Pilkada dan Sisiphus Politik

Oleh: ALFRED TUNAME

Publik mensyukuri Pilkada sebagai usaha demokratis untuk merumuskan cita-cita kehidupan bersama.

Rumus cita-cita bersama itu disimpan bersama harapan kepada pemimpin yang lahir dari proses politik Pilkada.

Karenanya, pemimpin merupakan seorang yang pundaknya memikul harapan masyarakat, dan dadanya lapang mendengarkan pikiran-pikiran rakyat.

Rakyat memilih, karena rakyat yakin pemimpin itu mampu merealisasikan setiap harapan dan pikiran rakyat.

Setiap kebijaksanaan dan kebijakan seorang pemimpin merupakan manifestasi dari kehendak rakyatnya. Kebijakan itu merupakan kerja pembangunan yang berdampak pada kesejahteraan bersama.

Pemimpin terpilih bukan karena ketersambungan hubungan darah, suku atau pun klan. Jebakan pemilih primordial ini akan membuat pembangunan tersendat.

Sebab, pilihan primordial tersebut akan berakibat pada favoritisme pembangunan. Asas pemerataan pembangunan seringkali dikangkangi.

Sudah saatnya rakyat memilih atas pertimbangan yang rasional, bukan atas dasar sentimen-sentimen tertentu dan primordial. Pilihan dengan pertimbangan sentimen hanya akan menimbulkan belenggu pembangunan, baik bagi pemimpin an sich maupun bagi masyarakat itu sendiri.

Membebaskan masyarakat dari urusan sentimenal dalam proses politik Pilkada adalah usaha demokratisasi Pilkada.

Pilkada semakin beradab dan demokratis manakala pemilih menggunakan rasionalitas dalam memilih.

Belenggu sentimen dan primordialitas pada masyarakat hanya akan “memanjakan” politisi peserta Pilkada. Sentimen dan primordialitas akan menjadi bahan baku politik yang diramu demi kepentingan politik pemenangan.

Politisasi sentimen dan primordialitas dalam Pilkada tidak saja membuat masyarakat terbelah dan menabur benih konflik di tengah masyarakat, tetapi juga usaha proletarianised (Istilah Slavoj Zizek) dan mereduksi rakyat sebagai subyek politik.

Merayakan sentimen dan primordialitas politik hanya membuat politik lokal kembali bercorak “feodalitistik”.

Artinya, kemenangan politik memungkinkan kemenangan suatu kelompok, suku atau klan tertentu, berikut ekslusi kelompok, suku atau klan yang lain.

Di sini politik akan berkembang pada bosisme politik atau “long live” raja kecil di daerah. Semua skema kebijakan akan berpihak pada kelompok, suku atau klan tertentu saja. Pembangunan pun hanya dinikmati oleh sekelmpok orang-orang tertentu pula.

Politik lokal memang sudah terlanjur dengan kedekatan sentimen dan primodial. Membongkar politik lokal dari watak seperti itu adalah usaha keras sekaligus proyek diseminasi rasionlitas politik yang lama.

Proyek ini juga merupakan bagian dari kerja politik intensif. Sebagai kerja politik, membongkar kedekatan sentimen dan primodialitas terhadap politik lokal adalah “a strong and slow boring of hard boards” (Mengutip Max Weber, Sosiolog Jerman). Tetapi itu tidak berarti mustahil.

Kemustahilan itu hanya bisa terjawab apabila masyarakat mau memikirkan nasib bersama, dan tidak bersembunyi dalam ketiak kenyamanan kelompok, suku atau klan.

Memajukan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi, kelompok, suku dan klan adalah rasionalitas politik yang paling utama.

Kebaikan bersama adalah raison de etre, alasan adanya politik. Kebaikan bersama bukan saja merupakan prinsip politik melainkan juga moral-etika politik yang perlu ditanggung bersama.

Derajat demokrasi politik lokal justru ditakar dari kemauan masyarakat politik untuk berpadu dalam memikirkan kehidupan bersama yang lebih baik.

Dalam konteks Pilkada, legitimasi seorang pemimpin akan semakin kuat manakala ia muncul dari rasional politik masyarakat yang mendambakan kebaikan bersama. Legitimacy is rooted in the idea of agreement (Ian Shapiro, 2003).

Legitimasi pemimpin semakin kuat sebab mayoritas masyakat politik sepakat memilihnya secara demokratis dengan prinsip “one man one vote”.

Pemimpin itu terpilih sebab setiap individu yang rasional menghendakinya memandu daerah menuju kemakmuran.

Legitimasi seorang pemimpin akan sangat rendah apabila ia terpilih lantaran eksploitasi dan provokasi politik yang cenderung senetimental dan primordial.

Luka demokrasi lokal akan semakin menganga dan bernanah apabila calon pemimpin dan politisinya melindungi diri dalam kubangan sentimen dan primordialitas politik.

Pilkada dan politik lokal perlu untuk lekas keluar dari praktik eksploitasi dan provokasi politik para elite politik seperti itu.

Masyarakat harus keluar dari sejarah eksploitasi dan provokasi politik sentimen dan primordial. Jika itu terjadi, demokrasi politik kita akan semakin baik.

Dampaknya adalah keadilan dan pemerataan kesejahteraan. Masyarakat perlu yakin bahwa demokratisasi politik lokal akan linear dengan keadilan dan kesejahteraan sebab kebebasan dan akses terhadap kebijakan pembangunan semakin terbuka dan merata. Di situ ada transparasi dan kontrol publik.

Dengan demikian, tidak ada lagi kalimat apatis lesu, “pejabat kin meu, ho’o keta kin kami mendi”(bahasa Manggarai: “kalian jadi pejabat, kami tetap saja jadi rakyat jelata tak berdaya”).

Dalam demokrasi, semua orang punya akses terhadap kesejahteraan tanpa perbedaan status di masyarkat. Sebab, demokrasi menawarkan optimisme yang luas bagi setiap orang sekaligus merayakan kebaikan bersama.

Sikap apatis terhadap proses politik (Pilkada) hanya akan semakin membuat masyarakat tidak punya akses dan kontrol terhadap kebijakan publik dan pemerintah lokal.

Apatisme itu membuat proses demokrasi politik lokal berjalan lambat, dan bahkan kita selalu jatuh dalam kegagalan politik dalam usaha membangun optimisme dan keadaban berpolitik.

Kegagalan demi kegagalan itulah “Sisiphus politik” kita. Dalam rentang Sisiphus politik itulah para politisi busuk dan haus kekuasaan mengais keuntungan politik.

Sisyphus adalah sosok  dalam dongeng Yunani kuno, yang  dihukum untuk mendorong batu besar dari dasar hingga ke puncak gunung, tapi begitu tiba di puncak batu tersebut kembali bergulir ke dasar. Di dorong lagi ke puncak, jatuh lagi ke dasar. Begitu seterusnya tanpa akhir.

Hal seperti yang dialami Sisiphus akan terus terjadi jika, di tengah muslihat dan intrik politik bertubi-tubi siap menghujani arena politik.

Masyarakat hanya akan terlepas dari Sisiphus politik dan eksploitasi dalam bidang politik apabila masyarakat an sich mau menggunakan rasionalitas politiknya dalam proses politik.

Pilkada sebagai permufakatan baru untuk memilih pemimpin harus dipertimbangkan dan dipilih atas dasar rasional, bukan sentimental dan primordial.

Masyarakat perlu mempertaruhkan rasionalitas politiknya demi kebaikan bersama. Dalam Pilkada, rasionalitas politik itu dipertaruhkan. Pemimpin yang kita pilih, yang kita harap untuk kebaikan bersama, harus dimenangkan dengan keputusan yang rasional.

Nasib hidup bersama harus dimenangkan secara rasional. “Hidup yang tidak dipertaruhkan, tidak akan dimenangkan”, kata politokus dan Perdana Menteri pertama Indonesia, Sutan Syahrir (1909-1966).

Pertaruhan rasionalitas politik Pilkada adalah kebaikan bersama.

Penulis tinggal di Ruteng, Kabupaten Manggarai-Flores, meminati isu-isu sosial dan politik.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini