Floresa.co – Tahun 1950-an, ketika Seminari Pius XII Kisol (Sanpio) mulai dirintis oleh para misionaris Serikat Sabda Allah (SVD), ada harapan besar, sekolah itu akan menjadi tempat lahirnya para imam.

Kala itu, memang ada kebutuhan akan imam-imam pribumi untuk melayani karya pewartaan Injil di Vikariat Apostolik Ruteng.

Dua Vikariat Apostolik lain di Flores, pada tahun-tahun itu, sudah memiliki seminari masing-masing: di Vikariat Apostolik Ende ada Seminari Yohanes Berchmans Todabelu-Mataloko dan di Vikariat Apostolik Larantuka ada Seminari San Dominggo Hokeng.

Lantas, Mgr Wilhelm van Bekkum, Vikaris Apostolik Ruteng kala itu, dengan Pastor Leo Perik SVD serta para misionaris lain, membidani lahirnya Sanpio, yang mulai defenitif dengan aktivitas belajar mengajar, pada 8 September 1955.

Lembaga pendidikan yang terletak di Kelurahan Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba itu, dianggap akan jadi lahan persemaian calon-calon imam.

Perihal identitas sebagai lembaga pendidikan calon imam itu, juga sering diindoktrinasi oleh pendidik di seminari.

Setiap tahun, saat tes masuk yang diikuti ribuan lulusan SD di Manggarai dan dari daerah lain, selalu ada pertanyaan ini, “Mengapa Anda mau masuk seminari?”

Entah betul atau tidak, ada hal yang diakui sebagai kebenaran umum, bahwa bila menjawab “Ingin jadi imam,” maka itu akan menjadi nilai lebih untuk bisa lulus tes.

Ketika di seminari pun, pola pendidikan para siswa diarahkan untuk nanti memilih menjadi imam.

Belakangan, sekitar mulai tahun 2003, ada kebijakan misalnya, untuk siswa SMA, yang memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan ke seminari tinggi, diwajibkan untuk mundur saat hendak masuk kelas III. Mereka diminta menuntaskan SMA di sekolah lain.

Yang boleh masuk kelas III SMA, hanya yang sudah memastikan akan melanjutkan pilihan menjadi frater.

Kebijakan ini tampak sebagai penegasan terhadap misi awal itu, bahwa lulusan Sanpio – tentu saja juga untuk seminar-seminari lain – adalah para calon-calon imam.

Fakta Berbicara Lain

Kini, 60 tahun berlalu. Wajah Sanpio tentu sudah berubah, seiring banyaknya pembenahan di sana-sini. Namun, tentu saja, tak ada yang berubah dengan misi awal.

Sanpio sudah menjadi tempat belajar bagi lima ribu lebih siswa. Namun, hasilnya, memperlihatkan fakta yang tak berdamai dengan misi awal itu.

Romo Dionisius Osharjo, Rektor Seminari Kisol mengatakan, hingga angkatan 2009/2010, jumlah alumni sudah mencapai 4.615.

Dan jumlah lulusan yang menjadi imam, hanya sedikit, dan tiap angkatan, tidak pernah ada yang melebihi 10 persen sepanjang sejarah sekolah itu.

“Hanya sekitar 271 atau 7,81 persen yang ditahbiskan menjadi imam,” katannya kepada Floresa.co.

Pada angkatan pertama, misalnya, dari 30 orang siswa, hanya tiga (10 persen) yang kemudian  ditahbiskan menjadi imam yakni, Romo Mikael Wangku Pr, Pater Aleks Ganggu SVD dan Mgr Eduardus Sangsung SVD.

Tentu saja, jika kembali ke misi awal itu, dan fakta adanya indoktrinasi dari para pendamping, Sanpio bisa dikatakan gagal.

Gap antara 7,81 persen dengan  91,19 persen terlampau besar.

Romo Os, mengakui itu. “Fakta demikian memang mengecewakan, apalagi kalau dibandingkan dengan investasi yang besar sejak awal, hasilnya sangatlah jauh berbeda,” katanya.

Hal yang sama diakui Uskup Ruteng, Mgr Hubertus Leteng Pr. “Apa yang terjadi kini, memang tidak sesuai dengan harapan para misionaris dahulu,” katanya dalam wawancara dengan Floresa.co.

Menekuni Berbagai Jenis Profesi

Lulusan Sanpio yang tidak menjadi imam, kini menjalani sejumlah profesi, baik di dunia pemerintahan, profesional, hingga wiraswasta.

Mereka juga tersebar di banyak tempat, tidak hanya di seluruh Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia.

Memang belum ada data statistik yang memperlihatkan dengan jelas jenis profesi dan jumlah alumni yang menjalani masing-masing profesi itu.

Namun, bisa dikatakan bahwa, mayoritas saat ini, bekerja di dunia pendidikan, juga media, jadi pengacara, politisi, peneliti, aktivis, bekerja di dunia medis dan lain-lain.

Di dunia pemerintahan, untuk menyebut beberapa nama misalnya mantan Bupati Manggarai Gaspar Parang Ehok, Bupati Mabar Agustinus Ch Dula, dan lain-lain.

Di kalangan politisi di kanca nasional ada Benny Kabur Harman, Johnny G Plate, juga pengamat seperti Boni Hargens, Ansy Lema dan lain-lain.

Di dunia media, ada nama-nama tenar, seperti Rikard Bagun, mantan Pemimpin Redaksi Kompas yang sekarang menjadi CEO Kompas Gramedia. Juga Don Bosco Selamun, Pemred BeritaSatuTV, dan sejumlah nama lain yang kini bekerja di media dari media lokal, hingga internasional.

Di dunia hukum, terdapat nama-nama seperti Dion Pongkor, Gabriel Mahal, Edi Danggur, Gusti Dawarja.

Belum lagi dosen-dosen, yang kini tersebar di kampus-kampus ternama.

Mereka-mereka itu adalah alumni, yang tentu saja, saat masuk di Sanpio, sudah tahu bahwa itu adalah sekolah untuk calon imam.

Kenyataan ini, di satu pihak tidak sejalan dengan agenda awal para misionaris.

Lagi, lagi, apakah ini berarti Sanpio telah gagal? Jawaban untuk pertanyaan itu, tampak pas dengan kata “Tidak!”, mengingat mereka-mereka yang menjadi awam itu, juga kemudian tampil sebagai orang-orang yang berguna bagi tanah air – sebagaimana disinggung dalam Mars Sanpio, “pro ecclesia et patria.”

Pihak seminari, juga keuskupan Ruteng sebagai pemilik sekolah itu saat ini, juga berupaya realisstis dengan situasi ini.

“Fakta bahwa sebagian besar alumni tidak menjadi imam memang tidak bisa ditampik,” kata Romo Os.

“Ya, saya tidak melihat itu sebagai suatu soal. Entah banyak atau sedikit yang menjadi imam, yang penting output-nya berguna, awam-awam yang beguna, walaupun ini menyimpang dari misi awal,” tambah Mgr Huber.

Pergeseran Paradigma

“Apa yang memicu tak banyak yang menjadi imam?” tentu juga pertanyaan mendasar.

Uskup Bogor, Mgr Paskalis Bruno Syukur OFM, salah satu alumni, melihat bahwa salah satunya adalah orangtua yang menyekolahkan anak-anaknya di seminari, yang memang tidak sepenuhnya mengharapkan anak-anak mereka untuk jadi imam.

Menurutnya, motivasi orangtua dan anak tidak otomatis murni untuk menjadi imam.

“Orangtua bisa saja punya maksud dan pertimbangan lain menyekolahkan anak di seminari. Anak-anak juga punya pertimbangan berbeda.”

Lantas, menurut dia, meski pihak seminari juga Gereja lokal mengarahkan seminaris untuk menjadi imam, namun, orangtua mereka mengambil posisi berbeda.

Apa yang disampaikan Mgr Huber, tampak terwakili dengan pengakuan Ferdy Ampur, salah satu orangtua siswa.

“Menjadi imam hanyalah satu satu tujuan spesifik. Sementara yang lain adalah bisa berkarya melayani bangsa dan negara,” kata Ferdy, yang juga alumni angkatan 1986.

Ia menambahkam, “untuk panggilan menjadi imam, itu urusan Tuhan dan mereka (para seminaris).”

“Kami hanya mendorong mereka agar mampu menjawab tantangan zaman.”

Pendapat lain – khususnya dari segi pendidikan – disampaikan oleh Lorens Santos, salah satu alumni yang kini menjadi dosen di Jakarta.

Pemicunya, kata dia, karena seleksi di seminari yang sangat ketat. Tradisi bahwa yang masuk SMP bisa mencapai ratusan orang dan yang kemudian tamat SMA hanya puluhan orang, bagi dia menjadi salah satu pemicu minimnya yang kemudian menjadi imam.

“Saya berpikir begini, kalau misalnya, yang diperbolehkan untuk menyelesaikan pendidikan di Sanpio itu lebih banyak, maka tentu yang masuk seminari tinggi juga banyak,” katanya.

Ia berpikir linear, bahwa semakin banyak yang tamat, maka semakin banyak yang kemudian bisa menjadi imam.

“Selama ini, seminari sering terlalu mudah mengeluarkan siswa. Padahal, bisa jadi siswa yang dikeluarkan itu mau menjadi imam, namun kemudian kandas, karena dikeluarkan,” katanya.

Pola pendidikan di seminari, menurut dia, perlu pembenahan. “Ini mungkin bisa jadi catatan juga,” katanya.

“Saya sendiri cenderung melihat seminari gagal, jika kemudian yang masuk awal banyak, tetapi yang kemudian lolos  hanya sedikit, apalagi yang menjadi imam,” katanya.

Ada fakta yang sulit ditampik, kata Lorens, bahwa, jika melihat fakta setelah 60 tahun, yang dikeluarkan dari seminari pun merupakan orang berkualitas di masa depannya.

“Bahkan, yang keluar dari seminari Kisol bisa menjadi imam,” katanya.

Jadi Alumni yang Baik

Di tengah ada dilema dan kontradiksi seperti itu, anggapan bahwa fakta berkurangnya imam bukan sesuatu yang layak diratapi, juga besar, mengingat kiprah alumni yang membanggakan.

Edi Danggur, alumni yang kini jadi pengacara di Jakarta mengatakan, dari segi persentase, tentu saja 7,81 persen itu kecil jika dibanding 92,19 persen yang jadi awam.

Namun, menurut dia, jika kita mempunyai pemahaman yang sama bahwa tujuan kita diciptakan adalah untuk memuji, menghormati dan mengabdi Tuhan, maka Tuhan tentu tidak merasa lebih dihormati dan diabdi oleh imam, tetapi juga oleh kaum awam.

“Maka apapun jabatan atau profesi kita, semua itu hanya sebagai sarana untuk memuji, menghormati dan mengabdi Tuhan pencipta kita. Sehingga jabatan imam dan profesi-profesi di dunia profan itu sama pentingnya di mata Tuhan,” katanya.

Kata dia, tidak kontekstual lagi untuk berpikir dikotomis bahwa karya seorang imam adalah untuk menyelamatkan jiwa-jiwa umatnya agar kelak bisa masuk surga sedangkan karya awam untuk keselamatan dan kemakmuran duniawi.

“Surga dan dunia itu sama penting, sama seperti ada penggalan dalam Doa Syukur Agung, ‘Tangan Nya terentang antara langit dan bumi’”.

Dalam konteks itulah, kata dia, maka Seminari Kisol tidak boleh berkecil hati karena hanya sedikit siswa yang melamar ke Seminari Tinggi dan hanya sedikit pula yang kemudian menjadi imam.

“Kalaupun lebih banyak yang tidak ke Seminari Tinggi, Seminari Kisol tetap harus punya kebanggaan karena berhasil mencetak kader awam yang tangguh yang berkarya di berbagai bidang kehidupan,” katanya.

“Tugas imam dan awam itu sama pentingnya yaitu membangun peradaban dunia yang lebih baik,” tambah Edi

Imam Tetap Dibutuhkan

Apa yang dikatakan Edi Danggur tentu saja baik, juga MgHuber dan Romo Os mengamini hal itu.

Namun, di hati kecil gembala-gembala itu, kerinduan agar lebih banyak imam dari Sanpio, juga masih besar.

Kata Mgr Hubert, di Keuskupan Ruteng saat ini, ada sekitar 200 imam, di mana 170-an imam projo.

Menurut dia, beberapa tahun terakhir, tahbisan kian berkurang. Untuk imam projo misalnya, kalau dulu ada 5-8 orang per tahun, sekarang sudah menurun.

“Paling, sekitar 3-4 orang saja,” katanya sambil menambahkan, itu memang tidak termasuk dari tarekat religius tertentu, seperti SVD, OFM dan SMM.

Jumlah ini, menurut Mgr Huber, tidak sebanding dengan pertumbuhan umat yang jauh lebih pesat.

“Kita tentu masih butuh banyak imam,” katanya.

Namun, lagi-lagi, itu tampak benar-benar sebatas harapan.

Romo Os mengakui, “Pilihan menjadi imam merupakan pilihan bebas masing-masing orang.”

“Kami hanya berupaya sebisa mungkin fokus pada pembinaan saja agar bisa menghasilan manusia yang baik,” ungkapnya. (Ari D/Gregorius/ARL/Floresa)