Mendidik Orang Muda Jadi Calon Pemimpin

1709

Oleh: MARIANUS MANTOVANNY TAPUNG

(Mengenang 50 Tahun SMAN I Ruteng)

Pada tanggal 22-24 Juni 2015 saya menjadi narasumber dalam kegiatan lokakarya Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS)  di SMAN I Ruteng.

Ada tiga refleksi penting dari kegiatan ini. Pertama, menyiapkan orang muda (peserta didik) menjadi pemimpin masa depan menjadi tugas berat ketika perubahan cenderung secara massal berpengaruh negatif.

Kedua, orang muda selalu mesti disadarkan secara kontinyu dan berkelanjutan tentang identitas dan entitas dirinya.

Dengan demikian, mereka memahami potensi-potensi dalam diri dan berupaya terlibat dalam berbagai kegiatan kurikuler maupun ekstrakurikuler untuk mengeksplorasi kemampuan-kemampuannya secara lebih optimal.

Kalau potensi ini diberdayakan, maka dengan kemampuan berpikir dan bertindak kritis, selektif dan rasional, mereka dapat mentransformasi perubahan pada hal-hal yang positif.

Ketiga, upaya memproyeksi, mempersiapkan dan memberdayakan orang muda menjadi pemimpin masa depan adalah tugas dan tanggung jawab semua guru, orang tua, masyarakat dan pemerintah.

Memanusiakan Manusia Muda

Driyakarya, filosof pendidikan Indonesia memaknai aktivitas pendidikan sebagai upaya ‘manusia memanusiakan manusia muda’. Berdasarkan pemaknaan ini, saya coba mengembangkan beberapa pemikiran.

Pertama, sebagai kegiatan manusia, pendidikan mesti dijalankan dalam kesadaran dan keterlibatannya sebagai manusia. Manusia-manusia yang terlibat adalah guru sebagai pembelajar dan peserta didik sebagai pebelajar.

Kegiatan ‘belajar’ yang melekat dalam diri keduanya mengartikan tentang hubungan multirelasional, multiinteraksional, timbal balik, take and give, dan menghargai satu dengan yang lain dengan melibatkan sumber/media dan lingkungan sosial budaya sebagai sumber belajar.

Dalam kerangka konstruktivisme, peserta didik belajar dari guru dan sebaliknya, guru bisa belajar dari peserta didik. Saling menghargai sebagai manusia antara keduanya menjadi substansi pendidikan sebagai aktivitas manusiawi.

Kedua, pendidikan sebagai kegiatan memanusiakan menekankan tentang proses yang berlangsung lama dan mendalam. Proses ini berhubungan dengan upaya membedakan/memilahkan manusia dari perilaku ‘kebinatangan’.

Manusia dilahirkan sebagai ‘binatang’ (animal), tetapi kelebihannya terletak pada akal budinya sehingga disebut sebagai animal rationale. Secara alamiah, tak dapat dipungkiri, perilaku dan tindakan awal manusia persis seperti binatang.

Dengan adanya kegiatan advokasi dan habituasi  dalam pendidikan, maka terjadilah proses hominisasi, yaitu proses membedakan (distingsi) manusia dari binatang. Tanpa proses ini, peluang untuk bisa memasuki proses yang lebih tinggi, tidak mungkin terjadi.

Proses berikutnya adalah humanisasi, yang berkaitan dengan upaya mengangkat hakekat manusia ke taraf yang lebih manusiawi. Berbagai upaya membuat manusia lebih manusiawi seperti mengikuti pendidikan formal, non formal, dan informal.

Pada fase humanisasi ini, manusia dapat membedakan baik/benar dan salah/tidak benar, memiliki pikiran/pengetahuan, perasaan/sikap, dan tindakan/keterampilan yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan diri, kebaikan dan kesejahteraan umum (common good).

Bila tingkat ini dijalankan secara baik dan benar, maka citra manusia mengalami transformasi menjadi ‘homo yang human’, manusia yang manusiawi.

Pikiran, perasaan dan tindakannya sudah bergerak dari hanya sekedar manusia (actus hominis) menuju tingkatan yang lebih tinggi, yakni manusiawi (actus humanus).

Ketiga, pendidikan berkaitan dengan manusia muda. Orang muda menjadi subyek utama dari aktivitas pendidikan. Sebagai subyek utama, mereka memiliki potensi dan kemampuan yang masih bisa dikembangkan dan dibentuk sesuai dengan sasaran dan tujuan pendidikan.

Orang muda menjadi andalan untuk menggantikan generasi tua yang pada fase-fase tertentu mengalami penurunan (antiklimaks) kemampuannya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab.

Menurut Socrates (470 SM-399 SM), tugas dan tanggung jawab utama dari generasi tua adalah  mendidik dan ‘mendialogkan’ dengan orang muda tentang masa depan serta menjelaskan cara-cara, metode, strategi dan pendekatan menjadi pemimpin baru yang kompeten dan profesional.

Orang muda perlu menerima masukan pikiran dari orang tua tentang profil pemimpin yang baik untuk diri, keluarga, masyarakat dan bangsa. Pendidikan menjadi aktivitas peralihan (regenerasi) yang dijalankan secara terus-menerus dan berkelanjutan.

Ketiga poin di atas bermuara pada tujuan pendidikan untuk membentuk profil karakter calon pemimpin yang memiliki pikiran, sikap dan keterampilan yang mumpuni.

Kemampuan-kemampuan ini kemudian diabdikan untuk membangun masyarakat bangsa, yang tidak melihat sesama sebagai lawan (homo homini lupus), tetapi melihat sesama sebagai sesama manusia (homo homini socius) dan melihat sesama sebagai gambaran Tuhan yang menciptakannya (homo homini Deus).

Pendidikan menjadi basis dan orientasi dalam memimpin kehidupan bermasyarakat dan bernegara secara lebih bermartabat dengan menjunjung tinggi rasa keadilan, kebaikan dan kebenaran umum.

SMAN 1 Ruteng dan Pendidikan Calon Pemimpin

SMAN 1 Ruteng dalam usia emasnya pasti sudah banyak menghasilkan profil lulusan yang bisa diandalkan sebagai pemimpin untuk diri, keluarga, masyarakat dan maupun bangsa.

Ini berarti lembaga tersebut sudah berkontribusi signifikan dalam membangun masyarakat Manggarai Raya khususnya dan bangsa Indonesia umumnya.

Sebagai sebuah institusi pendidikan yang sudah bertumbuh dan berkembang matang, sekolah ini masih memiliki tugas dan tanggung jawab yang lebih berat  pada masa-masa mendatang.

Tugas dan tanggung jawab ini berkaitan dengan tuntutan kurikulum berbasis kompetensi dan profesionalitas profil lulusan yang tinggi.

Upaya-upaya humanisasi demi menghasilkan calon pemimpin baru, harus terus mengemuka dengan memberdayakan dan melibatkan semua stakeholders pendidikan.

Penyusuan dan revisi kurikulum mesti berdasarkan pada refleksi dan evaluasi yang komprehensif dan holistik sesuai dengan permintaan perubahan.

Selain pembelajaran mesti menghasilkan efek instruksional, tetapi juga efek pendamping dengan mengelaborasi nilai-nilai dalam sintaksnya.

Tujuan dan capaian belajar (learning outcomes) harus memperhatikan kesetaraan antara pengetahuan, sikap dan keterampilan.

Selanjutnya, kegiatan pembelajaran mesti mengkaji keseimbangan antara kegiatan pemberian informasi (transfer of knowledge), pengalihan nilai (transfer of value) dan pembentukan keterampilan (skills formation) peserta didik.

Meskipun semua itu tidak bisa terakomodasi secara utuh dalam kegiatan pembelajaran, tetapi dengan memperbanyak kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler maka pembentukan karakter peserta didik sebagai calon pemimpin baru untuk diri, keluarga, masyarakat dan bangsa akan tercapai  secara optimal.

Ad Multos Annos, SMANSA! Be the best, always!

Penulis adalah Dosen Filsafat di STKIP/STIKes St. Paulus Ruteng, sekarang kuliah S3 di UPI Bandung