Tragedi 1965 di Ruteng: Dari Tuduhan PKI, Hingga Eksekusi Massal di Puni

Floresa.co – Tahun 1965, Petrus – bukan nama sebenarnya -, baru berusia 11 tahun dan duduk di kelas 2 SD.

Saat itulah, warga Puni, Kelurahan Pau, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai  itu menyaksikan langsung peristiwa pembantaian terhadap mereka yang dituding anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).

Peristiwa mengerikan itu, yang juga terjadi di hampir seluruh Indonesia bermula dari terbunuhnya lima jenderal di Jakarta pada 30 September 1965.

Kala itu, Soeharto dan militer menuding PKI sebagai dalang pembunuhan itu, yang kemudian memicu upaya pembasmian terhadap anggota PKI, serta simpatisan partai itu.

Terjadi Tiba-tiba

Sebagaimana diingat Petrus, suatu hari, ia lupa entah hari atau bulan apa, penduduk di kota Ruteng terkejut.

Serombongan tentara tiba-tiba menyesaki jalan berbatu di depan rumahnya.

Kehadiran tentara tentu tak biasa, mengingat kala itu tidak ada pos tentara di Ruteng. Yang ada hanya kantor polisi.

Semua tentara itu datang dari Ende, Kabupaten Ende, demikian cerita versi Petrus.

Yang lebih mengejutkan hari itu, beriringan bersama tentara itu, sejumlah orang yang tak mengenakan baju. Berkali-kali mereka dipukuli. Darah menetes dan tercecer di sepanjang jalan.

Meski masih merintih kesakitan, mereka masih harus menandu mayat. Kaki mereka diikat rantai dan terhubung satu sama lain.

Segera tersiar desas-desus saat itu bahwa mereka adalah anggota PKI.

Kontan warga dan anak-anak berkerumun ingin menyaksikan dari dekat.

Tiba di Puni, tentara menyuruh orang-orang itu menggali lubang.

Kata Petrus, dulunya di situ adalah perkuburan yang dibagi menjadi tiga wilayah. Ada perkuburan untuk warga Cina, perkuburan untuk umat Katolik, dan perkuburan untuk umat agama lain.

Di bagian kuburan agama lain itulah, lubang-lubang itu digali.

Tidak sesenyap biasanya, tempat itu menjadi lebih riuh. Biasanya, meskipun siang hari, keadaan di tempat itu sangat gelap.

Hutan bambu masih sangat rimbun. Ada beberapa pohon besar. Terdapat sebuah pohon mangga yang rimbun di sebelah barat kuburan itu. Sangat jarang orang lewat di sana.

Namun, hari itu, tentara mondar-mandir. Sementara, dalam dingin yang menusuk, tahanan PKI dipaksa menggali lubang. Tidak begitu dalam. Hanya setinggi lutut.

Selang beberapa saat, mereka disuruh duduk di bibir lubang. Mereka menghadap ke dalam lubang. Ada sekitar delapan orang untuk satu kuburan.

Dari jarak 5-6 meter, tentara sudah siap menembak. Begitu bunyi senjata meletus, mereka jatuh terjerembab ke dalam lubang.

Berlumuran darah, mayat-mayat menindih satu sama lain.

Ketika ada yang masih bergerak, seorang tentara mendekat dan melesatkan tembakan sekali lagi.

Tak lama berselang, lubang-lubang itu ditutupi tanah.

“Setelah hari itu, hampir tiap hari, setiap orang dibawa ke Puni dan dibunuh di sana” cerita Petrus.

Ruteng Menjadi Senyap

Hari-hari selanjutnya setelah pembantaian itu, kesenyapanlah yang menyelimuti Ruteng.

Tadinya Ruteng hanyalah sebuah kampung kecil yang sebagian besar penduduknya adalah petani.

Rumah-rumah penduduk sangat sederhana. Sekalipun  pegawai, rata-rata atap rumah masih memakai belahan bambu. Jalan-jalan masih buntu dan tersusun dari batu.

Menurut Hanis, warga lain – juga bukan nama sebenarnya -, kehidupan sebagian besar masyarakat saat itu masih ditandai hiruk-pikuk memenuhi kebutuhan dasar yakni makanan.

Aktivitas bisnis sangat terbatas. Kompleks pertokoan belum ada.

“Susah sekali makan nasi. Hampir tiap hari, orang ramai-ramai mencari umbi-umbian di hutan untuk dimakan. Satu jagung saja bisa dibagi tiga saat makan.” katanya.

Saat itu cara bercocok tanam di sawah memang belum begitu populer.

Suasana Ruteng kelihatan lebih hidup hanya karena keakraban yang terjalin antarpenduduk.

“Rata-rata penduduk mengenal satu sama lain.”

Namun di tahun 1965, suasana berubah total. Keadaan begitu mencekam. Hampir tiap hari terjadi pembunuhan. Kata Hanis, ketika terdengar letupan senjata, mereka datang menonton.

“Biasanya sepulang sekolah. Sekitar jam 3 dan 4.”

Tidak hanya menyaksikan pembunuhan, di jalan-jalan mereka melihat orang-orang berdatangan dari kampung-kampung di Manggarai, melaporkan diri di kantor pengadilan.

Umumnya mereka tak mengenakan pakaian dan disiksa sepanjang jalan. Wajah mereka rata-rata tak dapat menyembunyikan raut ketakutan dan kengerian penyiksaan.

Di Ruteng, kenyataan itu segera menyebarluaskan ketakutan dan kecurigaan. Menjelang malam, tak ada lagi yang berkeliaran sembarangan. Pintu rumah ditutup rapat.

Bahkan pada bulan-bulan itu, tak satu pun yang berani bertandang ke rumah tetangga atau rumah keluarga sendiri. Masing-masing orang takut dicurigai.

Apalagi, tentara berkeliaran di jalan, siap menginterogasi yang bebas berkeliaran.

Beratnya Penyiksaan

Saking terbiasanya menonton pembunuhan, baik Petrus maupun Hanis hampir tak takut lagi melihat adegan kekerasan demi kekerasan.

“Karena tiap hari menonton, makanya kami tidak takut lagi”

Sebagai anak pensiunan polisi, Petrus sering menemani ayahnya ke kantor polisi untuk menerima gaji bulanan.

Di sana, ia menyaksikan perlakuan kejam itu. Tahanan PKI dipaksa memukul satu sama lain hingga babak belur. Darah tercecer dimana-mana.

Paling mengerikan kalau tentara dan para pemuda yang tergabung dalam pemuda rakyat mulai turun tangan menyiksa tahanan.

Suatu hari, misalnya, ia menyaksikan salah seorang anggota PKI ditelanjangi. Seorang tentara mengambil pisau sangkur.

Dengan ujung pisau yang tajam itu, tentara menuliskan “PKI” di punggung tahanan tersebut. Seriring huruf itu terbentuk, darah mengucur deras. Tahanan itu meronta-ronta kesakitan.

Menurut Petrus, karena beratnya penyiksaan, tak heran, semua anggota PKI tidak meregang nyawa di Puni hanya karena penembakkan.

“Banyak yang meninggal karena disiksa dan hanya dibawa untuk dikuburkan di Puni.” jelasnya.

Penyiksaan serupa sering disaksikan oleh Hanis. Ibunya sering membantu masak untuk para tentara.

Ketika pergi ke penjara lama bersama ibunya, ia menyaksikan rangkaian penyiksaan tersebut di tanah lapang depan penjara.

Di telinga para tahanan, kata Hanis, dijepit alat strum. Semua kabel tersambung ke aki (accu/akumulator) yang berukuran besar.

Begitu listrik mulai dialirkan, para tahanan menjerit-jerit.

Tidak hanya itu. Penyiksaan paling sadis sering berlangsung sebelum penembakkan di Puni. Kata Hanis, tentara dan kelompok pemuda rakyat memukul, menendang, dan meninju para tahanan.

Ketika suatu hari ada tahanan yang masih menjerit setelah ditembak, seorang tentara mengambil sangkur dan menikam di bagian rusuknya.

Pada hari terakhir rangkaian “pembasmian” anggota PKI di Manggarai, ada tiga orang pimpinan PKI di Manggarai, yang ditembak, cerita Hanis.

“Karena tembakkan bertubi-tubi, organ bagian dalam sampai-sampai terlempar keluar dan mengenai para penonton,” ujarnya.

Seringkali, di tengah kekejaman itu, seorang tentara asal Manggarai, sebut saja namanya Johny, menghimbau agar keluarga dari para korban tidak boleh menonton saat eksekusi.

Ia juga menyuruh para tahanan berdoa sebelum ditembak.

Bertanya-Tanya

Kini, lima puluh tahun berlalu. Dan, Petrus dan Hanis masih mengenang kejadian itu. Namun, sebagaimana juga dialami orang lain yang mengetahui kejadian kala itu, kenangan akan peristiwa itu, kerap tak mendapat tempat untuk dibagikan kepada banyak orang, mengingat sikap anti-PKI yang masih hidup, termasuk juga dengan orang-orang yang sebenarnya tidak memiliki relasi yang kuat dengan partai itu.

Lebih dari sekedar meninggalkan kesedihan yang mendalam, peristiwa itu masih menjadi tanda tanya.

“Kami belum mengerti betul, kenapa mereka ditembak,” kata Petrus.

Dari cerita-cerita saat itu, mereka hanya memahami bahwa anggota PKI adalah pemberontak dan suka menentang program pemerintah.

Paling sering dikatakan bahwa anggota PKI menentang moral perkawinan.

“Banyak yang bilang saat itu, kalau sesama anggota PKI, sering tukaran istri,” jelas Petrus.

Membandingkan dengan kondisi ekonomi dan kuatnya pengaruh adat dan agama saat itu, sebenarnya semua isu tersebut sulit sekali dibuktikan.

Orang Manggarai pada umumnya hanya memiliki satu istri.

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi?

Banyak versi kisah yang kini bertebaran. Yang pasti, buku-buku sejarah mengafirmasi klaim Soeharto bahwa PKI-lah pemicu pembunuhan para jenderal pada 30 September itu. Hal ini kemudian melahirkan kebencian besar pada PKI.

Namun, soal yang tersisah, apakah korban yang dibunuh dan disiksa memang berafiliasi dengan PKI? Banyak temuan yang menunjukkan bahwa sebagian korban adalah orang-orang yang sama sekali tidak memiliki kaitan dengan PKI.

Komnas HAM yang melakukan penyelidikan terhadap kasus ini pada 2008-2012 menyimpulkan adanya pelanggaran HAM berat terhadap para korban.

Kini, para korban menuntut akuntabilitas negara, dengan meminta adanya penyelesaian yudisial lewat pengadilan HAM ad hoc serta non-yudisial lewat rekonsiliasi.

Semua upaya itu, yang meski mengalami tarik ulur, sedang diupayakan di level nasional.

Di Manggarai, berdasarkan pengakuan korban yang sempat ditahan namun kemudian dilepaskan, setidaknya ada 350 yang ditangkap dan 100 dari antara mereka yang kemudian tewas.

Selebihnya, dilepaskan kembali, setelah ditahan 1-3 bulan di penjara.

Mereka yang bebas itu, meski lepas dari kekerasan fisik, namun masih memikul beban sepanjang hidup mereka, karena distigma sebagai musuh negara.

Adakah upaya melihat kembali peristiwa itu, dan belajar darinya agar jangan sampai terjadi lagi di masa mendatang?

Melihat itu dalam nuansa keterbukaan dan kesadaran yang tinggi akan pentingnya belajar dari masa lalu, serta perlunya membangun komitmen pada penghargaan terhadap HAM adalah bagian dari proses untuk menyembuhkan pengalaman traumatik para korban, juga menuju upaya rekonsiliasi, yang sekarang wacananya kian menguat. (Greg/ARL/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini