Pantai Pede: Ini Soal Kedaulatan!

Floresa.co- Apa yang menggerakan kelompok muda di Labuan Bajo untuk menggelar sebuah festival di Pantai Pede?

Tak ada alasan lain, selain adanya panggilan moral untuk menyelamatkan pantai itu, dari cengkeraman kepentingan investor yang berhasil membuat para pejabat kita tidak lagi bisa mengambil pilihan lain, selain menyerahkan pantai itu.

Ini tentu sebuah gejala sangat buruk, yang bisa dipastikan tidak hanya terjadi pada Pantai Pede, tetapi juga pada sejumlah titik kasus lain di Manggarai Barat (Mabar). Banyak area publik yang dikapling untuk kepentingan bisnis pariwisata.

Yang tampak di hadapan kita semua saat ini, fakta miris: orang-orang Manggarai, terutama para pemimpinnya tak lagi merasa bahwa membiarkan Pantai Pede sebagai ruang publik adalah sebuah pilihan yang mesti diambil, di tengah kondiri riil sekarang, di mana hampir semua area publik sudah habis diprivatisasi.

Festival Pantai Pede menjadi momen bagi kaum muda untuk menegaskan pentingnya pantai itu.
Ini tentu bukan sekedar soal sebidang tanah di pesisir pantai dengan luas empat hektar itu.
Tapi ini soal kedaualatan, ini soal harga diri, ini soal hak kita untuk barang publik.

Argumentasi pemerintah selama ini bahwa privatisasi pantai itu adalah untuk meningkakan PAD, wajib dipertanyakan.

Karena, kita sudah lama berdiri di hadapan ironi besar dari kampanye turisme di Mabar: nama Komodo, Labuan Bajo kian nyaring di seluruh dunia, namun, persis di kota itu, masyarakat lokal “ditendang”, disingkirkan, dikucilkan.

Sail Komodo 2013 juga nyaris tak membawa dampak bagi masyarakat kecil. Yang terisa sekarang, hanya dugaan penggelapan uang miliaran oleh para mafia, yang juga melibatkan elit di level lokal.

Soal Pantai Pede, kalau itu juga dikuasai, di mana sudah orang di Mabar berinteraksi, bisa menggelar pentas seni sebagaimana dalam festival kemarin.

Sayang, bahwa kita selalu mendapat pemimpin yang pola pikirnya itu-itu saja, yang hanya tahu bicara soal pariwisata, namun daya pikirnya terlalu picik, untuk memperhitungkan soal kepentingan banyak orang, kebaikan bersama.

Kalaupun dalam hari-hari mendatang, mereka membicarakan hal itu, ini tentu lebih karena mendekati Pilkada.

Mereka-mereka itu tidak peduli masalah lain. Yang dipikirkan bagaimana saya bisa berkuasa, tetap berkuasa, dan kemudian bisa menduduki kursi kekuasaan yang lebih tinggi.

Sekarang pilihannya hanya dua: mau tetap berdaulat di tanah sendiri atau menjadi babu kaum kapitalis, dan membiarkan generasi berikut merasakan dampak buruk kejahatan kita di era sekarang.

Kalau para pemimpin kita masih punya cukup kemampuan untuk memaknai apa pesan terdalam dari festival yang mendapat repon luar biasa dari publik itu, maka tentu mereka memilih untuk tidak jadi babu, tapi orang-orang yang berdaulat.

spot_img

Artikel Terkini