[Cerpen] Arang dalam Mata Garuda

Oleh: YOVAN ABDULLAH

Orang bilang dia gagak.

Ia malam berkabut. Kelam. Dan orang sekampung memanggilnya Ngkula. Hitam. Ia sebenarnya punya nama: Viktorius, dipanggil Viktor, itu saja, tanpa embel-embel nama ayah pun nama marga, sebab tak seorang lelaki pun mengakuinya sebagai anak, atau sebatas menjadikannya anggota marga, sebab ia haram. Ia aib. Ia kenistaan. Ibunya meninggal ketika ia masih menetek, ketika gerak mungilnya belum beraturan, terbatas pada refleks: mengisap, mencari, moro, dan menggenggam. Kala ia butuhkan tangan yang menuntun, lengan yang memeluk.

Baginya hidup adalah sebuah ritual kegelisahan. Ia adalah kegoyahan, jiwa kesasar yang mencari kepastian. Tak ada wasiat, pun kalau ada toh ia belum sepenuhnya mengerti. Ia kepolosan. Embun pada pucuk-pucuk akasia. Satu-satunya hal yang dibisikkan sang ibu adalah sebuah rahasia. Kau adalah garuda, sebab ayahmu adalah pembela garuda.

Rahasia itu mendesis tiga kali. Kesempurnaan. Pada kuping kiri, kanan dan pada ubun-ubun rapuhnya. Dan ketika sang ibu berbisik di ubun-ubunnya, dirasakannya cakaran lembut pada kulit kepalanya. Cakar garuda. Ia meringis, lalu tersenyum garang. Roh sang ibu membakarnya. Ia adalah  garuda.  Ia sungguh yakin. Pun kini, ketika orang bilang ia gagak.

“Viktor, apa yang kau gambar?” tanya nenek Lena, wanita tua yang telah membesarkannya.

“Garuda….” Itu saja. Datar. Terus seperti itu.

Usianya sudah 17 tahun, namun pikirannya masih asing untuk mengenal bacaan dan tulisan. Tinta dan kertas adalah kepalsuan. Omong kosong. Penghinaan dan keterbelengguan. Kecerdasannya sebatas arang dapur. Hitam. Ekspresi jiwanya yang kelam. Ia terobsesi pada gambar. Ia menggambar dan terus menggambar, menggambar sampai entah. Dan satu-satunya hal yang bisa digambarnya ialah burung garuda, dengan mata yang selalu menatap ke kiri. Ke kiri?

Ia menggambar garuda, terus-menerus, hingga jumlah tak terukur angka. Ia menggambar pada segala. Pada lidi kecil, garudanya juga kecil-kecil, sendiri-sendiri dan dibakar sunyi. Ia menggambar pada biji asam, garuda dengan paruh goyah, mata melarat. Ia menggambar pada batu, pada daun kering yang beterbangan, pada dinding, pada atap, pada pohon, pada tiang bendera, pada segala. Selalu garuda, selalu ke kiri, selalu dengan arang. Orang-orang sekampung  menawarkan pena dan kertas, namun tangannya gemetar, mata berkunang, otak mendidih menghanguskan tubuh, menggelepar, meraung dan kembali pada arang.

***

Sudah dua hari Viktor mengembara dari rumah ke rumah. Ia menggambar dan terus menggambar, menggambar pada ada. Orang-orang sekampung mulai terganggu dengan kehadirannya, lantas menyuruhnya berhenti atau sekadar pergi. Namun ia tak acuh. Ia ditinju, dipukul dengan pentung. Ia merintih, duduk, dan menggambar garuda pada pentung itu. Ia disiram air panas, melolong panjang, namun masih sempat menoleh mungkin masih bisa menggambar garuda pada genang-genang air. Ia telah mewabah. Ia bencana. Ia virus, ya Virus Viktorius.

Hingga pada paruh malam kedua, Viktor merangkak dalam remang, meraba dan mulai menggambar garuda pada kaki sebuah ranjang. Ia tak peduli pada sepasang kekasih yang lagi indehoy pada ranjang. Ia pincingkan mata, mengutuk lampu tidur yang redup romantis.

“Apa-apaan ini…?!” suara serak membentak. Lampu kamar menyala. Sang kekasih terlepas, mencari selimut. Tiga pria berseragam loreng berdiri di pintu. Kekasih tegang.

“Apa yang kau buat di kamar orang hah…?!?” Tanya si loreng yang berdiri paling depan.

“Ini kamar saya….” Pria pada ranjang menyahut gentar. Si loreng menggeleng angkuh, menunjuk pada kaki ranjang. Wanita pada ranjang histeris. Viktor terus menggambar. Manfaatkan cahaya yang ada.

“Bawa dia…!!” dua pria loreng lain menyeret Viktor pergi. Si loreng berdehem, memandang penuh minat pada  pasangan kekasih.

“Lanjutkan…!!” Ia tersenyum kalem dengan makna yang sulit ditebak. Kamar gelap. Pintu dibanting. Langkah-langkah menjauh. Melemah. Hilang.

Viktor digiring ke sebuah ruangan asing. Ada lukisan garuda tergeletak di lantai.  Viktor tersenyum; itu ciptaannya. Si loreng bertanya-tanya tentang identitas Viktor, tak ada jawab. Ia hanya diam, jauh, ia seolah tiada, ketiadaan dalam ada. Si loreng gusar.

“Baiklah…, apa yang saudara gambar?”

“Garuda…,” datar. Si loreng tersenyum. Ia temukan pintu.

“Bagus, jiwamu nasionalis, pasti ayahmu pejuang seperti kami. Tapi mengapa matanya menatap ke kiri?” si loreng memungut dan memperhatikan lukisan Viktor.

“Tak ada yang mewajibkan saya untuk menatap ke kanan…!!”

“Aku bertanya tentang lukisanmu, bukan tentang engkau. Bodoh…!!” Si loreng meludah.

“Aku adalah garuda…!”

“…Garuda? Gagak dekil begini kau sebut garuda? Huh…! Terserah…, Ngkula adalah garuda atau garuda adalah Ngkula, aku tak berminat. Tapi pahami ini. Kau masih terlalu muda untuk memahami negeri ini. Kau harus tahu, kiri adalah jahat. Kiri adalah pemberontakan. Kiri itu kehancuran. Di negeri ini pernah hidup manusia-manusia terkutuk beraliran kiri, mereka mau mengganti dasar negara ini dengan paham mereka. Tapi mereka kalah, mereka gagal, hancur dan hilang ditelan ibu pertiwi. Sedangkan kanan, kanan adalah kebangkitan, kekudusan, ilahi, sakral, kebenaran, pencerahan,  aufklärung. Akh…., kau bodoh, kau pasti tak mengerti. Intinya begini, jangan pernah mengganggu masyarakat dengan garuda-garudamu. Dan satu lagi, ubah arah mata garuda pada lukisanmu itu!!! Mengerti….!?!”

“Aku tak bisa…! Sudah sekian tahun aku menatap ke kanan, tak pernah ada perubahan. Aku lelah menatap ke kanan, kebebasan beragama terbelenggu, pelecehan dan kekerasan dianggap titah Allah. Ada ketidakadilan hukum, yang salah dibenarkan, yang benar diabaikan; hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Tak ada persatuan, hanya keegoisan dan korupsi. Karna suara-suara tak terwakili, karna yang kaya terus menjadi kaya sedangkan yang miskin harus terus berbagi meski hanya untuk menghirup angin…. Apa salahnya kalau kita mengubah cara pandang, mungkin di kiri ada kebijakan yang lebih baik dari pencerahan semu yang kau agung-agungkan itu…!”

“…Bangsat!! Beraninya kau mengkotbahiku. Siapa yang telah merasuki otak dekilmu dengan kata-kata mewah ini hah…?? Siapa…? Pastor? Pendeta? Ustadz? Biksu? Aktivis? Siapa….?!?” si loreng mencakar kepala Viktor. Viktor tersenyum, ubun-ubunnya tak rapuh lagi.

Hening. Nafas si loreng memburu.

“Kuberi waktu satu malam. Ubah lukisan ini…!”

***

Pagi merekah, langkah-langkah mendekat, ubin berdesak-desak.

“Mengapa lehernya patah…?” Si loreng meraba darah kering pada lukisan.

Seseorang melangkah dari sudut ruangan.

“Aku sudah mencoba memutar kepala ke kanan, tapi aku tak sanggup. Aku terus memaksa, hingga leher ini patah.”

DORRR…!!!

Garuda terjerembab. Timah menyibak bulu, menembus dada. Perisai pecah berkeping-keping. Bertindih-tindih. Banteng dengan rantai karat pada lehernya rakus mengunyah kemuning padi. Bintang redup di balik ranting-ranting egoisme sang beringin, yang kemudian tumbang menimpa banteng. Banteng roboh, rantainya putus.

“Bakar gagak itu…!!!”


 

Yovan Abdullah, nama pena dari seorang calon imam Serikat Sabda Allah (SVD). Kini, ia sedang menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Flores Pos. Email: [email protected]

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini