Hutan dan Kehidupan Bersama

Oleh: PASTOR MIKE PERUHE OFM

Kitalah yang seharusnya mengurus hutan, bukan hutan mengurus kita.Jika engkau ingin pohon tetap berdiri, engkau seharusnya berdiri bersama pohon” (David Orton, Coordinator of the Green).

Dalam beberapa dekade yang lampau para peneliti ilmu pengetahuan alam telah menunjukkan ketekunan yang luar biasa dalam usaha untuk mendesain dan mengimplementasikan tindakan-tindakan perlindungan hutan dan segenap keanekaragaman hayati.

Para ahli di bidang agronomi, biologi botani dan lingkungan, misalnya, telah menghasilkan sebuah landasan berpikir untuk melindungi dan menjaga ekosistem alam demi keberlangsungan semua yang hidup. Para pakar di bidang lingkungan hidup menggarisbawahi sebuah prinsip dasar tentang keterkaitan yang integral antar dan inter setiap makhluk hidup dalam jagat ekosistem.

Konferensi Lingkungan Hidup dan Pembangunan yang berlangsung di Rio de Janeiro, 1992 memunculkan lagi sebuah kesadaran yang kuat tentang prinsip hidup integral dengan alam. Alam memiliki hukumnya sendiri untuk secara niscaya merawat semua yang hidup dalam sebuah gerak keseimbangan yang abadi.

Kongres Rio mendapat inspirasi yang signifikan dari sharing pengalaman pendudukan lokal/masyarakat adat yang masih kental menghayati hidup “saling ketergantungan” dengan alam.“Masyarakat Adat dan komunitas mereka memiliki sebuah relasi historis dengan tanah mereka dan anak cucu mereka yang akan datang. Mereka sudah mengembangkan dari generasi ke generasi – sebuah ilmu pengetahuan tradisional yang holistik tentang tanah, sumber-sumber daya alam dan lingkungan mereka. Masyarakat Adat telah mengembangkan pola pembangunan berkelanjutan selaras alam berdasarkan paradigma relasi integral antarsegenap ciptaan, pembangunan berkelanjutan, budaya, sosial, ekonomi dan cara berada mereka”.

Konflik-konflik yang sangat fundamental dalam bidang kehutanan berakar pada persoalan manfaat hutan bagi manusia: “Bagaimana kita dapat me-manfaatkan hutan?”. Ketika hutan dipandang sebagai sumber alam bernilai ekonomis, lahirlah tindakan eksploitasi tak terkendali. Hutan alami dibabat untuk memenuhi permintaan pasar dan industri. Pengelolaan hutan diserahkan kepada kaum kapitalis hutan yang leluasa mengeruk kekayaan sekaligus meninggalkan kerusakan-kerusakan lingkungan.

Hutan-hutan di Indonesia digadaikan di pasar investasi sebagai barang komoditi yang secara formal dilegalkan oleh Pemerintah (Presiden) sebagai salah satu sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentingan Pembangunan di luar Kegiatan Kehutanan (PP no.2 tahun 2008, bdk. UU no. 20 tahun 1997). Sumber daya hutan hanya dilihat sebagai sumber pendapatan Negara dan atau sumber pembiayaan pembangunan.

Dalam pasal 1 PP nomor 2 tahun 2008, Pemerintah Indonesia secara cerdas merumuskan pemahaman hakiki tentang sumber daya hutan sebagai kekayaan yang mampu menopang kelangsungan hajat hidup orang banyak.

“Sumber daya hutan Indonesia merupakan karu-nia Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai penyangga kehidupan manusia melalui berbagai fungsinya. Hilangnya fungsi hutan mengakibatkan bencana seperti banjir, kekeringan, hilangnya keanekaragaman hayati, cadangan pangan, cadangan obat-obatan, hasil kayu dan nonkayu, dan lain-lain”.

Namun pemahaman cerdas ini tidak dibarengi dengan tindakan atau implementasi yang tepat. Justru kesadaran akan multifungsi hutan itu direduksikan hanya pada fungsi ekonomis hutan (sumber pendapatan = uang) semata. Hutan-hutan produktif di Indonesia digadaikan atau disewakan kepada para investor tambang, yang de facto sudah menghan-curkan dan meracuni tanah negeri ini di sejumlah wilayah operasi pertambangan.

Degradasi kualitas lingkungan hidup akibat konversi hutan tropis seluas 638.000 ha menjadi areal persawahan (362.000 ha) dalam Proyek Pengembangan Lahan Gambut (1996) Sejuta Hektar di Kalimantan. Proyek ini pun gagal total. Penghancuran hutan alam di Provinsi Riau untuk pengembangan perkebunan Kelapa Sawit oleh PT. SinarMas. Eksploitasi tambang Emas dan Tembaga oleh PT. Freeport Indonesia di Papua–zaman regim Soeharto (Orde Ba-ru)-telah memporakporandakan hutan alami dan hutan sagu sumber kehidupan masyarakat setempat. PT. Newmont Minahasa Raya (NMR) dan Newmont Nusa Tenggara (NNT) telah membabat kawas-an hutan lindung dan lahan pertanian masyarakat sekaligus memproduksi lim-bah beracun yang mencemari tanah, air dan laut.

Ketika hutan dipahami secara ekologis sebagai penopang keberlangsungan hidup segenap makhluk, maka adanya hutan menentukan hidup matinya segenap makhluk di planet ini. Ketika hutan semakin rusak, sesungguhnya pada saat yang sama terjadi kepunahan sistematis terhadap makhluk-makhluk hidup yang bergantung pada hutan. Manusia yang semakin tidak bersahabat dengan hutan (alam), sesungguhnya sedang merusak dirinya sendiri dan hidupnya secara sistemik. Degradasi hutan akan melahirkan kepunahan keanekaragaman hayati dan kerawanan-kerawanan yang mengancam hidup manusia dan semua yang hidup.

Pemahaman Komprehensif

Kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan dan merawat hutan dalam lingkaran ekosistem yang utuh mesti berakar pada visi yang tepat tentang ekosistem yang sustainable. Masyarakat industrial telah menempatkan semua yang ada di alam ini sebagai kumpulan sumber daya (resources) yang siap untuk dimanfaatkan oleh mesin-mesin industri.

Hutan yang berkelanjutan menentukan sebuah masyarakat yang berkelanjutan. Masyarakat industri sesung-guhnya mengartikulasikan sebuah masyarakat yang tidak berkelanjutan. Sebuah masyarakat dengan tingkat hidup konsumtif yang tinggi memungkinkan terjadinya pengerukan sumber-sumber alam secara besar-besaran dan tak terkendali.

Pola konsumtif masyarakat industri di satu pihak dan pertumbuhan penduduk yang tak terkendali di pihak lain, telah melahirkan sebuah problem kehutanan yang sangat krusial. Pada hakekatnya, hutan industri berorientasi pada dunia pasar, sehingga tidak pernah cukup kebutuhan akan kayu. Model hutan seperti itu memiliki daya rusak yang besar terhadap ekosistem hutan.

John Livingston dalam bukunya The Fallacy of Wildlife Conservation (1981) telah menegaskan bahwa tidak ada argumentasi rasional untuk melakukan konservasi margasatwa dalam skenario kerja industri. Paradigma yang dibangun oleh perusahaan-perusahaan multi-nasional di bidang kehutanan adalah pemanfaatan sumber daya alam sebe-sar-besarnya demi kemakmuran pemilik modal.

Livingston menegasikan gagasan terkait dengan gerakan konservasi sumber daya alam (margasatwa). Sebab paham tentang konservasi lahir dari dunia industri–dan kampanye-kampanye dari korporasi hutan berskala global – yang berusaha untuk menguasai kekayaan sumber daya alam.

Dalam banyak kasus ditemukan fakta bahwa proyek-proyek konservasi hutan, misalnya, hanya memuluskan tindakan kerakusan untuk memusnahkan hutan alami dan segenap isinya, mengusir masyarakat lokal dari kawasan hutan, mengeruk kekayaan hingga titik zero serta merusak lingkungan hidup secara permanen. Dalam aras pemikiran itu, konservasi lingkungan sama artinya dengan tindakan konversi hutan alami dengan hutan tanaman industri yang berdampak pada degradasi kualitas lingkungan hidup. Karena itu, Livings-ton menggarisbawahi dua pertimbangan penting-mendasar berikut ini.

Pertama, Kita perlu memahami kembali bahwa tanaman (tumbuh-tumbuhan), binatang-binatang, bentangan batu-batu karang, samudera, aliran sungai, gunung-gunung memiliki kedudukan spiritual dan etik sama seperti manusia.

Karena itu, kita butuh sebuah identifikasi dan solidaritas dengan semua yang hidup. Artinya, komunitas etik secara keseluruhan dan terutama tidak hanya terkait dengan komunitas manusia melainkan komunitas ekologis. Usaha untuk memusnahkan atau menggantikan sebuah species perlu mempertimbangkan peran unsur-unsur alami itu dalam rantai ekosistem kehidupan bersama.

Kedua, Kita perlu melawan gagasan-gagasan absolut yang terkait dengan “kepemilikan pribadi” dalam kawasan hutan untuk kepentingan individu ataupun industri. Sebab bumi ini milik semua umat manusia. Tak pernah boleh seorang pun dapat mengklaim bahwa bumi ini milik sebuah Negara atau individu tertentu atau perusahaan tertentu atau pun kelompok masyarakat adat tertentu.

Dengan demikian, semua umat manusia yang merupakan bagian integral dari alam ini memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga, merawat dan melestarikan alam. Dari titik pandang inilah kita dapat menempatkan arti sebuah gerakan untuk meningkatkan tanggung jawab terhadap pemeliharaan atau pelestarian hutan demi kelangsungan semua yang hidup di jagat ini.

Menimbang Kerawanan dan Konflik dalam Pola Konservasi

Pelanggaran HAM terhadap penduduk lokal dalam rangka proyek konservasi sering terjadi di sejumlah wilayah Nusantara ini. WALHI dalam catatannya menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2003-2007 telah terjadi 356 konflik yang melibatkan penduduk lokal, negara, perusahaan perkebunan, pertambangan dan kehutanan. Konflik-konflik tersebut terjadi di 27 provinsi.

Konflik muncul karena benturan kepentingan antara Pemerintah (Negara) dan pemilik modal (korporasi) di satu pihak dan masyarakat di pihak lain. Pemerintah ingin melakukan konservasi dan atau mengijinkan korporasi mengeruk kekayaan kawasan hutan (kayu, tambang dan air) dengan mengabaikan hak-hak masyarakat lokal seputar hutan.

De facto pelaksanaan proyek-proyek konservasi di suatu kawasan melahirkan peminggiran dan ”embargo” ekonomi penduduk seputar hutan. Selain itu, berpotensi pelanggaran HAM berat, seperti yang terjadi di sejumlah tempat/kawasan. Dalam proyek GERHAN di areal seluas 6.200 ha di TWA Manggarai –Nusa Tenggara Timur–Aparat Pemerin-tah Kabupaten berkonspirasi dengan Aparat Keamanan dalam menggusur dan menangkap serta membunuh petani kopi Colol.

Pelaksanaan proyek penuh manipulasi dan kekerasan terhadap masyarakat kecil di kawasan konservasi. Pengusiran paksa masyarakat adat Moronene (Sulawesi Utara) dari wilayah adatnya dengan alasan konservasi taman nasional yang dilancarkan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara dan Bupati Buton (1997-2020). Pengusiran masyarakat Kontu dari wilayah adatnya oleh Pemerintah Kabupaten Muna atas nama penyelamatan hutan lindung (2003-2007). Alih-alih pengamanan hutan lindung, Pemerintah Kabupaten mengeluarkan kebijakan bagi korporasi hutan agar melakukan pengelolaan kayu besar-besaran di Kabupaten tersebut.

Kelola Bersama

Kerusakan lingkungan hidup telah memberi efek yang menyengsarakan kehidupan. 34% dari angka kemiskinan, 85% dari korban bencana alam, 3,5 juta hektar hutan yang musnah serta sejumlah kekerasan dan konflik horisontal yang juga diakibatkan oleh sengketa ling-kungan hidup, telah menyebabkan 60% dari mereka menjadi pengungsi pem-bangunan. Bahkan, dalam pengungsian tersebut, tidak jarang dari mereka berha-dapan dengan masalah baru yang me-nyebabkan menurunnya kualitas hidup mereka.

Kerusakan hutan mencerminkan juga krisis kedaulatan dan keadilan masyarakat kecil, yang kehilangan akses ke dalam hutan. Penguasaan hutan melahirkan kemiskinan atau kerawanan pangan bagi masyarakat seputar hutan. Masyarakat di sekitar hutan sesungguhnya menjadi penanggungjawab kelestarian hutan. Untuk itu, perlulah pember-dayaan dan pendidikan bagi masyarakat seputar hutan agar merawat dan mengelola hutan secara arif sesuai dengan kearifan lokal mereka.

Di hadapan semuanya ini, kita membutuhkan kajian kritis dan studi yang mendalam (bebas pesan sponsor) untuk menerapkan metode-metode pengelolaan hutan yang melibatkan semua komponen, dengan berbasis masyarakat seputar hutan. Perlu merumuskan visi atau cetak biru yang menjadi landasan utama pengelolaan lingkungan dan keberlanjutan ekologi, agar Pemerintah (Negara) tidak menggadaikan pengelolaan hutan dan segenap kekayaan kepada kaum kapitalis lingkungan yang rakus dan money oriented.

Visi dasar tentang pembangunan hutan yang berkelanjutan mendorong Pemerintah (Negara) untuk menjadikan isu lingkungan hidup sebagai agenda politik nasional apalagi menjadikannya sebagai portofolio politik ke dalam struktur dan sistem pemerintahan yang pro lingkungan dan pro masyarakat kecil.

Penulis adalah Koordinator Penelitian dan Advokasi JPIC OFM Indonesia.

[Artikel ini sebelumnya dimuat di situs jpicofmindonesia.com. Dipublikasi kembali oleh Floresa.co demi pencerahan kepada publik.]

 

spot_img

Artikel Terkini