Inikah Penyebab Provinsi Flores Gagal Terbentuk Tahun 1956?

Frans Sales Lega (kanan, belakang) dan Pater Willem Wiebring s.v.d, di Mataloko, Flores, tahun 1938. Foto: KITLV.
Frans Sales Lega (kanan, belakang) dan Pater Willem Wiebring s.v.d, di Mataloko, Flores, tahun 1938.
Foto: KITLV/Histotia.id

Floresa.co – Gagasan pembentukan provinsi Flores masih terus bergema hingga kini. Namun, belum juga terwujud.

Menilik sejarah, rencana pembentukan provinsi Flores ternyata sudah ada pasca pemilu pertama Indonesia tahun 1955. Saat itu, Flores masih menjadi bagian dari provinsi Sunda Kecil, yang meliputi Bali, NTB dan NTT saat ini.

Mengutip situs Historia.id, provinsi Flores sudah menjadi agenda politik sejak 1956 yaitu saat konfrensi Partai Katolik di Nele Sikka pada 1956.

Gagasan pembentukan provinsi Flores itu dilatarbelekangi kemenangan Partai Katiolik di pulau Flores pada pemulu 1955.

“Namun, delegasi komisariat Partai Katolik Timor yang dipimpin Frans Sales Lega menentang gagasan itu, dengan melontarkan pertanyaan: mengapa Flores tidak bergabung dengan Timor dan Sumba?”demikian ditulis Historia.id.

Gagasan pembentukan Provinsi Flores pun gagal. Masih menurut situs Historia.id, pada konferensi Partai Katolik di Ende tahun 1957, Lega mengusulkan satu provinsi untuk seluruh bekas Karesidenan Timor yang meliputi Timor, Flores, Sumba, dan pulau-pulau sekitarnya. Usul ini disetujui. Karesidenan Timor sendiri bagian dari Provinsi Sunda Kecil.

Mengutip Ben Mbo dalam “Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja”, Historia.id menyebutkan nama Sunda Kecil kemudian diubah menjadi Nusa Tenggara oleh Menteri Moh. Yamin. “Mungkin untuk tidak menciptakan inferiority complex warganya,” kata Ben Mboi.

Lebih lanjut, situs sejarah tersebut, menuliskan kiprah Lega selanjutnya dalam pebentukan provisi baru yang kelak bernama Nusa Tenggara Timur.

Disebutkan Lega mendekati Kepala Daerah Timor, Stephanus Ndoen dan Dewan Perwakilan Rakyat Timor untuk memimpin perjuangan pembentukan provinsi baru.

Di Kupang dibentuk delegasi untuk menemui Menteri Dalam Negeri Sanusi Hardjadinata. Delegasi terdiri atas Tobing sebagai ketua, dengan anggota Lega sebagai juru bicara, N.D. Dillak, dan Piet Parera-Fernandez.

“Saya ingat betul waktu, pada 1957 saya mengunjungi Pak Lega (dan rombongan) di Hotel Des Indes, Jalan Majapahit Jakarta,” kata Ben Mboi. “Sebagian besar rombongan belum pernah ke Jakarta. Mereka ketakutan menyeberang Jl. Majapahit karena padatnya lalu lintas plus trem.” (Baca: Sepenggal Perjalanan Sejarah Trem di Surabaya)

Kepada Ben Mboi, Lega menceritakan pertemuannya dengan Mendagri Sanusi. “Berapa sarjana kamu punya untuk bikin provinsi?” tanya Sanusi kepada Lega.

“Justru supaya kami bikin sarjana, kami mau bentuk provinsi,” jawab Lega yang balik bertanya, “Berapa sarjana di Indonesia ketika Proklamasi 17 Agustus 1945?” Sanusi tidak menjawab.

Upaya lain ditempuh oleh Stephanus Ndoen dengan melakukan diplomasi olahraga. Timor mengirimkan kontingen yang terpisah dari kontingen Nusa Tenggara ke Pekan Olahraga Nasional IV tahun 1957 di Makassar. Lega memimpin kontingen Timor itu.

Menurut Ben Mboi, nama-nama seperti Nani Manoe, Rudy Leiwakabessy, J.N. Manafe, kelompok pemanah dari Alor, atlet-atlet sepakbola (yang kebanjiran gol), dan atlet sepeda yang kesasar di Kota Makassar, adalah pelaku-pelaku sejarah yang berjuang agar Nusa Tenggara Timur mendapatkan pengakuan dan dapat mengatur rumah tangganya sendiri. “Merekalah ratusan pahlawan tak bernama yang memikul pasir dan batu bata awal bangunan yang bernama Nusa Tenggara Timur sekarang ini,” kata Mboi.

Mendagri Sanusi kemudian datang ke Kupang untuk menyaksikan sendiri semangat kehidupan Timor, Flores, dan Sumba, untuk membentuk provinsi sendiri. Akhirnya, Provinsi Nusa Tenggara dipecah menjadi tiga provinsi: Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Pengesahannya berdasarkan UU No. 64 tahun 1958 tanggal 14 Agustus 1958.

Menurut Mboi yang menjadi Gubernur NTT ketiga (1978-1983), pembagiannya sangat berat beban ideologis. Bali, mayoritas beragama Hindu dan dikuasai Partai Nasional Indonesia; mayoritas penduduk NTB beragama Islam dengan kekuatan politik partai Islam (Masyumi dan Nahdlatul Ulama); dan NTT penduduknya 90 persen Kristen (55 persen Katolik, 35 persen Protestan) secara politis berbasis Partai Katolik dan Parkindo (Partai Kristen Indonesia).

Kendati lahir bersamaan, namun peresmian ketiga provinsi itu berbeda-beda: Bali (14 Agustus 1958), NTB (17 Desember 1958), dan NTT (20 Desember 1958). Gubernur pertama NTT dijabat Lalamentik, sedangkan Lega menjabat bupati Manggarai (1968-1978). (Historia.id/Petrus D/PTD/Floresa)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini