Peringati G-30-S, 2 Film Besutan Joshua Oppenheimer Ditayang Terbuka di Manggarai

Ruteng, Floresa.co – Memperingati peristiwa G-30-S, kelompok anak muda di Ruteng, kabupaten Manggarai dan Labuan Bajo, kabupaten Manggarai Barat menonton film besutan sutradara Amerika Joshua Oppenheimer berjudul The act of killing dan The look of silence.

Dua film tersebut menampilkan sisi lain dari sejarah kelam pembantaian PKI di masa lalu. Selama bertahun-tahun sampai sejak 1984 hinga 1998, film “Pengkhianatan G 30 S-PKI”-lah yang sering diputar untuk memperingati perisitiwa tersebut. Film tersebut sangat berkarakter militeristik dan mengkultuskan Orde Baru.

Baca Juga:Peringati Tragedi 1965, di Manggarai Digelar Diskusi Film “The Act of Killing” dan “The Look of Silence”

Lain halnya dua film yang dirilis pada tahun 2012 dan 2014 tersebut. The Act of Killing yang diputar di Ruangan van Rosmalen lantai 4 STKIP Ruteng, menampilkan pengakuan seorang penjagal, Anwar Congo, yang menghabisi anggota PKI sepanjang tahun 1965-1966 di Sumatra Utara.

Ketika dipublikasikan, film tersebut menarik perhatian banyak pihak. Pasalnya, sepanjang Orde Baru (1965-1998) berkuasa, stigma dan ekslusi sosial selalu dialami anggota Partai Komunis. Namun dalam film tersebut keadaannya terbalik. Kejujuran Anwar Congo secara tak langsung membela korban pembataian anggota PKI.

Ketika merefleksikan film tersebut, diskusi yang dihadiri oleh dosen, mahasiswa, guru, dan para pemuda menyentuh persoalan, apakah pembantaian anggota PKI pada tahun 1965 adalah sesuatu yang salah sama sekali atau tidak.

Pasalnya, di satu pihak bahaya komunisme merupakan fakta. Di Indonesia, pemberontakan PKI sudah terjadi di Madiun pada 1948, dan kembali terjadi pada peristiwa pembunuhan para jenderal tahun 1965.

Lagi pula, di negara-negara berhaluan komunis, seperti China dan Korea Utara, kehidupan masyarakat sangat memprihatinkan. Segala aspek kehidupan serba dibatasi. Bukan tidak mungkin, jika tak dilumpuhkan kekuatannya pada tahun 1965-1966, pengaruh komunisme jauh lebih berbahaya daripada Orde Baru.

Di lain pihak, pembantaian anggota PKI dianggap di luar batas kemanusiaan. Kalau pun PKI pernah melakukan kekejaman, namun pembantaian anggota PKI tidaklah sebanding.

Lebih dari itu, bukan saja karena tidak setimpal, pembataian itu merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan. Jumlah korban yang meninggal diperkirakan mencapai 3 juta jiwa. Kekejaman itu sudah sejajar dengan kekejian NAZI yang mencapai 6 juta jiwa selama perang dunia II (1933-1945).

Dengan jumlah sedemikian besar, sampai kapan pun peradaban manusia akan berlangsung, kenyataan itu tetap dikenang sebagai kejahatan kemanusiaan.

Akan tetapi, terlepas dari perdebatan itu, menampilkan sejarah masa lalu dalam berbagai versi tentu sangatlah menarik. Meski belum tentu benar, sekurang-kurangnya film Joshua Oppenheimmer mengakhiri monopoli narasi film “Penghianatan G 30 S/PKI”. Bagi mahasiswa, tentu ini akan memantik daya kritis dan pencarian lebih lanjut.

Senyap di Labuan Bajo

Sementara itu, di Labuan Bajo, tepatnya di Teras pengadilan, Bolo Lobo Centre, film The Look of Silence (Senyap) yang dinonton. Ini merupakan film dokumenter yang menampilkan kesaksian korban penumpasan anggota PKI.

Dari diskusi para pemuda, film Senyap memang menuai pujian lantaran mampu mengungkapkan kesaksian korban secara vulgar ke publik. Namun, pada saat bersamaan, tak dapat dielak, film tersebut memantik luka-luka lama pada korban dan keluarganya.

Menariknya, kenyataan itu justru menuntut suatu tindakan yang lebih lanjut. Apa yang harus dilakukan berhadapan dengan luka batin para korban tersebut ?

Baca Juga: Tragedi 1965 di Ruteng: Dari Tuduhan PKI, Hingga Eksekusi Massal di Puni

Upaya rekonsiliasi antara korban dan pelaku merupakan suatu keniscayaan. Namun rekomendasi demikian tidak tanpa persoalan. Dalam konteks Manggarai, misalnya, kita harus mampu menelusuri data korban, tingkat trauma para korban, lokasi pembantaian, dan lain sebagainya.

Selain itu, penonton mesti tetap menjaga jarak dari dari film. Apa yang ditampilkan Joshua dalam “Senyap” tidak sekonyong-konyong dipercayai begitu saja. Artinya, harus dilihat dalam kaitan dengan relasi antara lokal, nasional, dan global dan relasi kekerasan-kekuasaan (politik)-kekayaan (ekonomi) serta relasi masa lalu-sekarang-masa depan.

Proyek Bersama

Rekomendasi paling konkret dari diskusi film tersebut adalah upaya menggali dan mengumpulkan narasi-narasi pembantaian anggota PKI di Manggarai. Sebagaimana dikatakan Romo Ino Mansur, dalam sinode Keuskupan Ruteng, gagasan serupa sudah sempat disentil dan perlu ditindaklanjuti.

Tentu upaya demikian bertujuan melahirkan gagasan diskursif atas sejarah masa lalu. Sebab, hampir pasti, negara-negara besar di dunia seperti Amerika dan Eropa tak pernah luput dari kisah kelamnya. Namun yang menandai kebesaran adalah keberanian mengakui sejarah kelamnya. Kesalahan kecil saja diakui, apalagi kesalahan besar.

Dalam kaitan dengan itu, Pemerintahan Indonesia sudah seharusnya menyikapi ini secara serius. Kelapangan hati dan kerendahan untuk mengakui sejarah kelam adalah langkah besar menuju masa depan. (Gregorius Afioma/PTD/Floresa)

spot_img
spot_img

Artikel Terkini