu hanya sekenanya. Barulah kemudian di akhir penjelasan rumit tadi, , kami tiba pada pesan utama Ben Mboi bahwa manusia NTT juga cerdas. Itulah sebabnya saat closing statement-nya yang begitu powerful, civitas academica dan langit-langit Ledalero memberinya standing aplaus sangat lama. Ini saya kutip pernyataannya:“ Itulah sebabnya saya ke sini supaya kita sama-sama berpikir jernih agar NTT yang orang pelesetkan Nasib Tak Tentu segera beralih menjadi Nice To Turn!”
 
Penulis berasal dari Manggarai, sekarang menetap di Jakarta.