Kemiskinan Membuat Perempuan NTT Mudah ‘Dimangsa’ Calo TKI

Lucia Dos Santos, korban human trafficking bersama kedua orangtuanya di Asu Ulun, Kecamatan Atambua Selatan, Kabupaten Belu, NTT. Ibu 23 tahun ini, kini buta setelah disiksa majikannya di Malaysia. (Foto: Ryan Dagur/Ucanews.com)
Lucia Dos Santos, korban human trafficking bersama kedua orangtuanya di Asu Ulun, Kecamatan Atambua Selatan, Kabupaten Belu, NTT. Ibu 23 tahun ini, kini buta setelah disiksa majikannya di Malaysia. (Foto: Ryan Dagur/Ucanews.com)

Ketika merantau ke Malaysia dan meninggalkan suami serta dua anaknya pada 2006, Lucia Dos Santos, 23, berharap, beberapa tahun kemudian ia bisa kembali, sambil membawa uang yang cukup bagi keluarganya.

Situasi yang ia alami memang sulit: ia menikah di usia 11 tahun pada 2003, dengan suaminya, Matius Gonsalves yang berusia 30 tahun dengan pekerjaan sebagai juru parkir. Penghasilan suaminya, yang hanya Rp 25.000 sehari tak cukup untuk keluarga mereka.

Lantas, ia meninggalkan suami dan dua anaknya – masing-masig berusia tiga tahun dan satu tahun – di kampung Asu Ulun, Kecamatan Atambua Selatan, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Namun, lima tahun kemudian, bukannya datang dengan kabar baik, Lucia kembali dengan kedua mata, yang meski masih bisa terbuka lebar, namun tak mampu lagi melihat.

“Saat pergi, saya tidak membayangkan akan kembali dengan situasi begini,” katanya dengan nada penyesalan saat wawancara di rumah mereka.

Matanya buta, setelah majikannya di Kuala Lumpur menancapkan jari ke mata Lucia. “Setelah tangannya menusuk mata saya, ia terus menekan, hingga keluar darah. Saat itu sakitnya ngeri sekali. Darah mengalir dan saya teriak. Namun, tak ada yang menolong,” katanya.

Hal itu dialami Lucia saat ia meminta untuk kembali ke kampung, setelah selama empat tahun lebih hilang kontak dengan keluarga. Setelah sempat dirawat di Malaysia, majikan kemudian mengirim Lucia kembali bersama temannya, yang juga bekerja di rumah mertua majikannya.

Uang yang ia bawa hanya 27 juta. “Kata majikan, gaji saya 80 juta, namun yang lainnya dipakai untuk mengobati mata saya di rumah sakit di sana.”

Saat sampai di Atambua, ia sempat dibantu oleh beberapa lembaga pemerhati perempuan untuk mengobati matanya. Namun, ia terus-menerus mendapat jawaban bahwa matanya tidak bisa sembuh lagi.

“Dokter bilang, syaraf-syaraf mata saya sudah putus, jadi susah untuk disembuhkan.”

Kasus yang dialami Lucia adalah satu dari ribuan kasus perdagangan manusia dengan kedok menjadi buruh migran atau Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang menimpa perempuan dan anak-anak di NTT, provinsi yang ditetapkan oleh pihak kepolisian dan International for Migration (IOM) sebagai daerah dengan jumlah kasus perdagangan manusia paling banyak saat ini di Indonesia.

Nurul Qoiriah, National Project Coordinator IOM menyebutkan, sedikitnya 7.193 orang dari NTT dengan 82 persen perempuan dan 18 persen laki-laki telah teridentifikasi sebagai korban tindak pidana perdagangan orang.

Di samping NTT, empat provinsi lainnya yang memiliki kasus serupa adalah Nusa Tenggara Barat (NTB), Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Aliansi Anti Perdagangan Orang (AMPERA) NTT memperkirakan, setiap bulan sekitar 600 perempuan dan anak NTT yang mengadu nasib dengan menjadi pembantu rumah tangga dan buruh migran lewat jalur ilegal, di mana mereka pergi tanpa dilengkapi dokumen resmi, sehingga rentan menjadi korban kekerasan.

Seperti halnya Lucia, mereka susah menuntut majikan dan calo yang memberangkatkan mereka ketika ada persoalan, lain halnya kalau pergi dengan jalur legal.

Pemicu

Banyaknya penduduk NTT yang miskin dan hanya mengenyam pendidikan di tingkat dasar, serta sebagian putus sekolah membuat mereka rentan menjadi korban perdagangan manusia, demikian kata Romo Leo Mali, koordinator umum Jaringan Relawan Untuk Kemanusiaan (J-RUK), yang selama beberapa tahun terakhir gencar mengkampanyekan anti human trafficking.

Data terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2014 menunjukkan bahwa 19,6 persen warga NTT miskin dari total 4,9 juta populasi.

Orangtua Lucia, misalnya, yang berstatus sebagai pengungsi asal Timor Leste akibat konflik berdarah pada 1999, harus bertahan hidup tanpa memiliki lahan yang bisa diolah untuk pertanian.

Kesulitan untuk memenuhi nafkah, dengan hanya mengharapkan jagung hasil dari tanah milik warga yang ia kelola dengan sistem bagi hasil, membuat ia mewajibkan anak-anaknya untuk bisa bertahan hidup.

“Hasil tanah itu, hanya untuk kebutuhan makan setiap hari saja. Itu pun kami harus hemat. Kami makan dua kali sehari, pagi dan siang. Malam kami tidak makan,” kata Adriano Martins, 65, ayah Lucia.

Keluarga Lucia Dos Santos menghadapi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup, hal yang membuat mereka terpaksa membiarkan anak-anak mencari jalan masing-masing untuk bertahan hidup, (Foto: Ryan Dagur/Ucanews.com)
Keluarga Lucia Dos Santos menghadapi kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup, hal yang membuat mereka terpaksa membiarkan anak-anak mencari jalan masing-masing untuk bertahan hidup, (Foto: Ryan Dagur/Ucanews.com)

Curah hujan yang kurang di daratan NTT, membuat ia hanya bisa bertani di musim hujan, antara November sampai Januari.

Selebihnya, ayah 10 anak ini, hanya bisa mengharapkan pemasukan dari beberapa anaknya yang jadi buruh bangunan.

Aplonia Sara Mali Bere, 35, korban lain, juga rela meninggalkan lima anaknya di usia 35 tahun, karena menghadapi masalah yang sama, dengan mengadu nasib di Malaysia pada 2009.

Suaminya yang bekerja sebagai ojek hanya mampu menghasilkan Rp 25.000 sehari. “Susah dapat uang di sini,” kata warga Kampung Sesekoe, Atambua ini.

Namun, sebagaimana Lucia, ia pun kembali ke NTT pada 2011 dengan situasi menyedihkan. Meski kerja selama 2 tahun, namun ia kembali dengan hanya membawa uang 10 juta, tidak seperti yang dijanjikan, yaitu mendapat gaji 450 ringgit (sekitar Rp 1.500.000) per bulan.

Sr Sisilia SSpS, Ketua Forum Pemerhati Perempuan dan Anak di Atambua, mengatakan, faktor lain, adalah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

“Banyak sekali anak-anak yang menikah muda, lalu memiliki banyak anak dan kemudian cerai,” katanya.

Selain sebagaimana dialami Lucia, korban lain misalnya, Matilda Bita Moruk, 31,  menikah di usia 14 tahun, lalu ditinggal suami, setelah mereka memiliki dua anak. “Saya tidak punya pilihan lain, selain mencari nafkah ke Malaysia” kata Moruk yang bekerja selama 2007-2009 di Kuala Lumpur.

Hal serupa juga terjadi pada Rosadalima Ndeo, 37, di mana ia bersama dua anaknya ditinggal suami. Pada 2007, ia pun ke Malaysia sampai 2011.

“Situasi demikian membuat mereka dengan mudah ditipu oleh para calo pencari tenaga kerja. Mayoritas mereka menjadi mudah memutuskan pergi karena iming-iming para calo,” kata Sr Sisilia.

Modus para calo, jelas dia, menggunakan orang dekat korban, bisa orangtua atau kenalan korban.

Hal itu juga diakui oleh Welmince Lay, Kepala Seksi Informasi dan Penempatan Tenaga Kerja di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Belu.

“Mereka tergiur, padahal kami selalu adakan sosialisasi agar kalau mau pergi kerja di luar negeri, harus pergi lewat jalur legal,” katanya.

Ia menjelaskan, saat ini hanya terdapat 35 perusahan tenaga kerja yang legal di Kabupaten Belu. “Namun, tampaknya yang ilegal lebih banyak,” katanya.

Calo TKI menyasar perempuan dan anak dari keluarga miskin, kata Vinsensius Ignatius Suri, salah seorang mantan calo yang memutuskan berhenti dan kini ikut menjadi relawan anti human trafficking.

“Saya dulu biasa merayu korban lewat keluarga mereka,” kata Vinsensius, yang menjadi calo antara 2010-2012.

Pekerjaan itu, kata dia, memang menguntungkan, karena untuk merekrut satu orang tenaga kerja, mereka mendapat uang 6 juta rupiah, di mana dua juta untuk diberikan kepada orangtua calon tenaga kerja dan selebihnya untuk si calo.

“Jadi untuk tiap tenaga kerja yang direkrut bisa dapat sampai Rp 4 juta, dikurangi biaya operasional, jadi dapat bersih Rp 3 juta per orang,” katanya.

Bisnis itu dilakukan Vinsensius dengan jaringan yang ada di Kupang, ibukota Provinsi NTT, sekitar 8 jam perjalanan jalur darat dari Atambua.

“Saya langsung berhubungan dengan mereka,” katanya. “Namun saya tidak tahu, apa nama perusahan kami. Saya hanya mengenal broker di Kupang. Dia yang berhubung dengan bos yang ada di Jakarta,” kata Vinsensius, yang memutuskan berhenti karena merasa selalu dihantui rasa bersalah.

Para aktivis menilai, kasus-kasus demikian terus terjadi karena bisnis ini juga melibatkan mafia besar.

“Kalau tidak ada mafia, maka tidak akan terjadi banyak kasus,” kata Romo Leo Mali, kordinator umum J-RUK.

Mafia-mafia itu, kata dia, berupa aparat pemerintah yang bekerja sama dengan calo dalam upaya pemalsuan identitas korban dan aparat keamanan yang membantu menjaga tenaga kerja yang hendak diberangkatkan.

Tudingan terkait keterlibatan aparat keamanan misalnya terbukti dengan penetapan tersangka dua orang polisi di Kabupaten Belu Bripka Davidson Anin dan Bripka Dema Siaan Fuah pada April lalu yang terlibat dalam  pengiriman TKI ke Malaysia, Singapura dan Hong Kong melalui Denpasar, bekerja sama dengan calo bernama Joni Liem.

Sebelumnya, Brigpol Rudy Soik, polisi di Polda NTT mengungkap keterlibatan petinggi polisi dalam kasus human trafficking, sebuah pengakuan yang berbuntut kriminalisasi atas dirinya, hingga Rudy dipenjara.

Upaya Preventif

Sekarang, banyak akivis, termasuk dari Gereja setempat menggelar kampanye anti human trafficking.

Romo Leo Mali misalnya, mengajak kaum muda untuk memberi penyadaran terhadap masyarakat.

Pada, 25 Juli lalu, mereka menggelar konser lagu-lagu musisi Ivan Nestorman yang berisi kampanye anti human trafficking.

Romo Leo mengatakan, memang sejauh ini, masyarakat NTT, termasuk Gereja sebagai institusi belum melihat human trafficking sebagai masalah kritis.

“Masih banyak yang tidak peduli, termasuk dari kalangan Gereja sendiri, baik kaum religius, maupun umat Katolik,” katanya.

Ia menjelaskan, Gereja sejatinya memberi perhatian pada masalah ini. “Karena puncak dari teologi kita adalah penghargaan terhadap Tuhan dan manusia. Kalau kita omong tentang cinta kasih tapi kalau orang di depan kita dijual, lalu kita diam-diam saja, bagaimana?,” katanya.

Winston Neil Rendo, Ketua Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) NTT yang menangani bidang kesejahteraan rakyat mengatakan, pengentasan human trafficking, juga menjadi agenda prioritas mereka.

Ia mengatakan, sekitar Oktober mendatang, mereka akan menuntaskan peraturan daerah terkait TKI yang antara lain membahas soal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) untuk perizinan, pengawasan lebih tegas dan serius yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, dan perlindungan TKI mulai dari persiapan pemberangkatan hingga mereka kembali lagi setelah bekerja.

“Selama ini proses pengurusan izin sangat rumit. Iitu yang membuat banyak yang memilih jalur ilegal,” katanya.

Hesti Arwi Wulan, Konsultan Independen Australia-Indonesia Partnership for Justice and Peace (AIPJ), lembaga yang mulai tahun lalu memiliki program melawan human trafficking di NTT mengatakan, persoalan besar adalah memberantas mafia yang ada di lembaga pemerintah dan aparat keamanan.

Ia menjelaskan, human trafficking berjalan bersamaan dengan praktek korupsi. “Tidak mungkin kita berhentikan perdagangan orang kalau perilaku korupsi itu masih ada,” katanya.

Sementara itu, Kapolda NTT Brigjen Endang Sunjaya menegaskan, kepolisian sudah memiliki komitmen serius memberantas masalah ini, termasuk dengan membentuk Satuan Tugas Human Trafficking pada November 2014.

Selama Januari-Mei 2015, mereka sudah menetapkan 30 orang sebagai tersangka dari 27 kasus yang ditangani. “Jumlah korban trafficking yang berhasil diamankan sebanyak 106 orang,” jelas Sunjaya.

Pemberdayaan

Di samping berbagai upaya preventif, saat ini ada juga upaya pemberdayaan terhadap kaum perempuan, agar mereka tidak lagi menganggap menjadi TKI sebagai pilihan utama untuk bisa bertahan hidup.

Sr Sisilia misalnya, sejauh ini, merintis pembentukan koperasi, di mana, anggotanya bisa meminjam uang untuk usaha.

“Anggotanya umumnya perempuan dan korban human trafficking. Mereka bisa meminjam uang bervariasi, sesuai kebutuhan dan dikembalikan secara bertahap per bulan dengan bunga yang kecil,” katanya.

Ia menjelaskan, untuk tahap pertama, bisa meminjam uang 500 ribu, untuk diolah dan kemudian per bulan berikutnya dikembalikan secara bertahap, hingga selesai.

“Setelah itu, mereka bisa meminjam satu juta, hingga lima juta rupiah,” katanya.

Sara, yang kini menjadi ketua untuk kelompok korban di Sesekoe, mengatakan, sangat terbantu dengan pendampingan Sr Sisilia.

Ia sudah meminjam 3 juta rupiah untuk membuka warung makan sederhana di rumahnya, serta menjual bensin eceran.

“Sekarang saya sadar, jauh lebih baik berusaha di sini saja, daripada ke luar negeri,” katanya.

Aplonia Sara Mali Bere, meninggalkan lima anak ketika ia berusia 35 tahun dan memilih menjadi pembantu di Malaysia. Kini, ia menyesal dan menyatakan, lebih baik berjuang di tanah sendiri daripada harus menanggung siksaan. (Foto: Ryan Dagur/Ucanews.com)
Aplonia Sara Mali Bere, meninggalkan lima anak ketika ia berusia 35 tahun dan memilih menjadi pembantu di Malaysia. Kini, ia menyesal dan menyatakan, lebih baik berjuang di tanah sendiri daripada harus menanggung siksaan. (Foto: Ryan Dagur/Ucanews.com)

Sr Sisilia meyakini, orang NTT sebenarnya tidak perlu keluar negeri.“Kuncinya mau berusaha. Di Malaysia dan di negara-negara lain, mereka juga kerja di kebun, dan jadi pembantu. Pekerjaannya sama saja dengan di sini. Jadi lebih baik berjuang di tanah mereka sendiri,” katanya.

Namun, meski ada inisiatif demikian, para aktvis juga harus bersaing ketat dengan para calo, yang terus merayu banyak anak NTT.

Ayah Lucia, misalnya, meski anaknya Lucia sudah kembali dengan mata yang cacat permanen dan mengatakan sangat sakit hati menyaksikan hal itu, namun, pada 2013 lalu, ia tetap merelakan anaknya yang ke-8 untuk pergi lagi ke Malaysia, setelah ia diberi uang Rp 500.000 oleh seorang calo.

“Saya tahu apa yang dahulu menimpa Lucia, namun mau bagaimana lagi? Kami ini hidup susah,” katanya.

(Artikel ini ditulis oleh Ryan Dagur, jurnalis UCAN. Versi aslinya bisa dibaca di website Ucanews.com dan Indonesia.ucanews.com)

spot_img
spot_img

Artikel Terkini