Di Seminari Yohanes Paulus II, Labuan Bajo, Aktivis HAM Menangis

3132
Pastor John Djonga Pr

Floresa.co – Di Wamena, Pegunungan Tengah, Papua pada 1991. Dalam sebuah perjalanan mengunjungi komunitas-komunitas, tiba-tiba saja empat orang menghadangnya. Keempatnya membawa parang, panah dan senjata. Ia menuruti saja ketika dipaksa masuk ke hutan. Namun setelah dua jam perjalanan, ia mulai bicara. “Nit koma lan (Kita mau kemana)?”

Karena ia bisa bicara dalam bahasa setempat, mereka terheran-heran.

“Kamu tahu bahasa saya?” tanya salah seorang.

Ia tak segan-segan menjawab, “Iya. Saya pastor di Wamena.”

Kontan saja mereka berhenti, memeluk dia. Mereka berdoa di tengah hutan. Ia membawakan khotbah singkat. Keempat anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) itu pun menangis.

Itulah salah satu kisah Pastor John Jonga Pr, imam asal Manggarai yang bertugas di Tanah Papua dalam acara “Malam Apresiasi dan Refleksi HAM” di Seminari Yohanes Paulus II, Labuan Bajo, Manggarai Barat (Mabar), Kamis malam lalu (3/9/2015).

John Jonga sudah lama dikenal sebagai seorang pejuang kemanusiaan di Tanah Papua. Ia terlibat dalam pelbagai kegiatan sosial kemanusiaan dan pemberdayaan masyarakat lokal. Karena perjuangannya itu, pada tahun 2009, ia mendapat Yap Thiam Hien Award, salah satu penghargaan bergensi di tingkat nasional untuk orang-orang yang berdedikasi pada persoalan-persoalan HAM.

John mengatakan, ia jatuh cinta pada Tanah Papua. Namun, untuk sampai tanah Papua, hidup pria kelahiran 4 November 1958, penuh lika-liku. Sejak kecil ia ingin masuk seminari. Ketika tes masuk seminari Kisol, ia gagal. Setelahnya, ia masuk Seminari San Dominggo Hokeng, Flores Timur. Akan tetapi, di Ritapiret, Maumere-Sikka, cita-citanya kandas. Ia disuruh mengundurkan diri karena alasan kesehatan.

Rupanya John tak mau banting stir seratus delapan puluh derajat. Keluar dari Ritapiret, ia ingin menjadi seorang katekis. Kuliahlah ia di STKIP Ruteng. Lalu pada 15 Juli 1986, ia diutus menjadi seorang katekis di Tanah Papua.

Selama 15 tahun ia menjadi seorang katekis. Ia berpindah-pindah dari kampung ke kampung. Ia semakin kenal dengan banyak orang di Wamena.

Kemudian, karena didorong oleh fakta sulitnya mendapat pelayanan dari imam untuk umat Papua, ia memutuskan masuk seminari tinggi lagi pada 1999. Pada 14 Oktober 2001, ia ditahbiskan menjadi imam.

Kini sebagai imam, ia dikenal sangat getol memperjuangkan hak-hak masyarakat Papua. Menurutnya, tak sebanding dengan kekayaan alamnya, masyarakat Papua justru tinggal situasi ketidakadilan.

“Dalam banyak hal masyarakat Papua merasakan ketidakadilan. Semua aspek hidup mereka dirampas dan ditindas. Bahkan mereka menjadi korban pembunuhan” katanya.

Tergerak oleh keadaan itu, ia merasa terpanggil turut merasakan penderitaan orang Papua. Lama tinggal di Keerom, wilayah perbatasan antara Indonesia dan Papua Nugini, ia menyaksikan dan merasakan sendiri terror militer, pembunuhan, penangkapan paksa, intimidasi dan kekerasan terhadap wanita.

“Saya bukan mau menjadi pahlawan, tetapi hanya untuk mengambil sedikit bagian dari penderitaan mereka”

Pilihan sikap itu tak ayal mengundang bahaya. Suatu kali, pada tahun 2007, ia melaporkan kekejian militer kepada gubernur, Celsius Watae. Namun ia kemudian diancam dibunuh oleh komandan pasukan Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Di sebuah media lokal, tentara itu terang-terangan mengatakan, ingin mengali kubur sedalam 700 meter untuknya.

“Tidak tahu dia gali pakai apa sedalam itu” katanya berceloteh di depan dua ratusan siswa seminari Labuan Bajo dan puluhan para pemuda dari komunitas seni di Labuan Bajo.

Juga gerak-geriknya seringkali diawasi. Ia dekat dengan masyarakat. Sering makan dan minum bersama mereka. Dan ia masuk dan keluar kampung. Karena itu, ia dicurigai sebagai bagian dari Organisasi Papua Merdeka.

“Kalau mereka mau merdeka memangnya kenapa? Mereka punya hak asasi menentukan masa depannya.”

Meskipun ia mengaku sering diintimidasi karena keterlibatannya sebagai guru agama, pastor dan aktivis, ia tak lekas mundur. Ia sangat bahagia melakukannya karena menurutnya itulah jalan panggilan yang diemban oleh Yesus sendiri.

“Hidup itu perlu berjuang untuk menyelamatkan yang lain. Dan itu berdasarkan pada iman saya kepada Tuhan Yesus” katanya.

Dalam acara di seminari malan itu, bukan hanya John yang hadir membagi pengalaman. Ada juga aktivis HAM lain, yakni Mama Yusan Yeblo dari Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Mama Erna Mahuse, salah satu aktivis perempuan Papua.

Apa yang Kau Dapat?

Sebagai sesama pejuang nilai-nilai kemanusiaan, kisah mama Yusan Yeblo tak jauh berbeda dari Pastor John. Pasang surut pergulatan menandai awal perjuangannya.

Pada tahun 1972, kala itu, mama Yusan baru saja tamat dari Sekolah Menengah Kejuruan dan Keterampilan (SMKK) Jayapura.

Sepuluh tahun bekerja di keuskupan, ia mengajar bagaimana cara menjahit kepada para perempuan.

Untuk tugas itu, ia harus berjalan dari kampung ke kampung.

Di situlah ia menemukan kenyataan miris. Banyak anak perempuan yang tidak sekolah.

“Kenapa anak-anak perempuan itu tidak disekolahkan?” tanya perempuan kelahiran Biak tahun 1951 ini.

Itulah cikal-bakal yang menggerakkan hatinya. Jawabannya akhirnya ia paham. Rupanya adat sangat mengekang. Nasib anak perempuan sangat tergantung kepada pamannya.

“Padahal ibu yang mengandung, tetapi om yang mengatur masa depan mereka” katanya berkisah.

Karena adat, kisah miris sering mendera kaum wanita. Begitu banyak wanita Papua, meskipun belum cukup umur, dipaksa kawin. Hingga suatu saat, ia berjumpa dengan seorang wanita bernama Clara.

Clara adalah anak seorang polisi. Akan tetapi nasib Clara tak jauh bedanya dengan gadis-gadis Papua yang lain. Untunglah Clara lebih berani. Ia lari dan meninggalkan rumah. Terkesan dengan keberanian Clara, Mama Yusan mulai berkecimpung untuk membela hak-hak kaum perempuan. Dan, Clara adalah permulaannya. Kini Mama Yusan terlibat dalam berbagai gerakan sosial di Tanah Papua.

Akan tetapi, pilihan sikap itu bukan tanpa diikuti pertimbangan-pertimbangan dilematis. Pernah suatu kali, ia sudah lulus tes Pegawai Negeri Sipil (PNS). Akan ketika mengikuti kegiatan pra-jabatan, ada hal yang selalu menganggunya. Selama seminggu, hatinya tak tenang.

“Waktu itu muncul dalam pikiran saya, apa yang kau dapat nanti?” katanya. Setelah berkonsultasi dengan orang tuanya, akhirnya dia urungkan niatn menjadi PNS.

Sejak itu, ia terlibat dalam berbagai kegiatan advokasi sosial antara lain membentuk kelompok kerja wanita, terlibat menjadi anggota Majelis Rakyat Papua dan terlibat aktif dalam advokasi pelanggaran HAM di Freeport.

“Melalui berbagai aktivitas itu, sekarang saya menjadi mama bagi banyak orang,” tuturnya dalam balutan senyum lebar.

Menangis Haru

Panggilan menjadi seorang aktivis kemanusiaan, dialami juga oleh Mama Erna Mahuse. Puluhan tahun menjadi pegawai negeri sipil, Mama Erna, akhirnya tak bisa membendung keinginannya.

“Hati saya tak bisa dibatasi dalam hanya dalam ruang kelas saja,” katanya. Kala itu, ia menjadi guru di salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA).

Ia lebih tergerak karena melihat nasib kaum perempuan di Papua tak begitu diperhatikan. Kaum perempuan rentan terhadap segala bentuk penindasan. Padahal di matanya, perempuan memegang peran tak kalah pentingnya dalam peradaban manusia.

“Dalam diri setiap perempuan, selalu terkandung satu generasi. Perempuan punya rahim. Ia perlu diperhatikan agar ia bisa menyiapkan generasi berikutnya dengan baik,” jelasnya.

Untuk alasan itu, ia akhirnya mengundurkan diri dari PNS. Ia terlibat dalam pelbagai aktivitas untuk mengangkat derajat kaum perempuan agar mereka bisa menikmati hak-hak dasar seperti pendidikan, kesehatan dan lain sebagainya.

Namun keinginan itu tidak lahir dari ruang kosong.

“Slama kuliah, waktu liburan saya pakai untuk berkunjung dari kampung ke kampung,” jelasnya.

Selama itu pula, terpupuk dalam batinnya tekad untuk membela hak-hak masyarakat Papua dan hak kaum perempuan pada khususnya.

Ia mulai bergerak di level akar rumput, dengan hidup bersama para petani dari kampung ke kampung.

Lebih dari itu, ia kemudian terlibat dalam level kebijakan.

“Saya mulai menghubungkan masyarakat di kampung dengan para pejabat,” tuturnya.

Langkah itu semakin tidak mudah. Ia kerapkali mendapat ancaman dan kecaman.

Yang paling mengerikan, ketika ia mengunjungi Freeport. Hotel di tempat mereka menginap, ditembak oleh orang yang tak dikenal.

Menceritakan ulang kisah-kisah itu, nada bicara mama Erna kian berat. Matanya berubah sembab. Namun ia tak bisa lagi menahan haru ketika menceritakan pengalamannya suatu ketika.

Ia tak punya uang sama sekali untuk menghadiri sebuah pertemuan. Untuk pergi saja, ia membutuhkan dua juta. Ternyata, seseorang datang menolong. Ketika pulang, ia tak punya uang sama sekali.

“Tanpa sepengetahuan saya, teman-teman yang dipertemuan memberikan saya uang untuk ongkos pulang,” ujarnya.

Saat bercerita, ia meneteskan air mata.

Dalam acara tersebut, kelompok muda di Labuan Bajo dan para seminaris membawakan sejumlah lagu.

Kegiatan tersebut diselenggarakan berkat kerja sama antara seminari dan dan Rumah Baku Peduli di Watu Langkas, Nggorang, Labuan Bajo.

Di akhir kegiatan, Cypri Jehan Paju Dale sebagai moderator selama acara mengatakan, keadaan Papua tak berbeda jauh dengan keadaan di Flores.

“Pencaplokan sumber daya dan perampasan hak-hak asasi juga terjadi di sini. Lalu apa yang bisa kita lakukan?” ujarnya. (Gregorius/ARL/Floresa)