Tegas Tolak Privatisasi, Elemen Sipil Kecam Tini Tadeus dan “Walk Out” dari Ruang Rapat

Labuan Bajo, Floresa.co – Raut muka Tini Tadeus berubah sekejap.

Penjabat Bupati Manggarai Barat (Mabar) – Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu tak dapat menyembunyikan senyum getir.

Ia baru saja membuka rapat lima menit sebelumnya, ketika kemudian, hampir setengah dari kursi di kantor bupati Mabar sudah kosong.

“Kami putuskan walk out,” kata Sil Deny, salah satu anggota Gerakan Masyarakat Peduli Pede (Gemas P2).

Ketika meninggalkan ruangan, Deny diikuti sekitar 7 orang.

Hampir separuh ruangan berkapasitas 20-an orang itu sudah kosong.

Tadeus pun memelas. “Jangan walk out ka,” katanya dalam aksen khas Manggarai.

“Tidak ada dalam adat Manggarai walk out. Mari kita omong baik-baik,” lanjutnya.

Namun, ucapannya tak berefek apa-apa.

Hanya setengah dari kursi di ruangan itu yang masih terisi. Selain diisi oleh beberapa peserta rapat yang masih bertahan, kebanyakan kursi itu ditempati oleh anggota Satpol PP.

Sementara itu, pihak investor hanya diam mematung dengan bahan PowerPoint yang tak jadi ditampilkan.

Kejadian walk out dalam pertemuan yang dimulai pukul 14.00 Wita itu bermula dari agenda pertemuan yang difasilitasi Tadeus.

Dalam suratnya yang baru beredar pada malam sebelumnya, Tadeus ingin mempertemukan pihak investor dan elemen masyarakat.

Sayangnya, Tadeus tampak gamang dalam persoalan Pantai Pede.

Ia terkesan tak paham benar bagaimana alotnya persoalan Pantai Pede sebelumnya.

Lantas, ketika memulai diskusi dan Tadeus memberi peluang kepada perwakilan elemen masyarakat untuk berbicara, suasana pertemuan segera memanas.

Perwakilan masyarakat segera mengecam Tadeus.

Samuel Sem, anggota Gemas P2 mengatakan, elemen masyarakat di Labuan Bajo tidak berurusan dengan investor.

Kemandegan persoalan Pantai Pede, kata dia, disebabkan oleh upaya pemerintahan provinsi yang belum menanggapi perlawanan masyarakat.

“Kami berurusan dengan gubernur, bukan dengan investor. Kami tidak mau berbicara tentang ini dulu,” ujarnya.

Kris Bheda Somerpes, anggota komunitas Bolo Lobo juga ikut mempertanyakan agenda pertemuan tersebut.

“Ketika Festival Pede, pemerintah tidak memfasilitasi para pemuda dengan memberikan izin. Sekarang pemerintah mau memfasilitasi pertemuan dengan investor. Sebenarnya, secara institusional pemerintah mau berpihak kemana?” katanya.

Sebelumnya, memang sudah digelar dua kali pertemuan sosialisasi pembangunan hotel di Pantai Pede antara perwakilan Pemerintah Provinsi dan elemen masyarakat sipil.

Namun, dari dua kali pertemuan itu, masyarakat tetap menolak.

Bahkan aktivis di Mabar mendesak Gubernur Frans Lebu Raya yang telah menyerahkan pantai itu kepada PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM) untuk bertatap muka dengan elemen masyarakat.

“Dua pertemuan itu tidak ditanggap secara signifikan. Kenapa gubernur tidak mau ketemu kami? Kami bukan komodo sehingga dia harus takut. Bukankah kami yang pilih dia?“ kata Pastor Marsel Agot SVD, imam yang ikut getol mempertahankan Pantai Pede.

Tini belum mendapat kesempatan berbicara lagi, anggota Gemas P2 beranjak dari ruangan.

Tini rupanya tidak ingin kehilangan muka. Terhadap yang tersisa yang ada di dalam ruangan, ia tetap bersikukuh untuk berdiskusi.

Menurutnya, ia siap memfasilitasi keinginan warga bertemu gubernur.

Namun, keinginan Tini itu penuh syarat.  “Bagaimana kalau gubernur tidak mau?” tanyanya.

“Kalau jadi, berarti harus sedikit orang saja yang hadir.”

Kepala Desa Komodo Ustad Aladin lantas tampak geram.

“Pak bupati jangan berandai-andai. Pede bukan milik kami saja. Itu milik rakyat. Undang orang sebanyak-banyaknya yang hadir,” katanya tegas.

Saat adu argumentasi itu berlangsung, sekitar seratusan pelajar SMA, termasuk dari Seminari St Yohanes Paulus II, remaja Masjib, pemuda dari pulau-pulau dan anggota Komunitas Bolo Lobo melakukan aksi nyanyi bersama di luar kantor bupati.

Lagu yang berulang kali dinyanyikan di antaranya berjudul “Dimana tanah air beta?”

Suara mereka tampak mengeras pada lirik tertentu.

Misalnya, mereka bernyanyi kencang-kencang pada bagian lirik, “Jika Anda rebut pantai kami, maka kami akan rebut kembali. Jangan sampai kami naik pitam, Anda pasti akan kena hantam.”

Sementara itu, usai pertemuan, Lidia Suharyo perwakilan dari PT SIM segera ditemui beberapa pemuda untuk berdiskusi.

Ia menjelaskan, persoalan Pantai Pede hanyalah mempertemukan persepsi antara masyarakat dan PT. SIM.

“Visi kami dan masyarakat sebenarnya sama. Kami ingin bawa kebaikan juga bagi masyarakat di sini. Kami bayar pajak untuk daerah,” katanya.

Namun, ada yang berceloteh. “Masyarakat juga bayar pajak. Makanya biarkan pemerintah yang kelola Pantai Pede.”

Stefan Rafael, praktisi pariwisata di Mabar bertanya lebih sarkas, “Apakah PT SIM rugi kalau tidak kelolah Pede?”

Lidia lantas berdalih, “Saya juga kurang tahu banyak. Saya hanya pegawai juga di perusahaan ini,” katanya.

Meskipun peran Lidia dalam rapat itu cukup signifikan, ia mengaku tak kecewa karena pertemuannya batal.

Lidia, pada malam sebelum pertemuan, membagikan surat undangan kepada hampir tiga puluh orang.  Surat itu ditandatangani oleh Tadeus.

Gagalnya pertemuan tadi menegaskan posisi masyarakat yang menolak tegas privatisasi atas Pantai Pede.

Gemas P2 pun tetap konsisten mempertahankan area itu sebagai ruang publik. Mereka tegas dengan posisi meminta Lebu Raya sendiri yang datang ke Mabar untuk berdiskusi, bukannya dengan investor. (Greg/ARL/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini