Melawan Tambang, Tugas Siapa?

Oleh: ALFRED TUNAME

[Tulisan ini diolah dari materi yang dipresentasikan dalam launching buku karya “Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang” karya Benny Denar di Ruteng, Kabupaten Manggarai, 18 Juli 2015. Acara ini juga diisi dengan seminar tentang “Pencaplokan Sumber Daya dan Masa Depan Manggarai Raya.”]  

Ketika mengatakan bahwa “Jangan menafsikan dunia, namun ubahlah dunia,” Karl Marx, filsuf yang terkenal itu, sebenarnya lupa bahwa melakukan interpretasi (kritis) adalah juga operasi mengubah dunia yang kita tinggal.

Bagi saya, Benny Denar sedang terlibat dalam operasi mengubah dunia itu, dengan membaca ulang persoalan tambang, Gereja dan pemerintah daerah dengan “neoimperalisme” sebagai Big Other (istilah psikoanalisis Lacanian).

Maka, pada tempat yang pertama saya mengucapkan apresiasi sedalam-dalamnya kepada Benny atas usahanya membuka secara terang benderang cerita tentang operasi neoimperalisme melalui komparador-komparadornya di bumi Congka sae ini.

Agar tidak disebut sebagai komparador neoimperalisme, Gereja seharusnya terlibat dalam gerakan mewalan setiap manifestasi neoimperalisme (tambang) di tanah Manggarai.

Setidaknya itu pesan awal buku Benny Denar, “Mengapa Gereja (Harus!) Tolak Tambang”.

Dalam buku ini, Benny secara apik menggunakan perkakas teologis dan etik untuk mendesak Gereja segera terlibat aktif dalam gerakan anti-tambang.

Bahwa Gereja tidak boleh “masuk angin” dalam setiap laku profetisnya membebaskan dan menyelamatkan umat dari monster tambang. Setidaknya, masih banyak umat yang berharap bahwa Gereja bukan sekedar obat penenang bagi para neoimperalis dan investor tambang.

Gereja sejatinya masih merupakan sebuah kekuatan sosial penting. Atas posisi itulah, peran Gereja semakin penting dalam konteks “kontra”operasi tambang yang imperilistik.

Dalam konteks itu pula, buku Benny Denar ini hanyalah semacam aposteriori document. Gereja sudah melakukan nyaris semua yang dianjurkan. Di media kita membaca tulisan para intelektual tentang keresahan dan kegelisaan Gereja atas tambang.

Gereja sudah melakukan aksi demo serentak di tiga kabupaten di tanah congka sae. JPIC sudah melakukan banyak kegiatan advokasi pada masyarakat korban tambang.

Tetapi, pertanyaan tentu saja, mengapa operasi tambang masih terus ada?

Ada tangan-tangan kekuasaan yang sedang bermain dalam operasi tambang. Atas operasi tambang yang imperialistik, negara (pemerintah daerah) telah membuat realitas sosial yang begitu miris dan menyesakaan.

Sebuah situasi masyarakt tanpa negara, dimana pemerintah daerah meninggalkan warganya demi sekeping kekayaan dan mahar politik.

Mengapa masyarakat tanpa negara? Tunas-tunas regim predator sedang tumbuh dalam pemerintah daerah.

Untuk setumpuk kekuasaan, sumber daya alam digadaikan. Lantas, apakah pemerintah daerah tidak cerdas dalam menganalisa dampak-dampak negatif operasi tambang?

Regim kita sudah sangat cerdas untuk memeriksa setiap dampak tragis akibat operasi tambang.

Persoalannya, magnet kepentingan ekonomi dan politik pragmatis terlalu kuat. Inilah “penyakit” fetishist disavowal pemerintah kita atas tambang. Bahwa pemerintah daerah di Manggarai Raya ini sudah tahu (tentang dampak negatif tambang), tetapi mereka pura-pura tidak tahu, sehingga mereka tidak tahu.

Karena hal itu yang didukung sikap masa bodoh, masyarakat menjadi korban. Masyarakat bukan lagi diangkat sebagai subjek pembangunan, tetapi justru didorong lebih jauh ke lubang penderitaan dan kemiskinan.

Masyarakat tidak jaya di tanahnya sendiri, justru didepak keluar dari tanah yang menjadi sumber rahmat penghidupannya. Lantas dimana pemerintah daerah sebagai abdi negara yang melayani rakyatnya?

Pemerintah daerah kita sedang mengekslusi masyarakatnya dalam proses pembangunan. Manakala pembangunan membutuhkan sumbangsih sumber daya dan pemikiran dari masyarakat, pemerintah kita tidak merangkum dan memberi akses kepada masyarakat, malah menciptakan “denizens”(masyarakat yang tak dianggap).       

Derita yang dekat dengan “denizens” adalah kemiskinan. Segalanya menjadi sangat rumit bagi masyarakat. Persoalan utamanya adalah laku koruptif para pejabat pemerintah kita. Pejabat bukan lagi abdi negara, melainkan abdi investor asing.

Pejabat bukan lagi abdi masyarakat, melainkan politician in uniform. Mereka adalah para kapitalis birokrat, yang menjual tanah air dan bangsa dengan memanfaatkan jabatan demi keuntungan pribadi dan investor tambang.

Manakala mereka bermesraan dengan para investor tambang, demokrasi ekonomi kita sedang berada di pasar gelap dalam lajur “demokrasi burung hantu”.

Dalam demokrasi burung hantu ini, semua negoisiasi nepotis dan deal bulus terjadi mulus dan mutualis.

Dengan begitu, segenap sumber daya politik pun dirayakan demi kepentingan investor. Lantas, harapan akan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi daerah pun menjadi jauh panggang dari api sebagai akibat birocratic involution tersebut.

Birocratic involution tidak berdampak baik bagi pertumbuhan ekonomi daerah sebab segenap sumber daya terhisap ke luar.

Karenanya, politik lokal hanyalah mainan kecil bagi para investor, khusunya investor asing, manakala para pemimpin kita begitu lunglai, lemah, loyo di hadapan mereka.

Lembaga peradilan, TNI/Polri bahkan preman berwajah sipil pun dimaanfaatkan sebagai algojo demi kepentingan investor sebagai raja fulus.

Dan, di hadapan masyarakat, algojo tersebut justru lebih meraja dari pada raja an sich.

Karena itulah, publik, kita semua harus tolak tambang sebab luka masyarakat dan tanah ini sudah menganga.

Mengutip Richard Wagner, dalam karya opera terakhirnya “Parsifal”, die Wunde schließtder Speer nur, der sie schlug” (Luka hanya akan sembuh oleh lembing yang menusuknya), mengaku atau pun tidak, pemerintah adalah lembing yang telah menusuk sanubari dan jantung kehidupan sosio-budaya, ekonomi dan politik dengan runcing tambang.

Oleh karena itu, pemerintah pulalah yang harus berani “mengobati” dengan mencabut  dan mengusir perusahan tambang di tanah congka sae ini.

Pemerintah harus tolak tambang. Gereja sudah tolak tambang. Masyarakat dan segenap elemen sipil menolak tambang.

Tetapi, perjuangan ini masih sektarian, sendiri-sendiri. Cara ini adalah lama, cara yang merevitaliasi dendam kesumat berserta ego institusi berikut kepentingan pragmatis sebagai derivatifnya.

Kita harus duduk bersama untuk membahas semua yang penting bagi kebaikan bersama. Sikap rendah hati untuk mau mendengarkan lintas sektoral dan institusi dan kepentingan.

Selama kita masih berjuang sendiri – tanpa mau duduk bersama dan sikap rendah hati untuk saling mendengarkan – neoimperalisme dengan segenap turunannya selalu akan menang dan mengeksploitasi tanah kita.

Tentu, kita semua bukan “Fukuyamaist” yang mengamini kemenangan sejarah ideologi neoimperialisme-neoliberalisme.

Saluran desentralisasi politik harus diikuti oleh desentralisasi ekonomi. Bahwa pemerintah punya kekuatan untuk memberdayakan masyarakat dengan program-program yang berkelanjutan.

Kerja sama ekonomi lintas pemerintah dalam wilayah Manggarai Raya harus dibangun dan dieratkan. Kerja sama ini dapat dilaksanakan dengan melihat dan mempertimbangkan faktor-faktor terbelakang, potensial dan unggulan (leading sector) di masing-masing daerah.

Dari situ, masing-masing dari daerah bisa membangun sentra-sentra ekonomi dengan sistem anglomerasi dan menguatkan ekonomi-politik “land mark”.

Selain itu, dengan kewenangan dalam desentralisasi fiskal, pemerintah daerah dapat mengatur kekuangan daerahnya sendiri dalam hal pengeluaran dan pendapatan.

Dengan kebijakan, peraturan dan perda, pemerintah dapat meningkat pajak daerah. PAD tidak mesti harus dari tambang (sektor ekstraktif), sebab sumbang sektor ini tidak signifikan terhadap PAD (Manggarai, Rp 132 juta dari Rp 38. 247. 543.544 miliar pada tahun 2012).

Artinya, masih banyak alternatif kebijakan dan strategi ekonomi politik yang bisa dikerjakan pemerintah daerah, masyarakat dan segenap elemen publik untuk membangun daerah.

Bahwa, pertumbuhan ekonomi daerah bisa meningkat dan kesejahteraan masyarakat bisa merata tanpa melibatkan investor tambang.

Akhirnya, manakala kebijakan negara (pemerintah daerah) tanpa ideologi untuk rakyat, secara tidak sadar nasib rakyat sedang digadaikan kepada kaum kapitalis demi kepentingan dan keuntungan merek.

Kita sedang melawan mereka!

Penulis adalah pemerhati isu-isu sosial politik di NTT

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini