Matheus Sakeus : Berawal dari Melukis Yesus

Floresa.co-Dikerumuni ratusan orang, Matheus masih tampak begitu tenang melukis di pusat alun-alun festival Pede. Kurang dari satu jam saja, ia sudah berhasil melukis pantai Pede di atas kanvas. Begitu ia melepas kuas, kontan tepuk tangan dari meriah terdengar.

Itulah salah satu pertunjukkan dalam Festival Pede. Theus—begitu ia sapa—selain mementaskan kehebatannya dalam melukis, dalam festival Pede ia adalah arsitek dari gerbang cinta yang ramai dipadati pengujung untuk berpose. Juga sejumlah lukisannya dipanjangkan di stand Komunitas Lontart Galeri.

Di sela-sela usai melukis dalam Festival Pede, putra bungsu dari enam bersaudara ini mulai berkisah tentang kecintaannya pada dunia lukis.

Awal ia mencintai dunia lukisan adalah kelas dua Sekolah Menengah Atas (SMA). Saat itu, di ruang kelasnya di SMAK St. Ignasius Loyola, ia mulai terpesona dengan gambar Yesus. Ia mulai tak berkonsentrasi dengan pelajaran dari guru.

“Saya mulai berpikir, gambar Yesus yang indah itu hanyalah hasil lukisan. Bukan foto. Karena zaman Yesus hidup, belum ada kamera.” katanya.

Sejak saat itu, timbul niat dalam batinnya untuk melukis Yesus. Hari-hari ia mulai berlatih melukis ulang gambar Yesus. Tanpa ia harapkan, lukisannya itu kemudian menuai pujian baik dari orang tua, guru, dan teman-teman.

“Mulai saat itu saya semakin termotivasi untuk belajar melukis. Apalagi orang tua sangat mendukung minat itu” aku pemuda kelahiran 22 Februari 1989 ini.

Jalan Berliku

Kecintaan pada dunia lukisan sempat menjadi pukulan hebat dalam diri Theus. Ia seolah lupa diri saat mulai melukis. Di kelas, ia sibuk melukis daripada mendengar pelajaran dari guru. Di rumah pun demikian. Pada tahun 2008, ia tidak lulus ujian Nasional.

“Itu mungkin harga yang harus dibayar saat saya terlalu menyukai lukisan” katanya.

Sejenak ia memang merasa terpukul. Namun kemudian ia menyadari, itu adalah rencana Tuhan baginya. Apalagi ia selalu mendapat dukungan dari kedua orangtuanya. Bermodalkan ijasah paket C, ia berangkat ke Yogyakarta.

“satu hal yang membuat saya kuat adalah orang tua saya selalu mendukung pilihan saya dan saya percaya Tuhan punya rencana lain.” imbuhnya.

Di Yogyakarta, ia masuk Institute Seni Indonesia (ISI). Karena sulitnya persaingan masuk ISI, ia harus mengambil kursus melukis selama setahun.

Demi Impian

Ketika masuk ISI, alumnus SMP Negeri I Komodo ini seolah menikmati bulan madu dunia dalam dunia melukis. Hanya awal-awal saja ia mengalami kesulitan, sisanya ia menikmati indahnya melukis.

“saya mulai diajak dalam berbagai organisasi dan terlibat dalam berbagai aktivitas kesenian di Yogyakarta” katanya.

Selama masa kuliah, ia mulai berkenalan dengan seniman-seniman ternama, di antaranya Timbul Raharjo dan Gunadi.

Peristiwa yang tak pernah dilupakannya adalah ketika ia dipercaya menjadi kurator ulang tahun Yogyakarta yang ke-258. Ia merancang dan menata seluruh pameran.

Di luar itu, ia juga membentuk kelompok mata, sebuah kelompok seni melukis di Yogyakarta.

“ketika kuliah di ISI, saya memasuki dunia impian saya selama ini” jelasnya.

Begitu lulus kuliah, Theus kebanjiran tawaran kerja. Selama empat bulan, ia kemudian bekerja di empat bulan di Dictionary Arti Laboratory, Yogyakarta. Ia menangani pengarsipan, event organizer, konsultan di bidang seni. Akan tetapi, keadaan demikian bukanlah impiannya.

“Dari dulu saya ingin pulang Labuan Bajo. Saya ingin membuka sekolah seni lukis di Labuan.” jelasnya.

Buka Sekolah Melukis

Theus akhirnya pulang ke Labuan Bajo pada tahun 2014. Ia tinggal di Nggorang, Labuan Bajo. Di sana, lagi-lagi impiannya berjalan mulus. Sebuah galeri kecil ia dirikan di Nggorang.

“Orang tua mendukung saya. Mereka menyumbang kayu dan saya mendirikan sebuah galeri” ujar ketua Komunitas Lontart Galeri ini.

Atas dorongan itu, ia semakin bersemangat untuk mengumpulkan anak-anak yang ingin belajar melukis. Dalam hatinya, ia sangat ingin melahirkan pelukis-pelukis baru di Labuan Bajo. Apalagi ia percaya bahwa melukis adalah kemampuan yang bisa dipelajari.

“Orang tua saya tidak tahu melukis. Begitu juga saudara-saudara saya. Dan tidak apa-apa jumlah murid hanya sedikit, yang penting mereka punya keinginan yang kuat untuk melukis” katanya. Dan sejauh ini, ada sekitar sepuluh orang murid.

Akan tetapi demi menyokong kebutuhan finansial dan sekolahnya itu, ia sekarang menerima tawaran untuk melukis di rumah-rumah dan restaurant.

Kini ia juga aktif dalam berbagai kegiatan Seni di Labuan Bajo, termasuk kegiatan Festival Pede. (Gregorius/Floresa)

Berikut kumpulan foto-foto dari Matheus Sakeus dan karya-karyanya:

11052486_1597624447189414_6430670253891612225_o
Lukisan Labuan Bajo
11892362_10206342183505103_4474471804801660755_o
Matheus sedang merancang pintu cinta
11880496_1636429866642205_7544037526729667328_n
Matheus sedang melukis di Pantai Pede dalam kegiatan pungut sampah bersama
11225276_1039203179432320_7449277334943564531_n
Dalam festival Pede, Mateus melukis dan disaksikan ratusan orang.
11792081_1631369540481571_1562931275819342446_o
Mateus melukis di salah satu sisi Galerinya
Artikel Sebelumnya
Artikel Berikut
spot_img

Artikel Terkini