Cintaku Sampai di Belis

(i)

Ahima, nama sang kekasih jiwaku

Namamu sudah, dilekatkan di hatiku semenjak engkau berusia tujuh belas tahun

Kalau engkau masih ragu,

silakan kita membela dada Tuhan, tuk menjawab keraguanmu itu

Aku tidak salah, kalau aku meminangmu di bulan lima

karena bulan itu bukti bahwa bisa aku buktikan cintaku

kubukukan ini dalam buku harianku

(ii)

Ahima,

Ayah dan ibumu bilang, engkau masih seperti seorang bayi

Butuh dimanja,

Adikmu bilang, engkau belum bisa menanak nasi, apalagi menanak puisi? Tak bisa membuatku mundur

Itu bukan alasan, aku menolakmu

Adakah engkau berubah secepat pikiranku?

Ataukah harapanku lahir dari elaborasi egoisku?

Aku masih menantimu di ujung rindu

Hatiku sangat menggebu-gebu,

Membela dan membelai tubuhmu

Namun, kali ini aku terkapar dalam angan-angan angina

Yang secepat mungkin pergi

(iii)

Atau kalau, engkau mau,

Kita menjual tanah satu petak pemberian ayahku

Untuk meminangmu, Ahima

Lalu, kita mau makan apa?

Dari mana lagi uang membeli make-up mu?

Untuk kali ini, biarkan daku hidup sendiri

dakukah yang ingin engkau jaring dalam retak-retak renggang

(iv)

Sekali lagi, jangan kau katakan,

Jodoh ada di tangan sang khalik!

Tidak…

Tidak…

Tidak…

Aku tahu, ini bukan salah Rahim ibu yang mengandung kita,

Tetapi, ini salah Rahim ‘budaya’ yang memperbesarkan kita

Daku tak sanggup.

Episode-episode yang telah kita lakukan di malam kelam

Biarlah di makan nasib malang di peraduan malam

Daku, mau pergi dari

Mungkin, takdir membimbing kita pada sebuah waktu,

Kita masih berjumpa

Cintaku sampai di Belis

 

 

Sajak Anak Yatim Piatu

(i)

Tahun lalu, ibuku pergi ke tempat asalinya

Semua ‘kenangan’ kulumpuhkan bersama karangan dukacita

Aku tak mau menagih’tuk kembali

Kaki mendaki-daki ke sumber jawaban dari setiap pertanyaan,

Berpelukkan pilu bersama dukacita

Bermesrahan resah dalam nestapa

Panasnya hatiku memandang kabar itu

Aku sudah hamper lupa kemalangan itu

Mulai membanun hidup dengan sang ayah

Di ranjang sepi, kami membawa nama ibu kepada Sang Khalik

(ii)

Selang setahun, ayahku turut pergi

Dukacitaku tak bias dibahasakan, apalagi menanak puisi tuk bisa menghibur

Tidak

Tidak

Tidak

Ayahku pergi tak kunjung pulang

Bukan hanya puisi yang berceritera

Mulut-mulut makhluk hidup berujar

“Aku yatim piatu”

Awan kesedihan menghantarku pada kemasgulan,

Kali ini, hatiku sangat gunda

(iii)

Kenapa, Tuhan?

Kenapa?

Mengapa Engkau mengaborsi kebahagiaanku sekejap

Aku bukan Ayub yang setegar batu ketika Engkau mencobai

Aku juga tak memiliki iman setebal Abraham, yang mau mengurbankan Yakub, anaknya

Aku hanya bisa mengintip ‘rumah’ surgawi

Semoga dosa ibu dan ayahku tak menghalangi mereka merangkul terang

Aku hanya sebatang kara

Hidup pun sebatang kara

 

Melamar di Bulan Lima

aku mau melamar di bulan lima

meminang gadis yang dibelis gading

mengetuk-ketuk kamar nomor lima

limau purut di tepi rawa

lidah melemas di kaki lima,

engkau beradu bersama sang Mr lima di pukul lima pagi

aku kecewa di linang limbah

air mataku bercucur lima

Dasar perempuan bermata lima

Lirik ke sana, ke sini pun jadi

kau bukan keturunan panglima

engkau membusukkan nama panglima di pukul lima bersama Mr lima

 


Eugen Sardono, seolah pecinta dan penggelut sastra. Calon imam SMM ini sedang menempuh studi di STF Widya Sasana-Malang, Jawa Timur.