Karya: NANA LALONG

Kopi bagai nafas bagi penghuni lembah ini. Hari dibuka dengan segelas kopi. Menutupnya, entah kapan, juga dengan kopi.

Jika suatu pagi engkau datang kemari, akan kau dapati segelas kopi pembuka, opening coffee.

Sepagi itu kopi selalu punya makna. Kopi hadir sebagai kenangan akan malam. Legam kopi adalah pekat malam.

Uap yang mengepul dari mulut gelas adalah harapan. Hangat yang terasa di dada adalah kekuatan. Bekal mengembara hari ini.

Setelahnya, jelang siang, siang, jelang sore, sore, malam, tengah malah, jelang pagi….gelas-gelas kopi susul menyusul. Apapun waktunya, kopi minumannya.

Di lembah ini, kopi adalah minuman segala waktu.  Di lembah ini matahari terlampau jauh di puncak bukit. Tubuh perlu dihangatkan agar kuat menembus pagi.

Engkau akan heran begitu rupa. Tak ada yang bisa dibuat tanpa dibuka kuncinya oleh segelas kopi. Namanya juga opening coffee.

Pria akan bangun pagi dan menunggu kopi di balik balutan sarung. Tak ada pagi yang dibiarkan lewat tanpa segelas kopi. Tubuh terlalu ringkih tampaknya untuk dibiarkan menembus hawa pagi tanpa hangat kopi.

Tak ada yang terlampau miskin untuk melewatkan pagi tanpa kopi. Di sini, kami selalu enteng bilang, biar miskin asal minum kopi. Siapa juga berani mengatakan kopi hanya buat orang-orang kaya yang suka mejeng di starbucks?

Datanglah pada suatu pagi. Engkau akan menuruni lereng untuk sampai ke sini. Sepanjang jalan akan kau dapati rimbunan kopi yang tumbuh lebat di keteduhan gamal dan dadap.

Di sela-sela pohon kopi tumbuh rumpun keladi yang selalu memberi umbi segar. Umbi yang senikmat surga ketika disantap dengan kopi.

Sepagi itu masih akan kau dapati butir-butir embun yang bening bagai mutiara. Sinar pagi akan melenyapkannya sebentar lagi. Kaki dan sandalmu akan basah oleh embun dari rerumputan yang tumbuh sepanjang jalan. Engkau perlu sepatu bot jika telapak tak kuat menahan dingin.

Masukilah kampung sepagi itu. Abaikan gonggong anjing di pintu masuk. Bukankah anjing menggonggong takkan menggigit? Tak mungkinlah ia menggigit saat sedang gonggong.

Masuklah, abaikan anjing-anjing itu.  Engkau melewati pa’ang. Suasana pagi akan kau dapati di lembah ini.

Asap mengepul dari dapur warga. Aroma kopi akan menjemput penciumanmu.  Sepagi itu, ibu-ibu menyangrai biji-biji kopi.

Wangi kopi yang mulai menghitam terbawa sisa angin fajar dan singgah di penciumanmu. Sebentar kemudian, di telingamu terdengar tuk tek alu membentur lesung.

Gadis-gadis lembah sedang membikin bubuk kopi untuk minum pagi itu.

Di sekitar lesung itu sudah ada nyiru dan sebulat pengaya (ayakan) yang menghitam. Tak jelas lagi di matamu apa warna asli benda itu.

Biji-biji kopi yang legam tergerus oleh benturan ujung alu di dasar lesung.  Setelah kelihatan banyak tepungnya, hasil tumbukan akan diangkat. Serbuk kopi akan melewati pori-pori pengaya.

Gadis-gadis di lembah ini tak butuh waktu lama untuk belajar mengayak kopi. Yang tersangkut di atas jaring tersisa bagai butir pasir yang perlu dihaluskan lagi.

Hasil ayakan adalah tepung dengan aroma yang segar. Warga di lembah ini tahu benar menggaet aroma kopi. Mereka menyangrai biji kopi dengan jeja, kuali yang terbuat dari tanah liat.

Panas yang perlahan munculnya akan menghitamkan biji-biji kopi yang mereka petik dari ladang sendiri. Lama memang prosesnya, tak secepat menggunakan kuali aluminium. Biji-biji itu disangrai tak sampai gosong.

Ibu-ibu di lembah ini tahu kapan biji-biji itu harus diangkat. Terlalu gosong akan melenyapkan aroma kopi. Terlalu cepat juga menyulitkan gadis-gadis penumbuk.  Mereka tahu persis saat mana harus mengangkat biji-biji itu.

Setelahnya mereka menumbuk biji kopi dengan lesung dan alu yang sudah tersedia di tiap-tiap rumah. Mereka tak lagi menyewa mesin untuk menghasilkan bubuk kopi.

Lesung dan alu terasa lebih mampu menjaga rasa, menjaring wangi. Bahkan bapa-bapa mengharapkan dari istri mereka kopi yang direbus dengan periuk tanah.

Mereka tak menyeruput kopi seduhan dalam wadah aluminium. Katanya ada yang spesial dari kopi rebusan. Biji-biji kopi yang masih kasar ditambah dengan sebagian bubuk halus dimasukkan ke periuk tanah. Sedikit batang jahe boleh dimasukkan untuk menambah hangat.

Di lembah ini pada suatu pagi. Masuklah salah satu rumah. Sepagi itu kamu akan disugukan segelas kopi spesial dari tangan gadis-gadis lembah.

Ini segelas kopi yang tampil dengan kisah yang tak retak, terpenggal-penggal.

Duduklah dengan gelas kopi yang mengepul. Dengarlah kisah mereka. Lantas kamu akan tahu bagaimana warga lembah ini bangga dengan segelas kopi dari ladang sendiri.

Mereka memetik sendiri biji kopi. Bapa-bapa menuruni lembah, memikulnya dalam karung 50 kiloan. Ibu-ibu menumbuknya di rumah dibantu anak-anak gadis.

Ada proses panjang sebelum akhirnya biji-biji kopi siap disangrai untuk dijadikan bubuk spesial yang larut dalam gelasmu.

Sebegini detailkah ceritamu tentang segelas dari kopi saset kemasan pabrik?  Aku yakin, tidak!

Simak cerita mereka yang sekelam hitam kopi. Bagian terbesar dari biji-biji kopi akan dijual di pasar.

Harga kopi seringkali membuat muka kecut. Kebutuhan pokok di pasar melambung tinggi.  Hasil jualan sekarung kopi tak ada artinya ketika harus dibagi-bagi.

Jumlah terbesar untuk anak sekolah. Setelahnya beras untuk makan sehari-hari. Sedikit lauk juga wajib dibeli sepulang timbang kopi.

Timbang kopi terasa hambar tanpa perbaikan gizi keluarga. Lantas makin susutlah uang hasil penjualan itu.

“Jangan lupa beli ikan” pesan ini tak pernah lupa dibisikkan ibu-ibu saat suaminya pergi timbang kopi di kota.

Suami-suami harus membelinya jika ingin disambut dengan senyuman saat pulang. Di lembah ini tak ada yang lebih malang dari suami yang dimarahi istri karena tak membeli lauk usai timbang kopi.

Harga kopi seringkali turun. Jika naik, paling-paling tak sampai dua ribuan dan butuh waktu lama. Tapi begitu turun, tak tanggung-tanggung. Bisa sampai tiga hingga lima ribuan.

Muka petani kopi lagi-lagi kecut. Tetapi tak ada yang kekal dengan muka kecut.  Asal ada segelas kopi, wajah kembali ceria. Biar miskin asal minum kopi.

Ini sudah menjadi filosofi hidup mereka. Harga naik-turun tak begitu meresahkan. Permainan bertahun-tahun, turun-temurun, membentuk ketabahan dalam diri mereka.

Bahwa hidup ini memang bagai berjudi.  Ada saat menguntungkan. Juga ada saat kalah.

Sekali lagi dengar keluh penghuni lembah ini.  “Kami sudah menerima ini sebagai kelaziman. Bahwa bos-bos itu makin kaya sebagai pengepul komoditi. Kami, petani-petani makin miskin. Lahir miskin, besar miskin, dan mati miskin.”

“Kamu bos, kita petani miskin. Tapi kita sama-sama minum kopi. Jika jenuh dengan kafein kita memburu alkohol. Bedanya kamu menenggak Johnny Walker, kita “Sopi Aimere” . Kamu Black Label, kami air berlabel Ruteng. Tidur kita sama-sama nyenyak. Sama-sama mabuk. Sama-sama muntah. Sama-sama babi!”

Ko jadi mengumpat? Yah, itulah kelam kopi. Malam tak ada ujung. Sejarah kopi adalah sejarah penjajahan. Sejarah pembunuhan. Sejarah penindasan. Sejarah cari untung sendiri dan tipu-tapu. Sejarah kekalahan.

Dijajah para kolonialis. Digebuk habis-habisan para kapitalis.  Ini ditonton para birokrat dengan wajah sumringah. Dengar keluh mereka, janganlah ini dipolitisir.

“Ini sudah sejarah kelam kami di lembah ini. Seperti yang selalu kami sesap dalam kelam kopi. Begitulah hidup kami sebagai rentetan kisah kelam! Kami menambah gula pada pahit rasa kopi. Adalah cara kami memberi senyum pada sejarah kelam yang tak selalu bikin kecut. Hidup kami adalah kelam kopi. Pahit manis berpadu memberi nikmat yang begitu sulit untuk kau mengerti. Harga kopi tak cukup memuaskan. Bertahun-tahun itu kami alami. Mengapa juga kami tetap tersenyum?”

“Yah, asal ada kopi. Kalau di neraka nanti ada kopi, biarlah kami ikut ke sana untuk segelas penutup, closing coffee! Barangkali itu menjadi kontrakan murah bagi kami.”

Sambil menyongsong segelas kopi penutup, warga lembah ini akan menyuguhkan segelas kopi untukmu. Kopi menjelang datangnya malam.

Engkau lekas pamit dari lembah itu? Usai tegukan pamungkas, engkau meninggalkan lembah sambil mengingat suara mereka yang dengan ramah mencoba menahanmu, “Tinggallah bersama kami melewati malam di lembah ini!”

Aku ingat di suatu waktu ketika menjauh dari lembah itu. Di lereng yang agak jauh, aku menoleh ke lembah.

Tampak di mataku pendar cahaya pelita dari sela-sela dinding pelupuh. Cahaya yang rapuh dan lemah di bawah kelam langit malam yang angkuh.

Bulan masih samar, mengintip jauh di balik bukit. Aku terkenang gadis peminta-minta dalam puisi penyair Toto Sudarto Bachtiar.

Gadis kecil berkaleng kecil… tengadah padaku pada bulan merah jambu…

Juga teringat iklan di Metro TV gadis manis berwajah bulan berakting memelas.

O bulan…datanglah aku bergidik di hening malam di bawah bulan yang samar dan ragu

Ingin rasanya kembali ke gadis lembah merangkai angan hingga jelang fajar seperti ‘aku’ dalam puisi Bachtiar yang ingin ikut gadis kecil berkaleng kecil pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok, untuk hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan…

Aku ingin hidup sederhana tekun dan kerja keras serta punya ketabahan yang bandel bersama gadis lembah pada malam yang disinari bulan nan samar dan ragu aku ingin…

Berkelebat di benakku wajah para penghuni lembah. Tak ketinggalan gadis lembah yang menyuguh kopi paling nikmat sepagi itu.

Kopi de Molas, nama yang kuberi.

Apakah mereka tengadah padaku? Tiba-tiba bantinku menyela rada ejek.

Kamu bisa apa? Tetapi barangkali kamu bisa, sahabatku, kerinduan orang-orang lembah!


 

Nana Lalong adalah nama pena untuk seorang mahasiswa asal Manggarai yang sedang studi di Jakarta.