Pilkada dan Politik Baku Peduli

Alfred Tuname
Alfred Tuname

OLEH : ALFRED TUNAME

Pilkada 2015 kini menjadi pusat perhatian indera politik segenap publik. Persisnya, ruang publik tidak lengang dari topik-topik politik pilkada. Politik memang selalu manis untuk dibicara, manakala publik berharap penuh pada perubahan. Publik perlu bersyukur, bahwa kita masih memelihara pembicaraan politik manakala setiap orang sibuk dengan urusannya sendiri.

Membicarakan politik Pilkada berarti kita sedang bersimpati pada urusan bersama. Bahwa publik sedang peduli nasib bersama dan kepetingan bersama. Tentu, hal itu dikarenakan politik Pilkada sangat bersinggungan dengan dinamika kehidupan bersama di masa lima tahun ke depan. Pemimpin yang lahir dari Pilkada akan berpengaruh besar pada kebijakan dibuat untuk masyarakat. Karenanya, membicarakan Pilkada juga merupakan bagian proses politik berdemokrasi.

Filsuf Prancis, Alain Badiou, pernah menulis, “democracy is our fetish”. Ini adalah sebuah klaim Freudian yang tentu saja bukan berarti keranjingan publik akan demokrasi an sich. Demokrasi merupakan salah satu ‘cara” yang kita gunakan untuk mengkonfrontasi segenap “lack” yang terkontruksi dalam realitas ekonomi-politik kita. “Lack” tersebut adalah spasi tebal antara publik dan “rutinitas” politik itu sendiri. Politik seakan berjalan tanpa kehadiran publik. Publik hanya menonton dan quasi-hadir dalam pesta politik lima tahunan.

Demokrasi sejatinya ada dengan melampaui rutinitas pesta politik lima tahunan. Demokrasi meruntuhkan spasi antara “demos” dan penguasa. Dalam demokrasi, publik boleh bicara dan berdialektika dengan setiap modus kekuasaan. Setiap langgam kekuasaan yang membuat rakyat menderita dilawan secara kritis, bahkan tragis. Bahkan, demokrasi memperbolehkan rakyatnya untuk meruntuhkan penguasa lalim dan semua manifestasinya.

Musuh demokrasi adalah aristokrasi dan feodalisme. Dalam konteks Pilkada, watak aristokrasi dan feodalisme masih melekat kuat dalam setiap kandidat peserta Pilkada. Kandidat tersebut menggunakan basis keluarga dan klan untuk mencapai kekuasaan. Dari sinilah muncul fanatisme akut kepada kandidat-kandidat tertentu. Fanatisme tersebut mengerdilkan rasionalitas kritis setiap loyalis fanatik tersebut.

Kejadian pembakaran KPU Kabupaten Manggarai Barat (Mabar), NTT merupakan sebuah contoh paling dekat tentang fanatisme politik dalam Pilkada. Kelompok fanatik dan loyalis Paket Pranda-Paju (Fidelis Pranda dan Benyamin Paju) melepas baju rasionalitas kritisnya demi kepentingan elite poltik. Mereka menghancurkan kantor KPU karena kepentingan Paket Pranda-Paju mendapat halangan “legal” dari KPU. Meski demikian, KPU Mabar telah memilih sikap bijak untuk tetap mengakomodasi kepentingan tersebut. Publik tentu tetap berharap agar barbarisme politik seperti itu tidak terjadi kembali.

Harapannya, setiap kandidat memberikan pemahaman politik yang mumpuni pada setiap orang yang mengaku loyalisnya. Celakanya, apabila kandidat justru menikmati dan mengambil keuntungan politik dari laku politik yang barbar itu. Di samping itu, kandidat juga adalah politician minus ideological base. Kepentingan pribadi dan golongan masih menjiwai semangat berpolitik. Cita-cita kebaikan dan kebaikan bersama masih tampak sebagai jargon dalam pagu pragmatisme politik.

Bersembunyi di balik manisnya janji politik, setiap kandidat mengajukan proposal politik kepada investor (asing). Setiap sumber daya alam daerah menjadi “barang” gadaian  politik demi kekuasaan. Setiap sumber daya alam daerah sudah dikapling-kapling dan menjadi milik investor tertentu. Turbulensi politik lokal pun menjadi sangat tinggi. Kemenangan dalam Pilkada menjadi harga mati bagi sang kandidat, manakala kepentingan investor adalah akses terhadap sumber daya alam.

Baku Peduli

Melawan pragmatisme politisi dan watak eksploitatif investor asing merupakan kewajiban setiap masyarakat. Pilkada merupakan event politik penting bagi publik untuk melawan laku politisi yang tidak becus mengelola tujuan bersama.

Politik merupakan sebuah kerja cultivating humanity (mengelola kemanusiaan) demi kehidupan bersama yang lebih baik. Politik bukanlah “tool of economics” demi kekayaan pribadi dan pelanggengan kekuasaan. Kepedulian terhadap nasip sesama merupakan tujuan berpolitik. Di situ, setiap suara dan aspirasi didengar.

Oleh karena itu, Pilkada bukan merupakan ajang pembaharuan janji politik, melainkan perumusan cita-cita bersama dan proses bersama untuk mewujudkan cita-cita bersama tersebut. Bersama-sama untuk sebuah cita-cita kesejahteraan merupakan politik baku peduli. Politik baku penduli merupakan laku etik dalam politik berdemokrasi. Bahwa, setiap orang harus menjadi seorang demokrat bagi dirinya sendiri.

Sheldon S. Wolin dalam buku berjudul “Democracy Incorporated: Managed Democracy and the Spectre of Inverted Totalitarianism” (2008) menulis, “to be a democrat is to change one’s self, to learn how to act collectively, as a demos. It requires that the individual go “public” and threrby help to constitute a “public” and an “open” politics, in principle accessibel for all to take part in it…” Menjadi seorang demokrat tidak saja ditakar dalam tindakan pencoblosan dalam Pilkada, melainkan ikut memberikan pencerahan melalui cara berpikir analis dan kritis kepada orang lain. Dedikasinya adalah demi kepentingan banyak orang, bukan berorientasi politik pada kandidat tertentu.

Seorang demokrat selalu berdedikasi pada kepentingan bersama, kesejahteraan bersama. Kontribusi genuine seorang demokrat adalah membuat demokrasi lokal (Pilkada) semakin demokratis. Memilih pemimpin adalah hak politik yang melekat pada individu warga negara. Tetapi setidaknya, pilihan itu perlu dituntun oleh rasionalitas politik yang jernih demi kebaikan dan kesejahteraan bersama, dan bukan atas fundamen sentimen kesukuan, klan dan money politics. Dalam memilih pemimpin, kita tidak saja peduli pada nasib individual kita, tetapi tanggung jawab moral dan politik kita terhadap nasih bersama warga masyarakat.

Alexis de Tocqueville (1805-1859), pakar politik asal Prancis, ada benarnya, bahwa kekuarangan di dalam demokrasi hanya bisa diperbaiki dengan menambahkan lagi demokrasi. Kita menambahkannya dengan demokrasi politik baku peduli. Sebab, kita peduli pada nasib kita sendiri dan masyarakat banyak lainnya.

Penulis adalah pemerhati masalah sosial di Manggarai

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini