Cerita Lain Festival Pede: Tak Ada Izin, Polisi yang Bingung dan Pemda yang Gamang

IMG_1283(1)
Upacara bendera yang berlangsung di Pantai Pede pada 17 Agustus 2015, bagian dari rangkaian festival.

 

Floresa.co – Sabtu, pukul 15.00 Wita pada 15 Agustus 2015. Bendera merah putih sudah berkibar di Pantai Pede, Labuan Bajo, Manggarai Barat (Mabar).

Namun, suasana di lokasi penyelenggaran Festival Pede itu masih hiruk pikuk. Panggung utama belum rampung. Delapan stan yang mengelilingi pusat alun-alun Pantai Pede masih perlu dilengkapi.

Tiba-tiba beberapa motor datang beriringan. Ada yang aneh. Mereka adalah polisi, polisi pamong praja dan pejabat dari kantor Kecamatan Komodo.

Edward Angimoy dan Icha Tulis, penanggung jawab acara tampak tegang, seolah tahu apa yang akan terjadi.  Di dekat panggung utama, mereka menyambut tamu, lalu duduk.

“Ada perintah dari Kapolres untuk menghentikan acara ini,” kata Stefanus, Sekretaris Kecamatan Komodo. Nada bicaranya tegas.

Sebelum dijawab, ia menerangkan lagi, “Acara ini belum ada izin keramaian.”

Nasib Festival Pede pun di ujung tanduk. Surat izin keramaian memang belum dikeluarkan.

Tapi menurut Icha dan Edward, itu bukan karena izinnya belum diurus.

Hari sebelumnya, rekomendasi dari Kepala Desa Gorong Talo,  Alladin Nazar sudah dibuat. Rekomendasi itu dibawa ke polisi, namun polisi meminta surat dari camat.

Icha lantas menghubungi Camat Komodo, Abdullah Nur pada Jumat, 14 Agustus. Camat mengiyakan.

Tapi, karena ada perjalanan dinas ke Bali, Abdullah berjanji untuk mengeluarkan surat esok hari dan memberi perintah kepada pegawai lain di kantor camat. Namun, ternyata ia lupa. Ketika  dihubungi hari itu, nomornya belum aktif.

“Kami datang ke sini, karena ada banyak laporan masuk,” kata salah seorang intel dari Polres Mabar. Katanya lagi, “Polisi memang harus selalu patut curiga apalagi dalam konteks menjelang Pilkada.”

Akan tetapi, Stefanus kemudian menandaskan,“Sebelum mengeksekusi perintah tersebut, kami sudah sepakat dengan kepolisian untuk mengecek terlebih dahulu di lapangan. “

Sore itu, Kades Alladin pun dipanggil. Berjanggut panjang dan mengenakan topi, ia berjalan terburu-buru. Ia dimintai pertanggungjawaban: mengapa memberikan rekomendasi.

“Saya melihat kegiatan ini sangat positif. Tugas saya adalah memberikan rekomendasi,” katanya.

Kini giliran Stefanus yang bingung. Untunglah, setelah ada percakapan, ia pun berkesimpulan sama. Kegiatan Festival Pede adalah positif, begitu kira-kira kesimpulan yang ia dapat.

Tetapi urusan surat izin keramaian terhitung rumit. Menurutnya, karena situasi mendesak dan sebentar lagi acara dimulai, segalanya harus dipercepat. Surat izin keramaian harus segera keluar, hanya dengan cara komunikasi lisan antara pemangku kebijakan.

Di depan semua orang yang berkerumun, ia menelepon Wakil Bupati Mabar, Maximus Gasa. Suaranya kencang untuk meminta petunjuk.

Menurut penuturannya, Wakil Bupati akan menelepon Kapolres Mabar, agar jalan terbaik sebisa mungkin diambil.

Namun, menanti konfirmasi sangatlah lama.

Tidak lama kemudian, Stefanus menghubungi Sekertaris Daerah, Rofinus Mbon. Sejenak kemudian, ia tersenyum sumringah. Menurut dia, Rofinus mengatakan,“Melihat persiapan di lapangan yang sudah rampung, tidak mungkin acara dibubarkan. Izin keramaian dikeluarkan dalam kategori insidentia. Apalagi acaranya bersifat temporer.”

Tadinya wajah para pemuda di lapangan sudah tegang, kini tampak cair. Jalan menuju festival makin terang.

Namun, ternyata itu tak berlangsung lama, karena tiba-tiba intel dari Polres angkat bicara.

Katanya, “Izin belum bisa dikeluarkan. Masih harus dapat izin pemakaian tempat.”

Menurutnya, untuk keluarkan surat izin keramaian, mereka bukan hanya mempertimbangkan rekomendasi dari desa dan camat.

Para pemuda pun tampak bingung. Suasana jadi tegang.

“Kan katanya hanya perlu rekomendasi dari kantor camat?” tanya para pemuda. Perdebatan terjadi.  Jalan kemudian buntu.

Tidak lama kemudian, Camat Abdullah menelpon. Sekcam dengan cekatan mengangkatnya. Semua orang hening, penasaran dengan jawabannya. Begitu usai telepon, Sekcam menghela berat. Raut mukanya tiba-tiba serius.

“Kami tidak bisa keluarkan surat izin. Ternyata tanah ini sudah beralih ke pihak ketiga. Dengan demikian kami tidak punya wewenang lagi,” katanya.

Semua langsung paham. Pantai Pede sebagaimana diberitakan selama ini sudah beralih kepemilikkan kepada pihak ketiga, PT. Sarana Investama Manggabar. Surat izin pemakaian tempat harus didapat dari  pemilik tanah.

“Kalau mau dapat izin pemakaian, kamu harus ke pihak ketiga, namanya Marsel Mansen,” katanya.

Kontan semua orang bingung, tak banyak yang tahu siapa Marsel Mansen.

Lalu ada yang mengatakan bahwa Marsel Mansen tinggal di Labuan Bajo. Akan tetapi, salah seorang pemuda kontan marah.

“Kalian suruh kami ke pihak ketiga. Siapa pihak pertama? Ema pemerintah kan? Ole, masa kalian tega suruh kami yang menghadap pihak ketiga, bukankah kalian yang pihak pertama.”

Semua terdiam. Polisi dan Sekcam tak menyahut. Sambil menunjuk bendera, pemuda itu berkata lagi, “Kami tidak mau turunkan itu bendera dari sini. Kalau kamu mau turunkan, silakan. Tapi kamu harus siap kalau anak muda di sini marah karena itu.”

Lagi-lagi diskusi berjalan alot. Untunglah tiba-tiba gerimis. Rehat sejenak. Gara-gara urusan surat izin, rencana pembukaan acara yang seharusnya pukul empat sore akhirnya ditunda.

Sampai dengan pukul enam sore, belum ada titik terang.

Tidak lama kemudian, ada kabar dari Maxi Gasa. Namun, ia pun tak bisa memberikan solusi atau jaminan. Kepada salah seorang jurnalis, ia mengirimkan pesan singkat,“Mat sore adik, kk sudah kordinasi dengan pak Wakapolres dengan pertimbangan dari aspek keamanan makanya tidak diijinkan. Tks”

Tetapi sebagai jalan keluar, ia menyuruh pemuda pergi menghadap Wakapolres Mabar berhubung Kapolres tidak berada di tempat.

Atas permintaan tersebut, Wakalpores dihubungi. Sayangnya, ia  tidak bersedia hari itu. Katanya, esok pagi.

Dan intel kepolisian pun menyarankan untuk men-copy semua rekening kiriman pendanaan festival. Pihak pemuda pun bersedia lantaran sudah ada rekening khusus untuk festival.

Tetapi masalahnya, pembukaan acara tidak mungkin menunggu pertemuan tersebut.

Beberapa anak muda memikirkan langkah lain. Menurut mereka, lahan dari garis pasang sampai 100 meter ke daratan adalah ruang publik, tidak boleh diprivatisasi.

Oleh karena itu, tidak membutuhkan waktu yang lama, mereka mengambil meteran. Di bawah hujan gerimis, beberapa orang mulai mengukur dari pantai. Ternyata, semua wilayah stan berada dalam dalam garis tersebut. Polisi yang hadir bertambah bingung.

Festival tanpa izin akhirnya berjalan. Festival dimulai sekitar pukul delapan malam. Di malam pertama, beberapa mobil polisi datang. Ada sekitar puluhan polisi yang mengenakan seragam, belum terhitung intel dan tentara yang mengenakan pakaian biasa.

Hari kedua, festival tetap berlangsung tanpa izin. Janji bertemu Wakapolres yang sedianya berlangsung di pagi hari dibatalkan.

Menurut informasi, Wakapolres sibuk mempersiapkan perayaan 17 Agustus, apalagi hari itu, hari Minggu.

Pada Minggu malam, polisi juga datang mengamankan. Dalam jadwal, acara seharusnya selesai pada pukul 09.00 malam.

Namun, begitu banyak penonton yang menempati hampir semua sisi Pantai Pede dan masih terus berdatangan. Acara terus berlangsung melewati pukul 21.00 Wita.

Beberapa orang di salah satu stan sudah  mulai cemas. Salah seorang memperlihatkan SMSdari polisi.

“Sy cuma mengingatkan jam kegiatan sdh lewat jam 9. Saya sekarang di pantai Pede dan jam sudah lewat 15 menit sesuai dg permohonan yang disampaikan ke Polres,” begitu isi SMS tersebut.

Acara pun akhirnya berakhir. Malam itu, banyak yang datang ketika acara sudah selesai.

Pada malam puncak, kecemasan berlanjut. Bagi kalangan pemuda, acara puncak hanya sampai 21.00 Wita malam rasanya tak elok dan seru.

Namun, tiba-tiba Master of Ceremony (MC) berteriak dengan girangnya,”Terima kasih kepada Pak Polisi yang sudah memberikan tambahan waktu selama satu jam”. Kontan semua orang bersorak.

Entah ada apa, tiba-tiba polisi membiarkan kegembiraan itu tidak segera berlalu, berhubung tak ada permintaan agar ada tambahan waktu.

Acara Festival Pede akhirnya berjalan aman sampai selesai. Meski tanpa surat izin, polisi mengontrol ketat dan mendampingi sampai akhir.

Dan, para pemuda yang memadati pantai itu, larut dalam rasa puas.

Akankah rasa yang sama bakal tetap bertahan, mengingat kabar tentang privatisasi juga masih saja mengingang.

Yang jelas, para pemuda akan selalu berdiri di sana. Mereka akan menjadi pengingat, bahwa yang kita butuh, bukan sekedar uang, tapi juga ruang, yang terbuka untuk semua, untuk publik. (Gregorius Afioma/ARL/Floresa)

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini