Ketika Langkah Sebastian Salang Terganjal Mahar Politik

Sebastian Salang sedang mengikuti kegiatan tanam bambu di Golo Lusang, Ruteng, Manggarai, Minggu (10/5/2015) bersama berbagai komunitas peduli lingkungan.
Sebastian Salang sedang mengikuti kegiatan tanam bambu di Golo Lusang, Ruteng, Manggarai, Minggu (10/5/2015) bersama berbagai komunitas peduli lingkungan.

Floresa.co – Sebastian Salang tak terus maju dalam proses pemilihan umum kepala daerah di Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pengamat politik ini, menolak membayar mahar dalam jumlah yang fantastis kepada partai yang ingin memberikan dukungan kepadanya.

Motivasi Maju dalam Pilkada Manggarai

Sebelum memutuskan untuk maju dalam proses pemilihan umum kepala daerah tahun ini, Sebastian berkonsultasi dengan sejumlah kalangan.

Ia mengatakan ada orang yang setuju dengan niatnya itu. Namun, ada pula yang tak setuju. Pihak yang tidak mendukung, kata dia, memiliki alasan yang penting juga untuk menjadi pertimbangannya.

Diantaranya, mempertimbangkan kiprah Sebastian selama ini di level politik nasional. “Untuk apa kembali lagi ke daerah dan ini tidak tanggung-tanggung ke daerah ini ke kabupaten. Menurut mereka ini mundurnya terlalu jauh sekali,”cerita Sebastian dalam jumpa pers di kantor Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) di Jakarta, Selasa (28/7/2015).

Ada juga yang pesimis Sebastian bisa mendapatkan partai mengingat selama ini  Sebastian sangat getol mengkritik kiprah partai.

“Ada rasa pesimis bahwa orang seperti Sebastian yang getol bicara soal pemberantasan korupsi, getol bicara soal  membangun politik yang beradap, getol bicara soal bagaimana pembenahana partai politik dan menolak money politic dan mahar politik. Mereka pesimis nanti partai ini belum tentu mendukung. Dan bahkan ada pertanyaan, apakah ada tempat orang seperti Sebastian ditengah politik kita yang sudah sedemikian transaksional ini,”ujarnya.

Atas berbagai keraguan para sahabatnya itu, Sebastian menjelaskan motivasinya maju dalam pilkada.

“Saya punya mimpi dan saya kira itu juga mimpi banyak orang, bahwa di tengah kusutnya politik kita di Indoneisa ini, di tengah cerita tentang transaksional yang terjadi partai politik dalam pemilu legislatif dan sebagainya, saya masih bahwa masih ada orang-orang baik di partai politik, masih ada pemimpin-pemimpin partai yang juga punya hati nurani dan juga punya obsesi untuk membangun politik Indonesia yang makin beradab dan ingin membangun Indonesia juga cara yang beradap. Dan ingin menjadikan partai politik itu menjadi kendaraan untuk memperbaiki Indonesia ini,”ujarnya.

Sebastian juga percaya partai politik di Indonesia punya mimpi besar untuk membangun Indonesia. Dan mimpi besar itu salah satunya diwujudkan melalui pilkada dimana pembangunan Indonesia dimulai dari daerah.

Sebastian percaya, proses pilkada adalah cara atau pintu masuk bagi partai politik untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin di daerah agar Indonesia ini bisa diperbaiki dari daerah.

Sebastian pun ingin menjadi bagian dari upaya memwjudukan pembangunan Indonesia dari daerah itu. Maka ia pun memilih menjadi kepala daerah tapi bukan gubernur melainkan bupati.

“Kalau ingin merubah suatu daerah dan ingin menjadikan daerah itu menjadi contoh dan inspirasi bagi perubahan di daerah lain, maka pilihannya adalah harus menjadi bupati. Karena kalau menjadi gubernur, gubernur itu tidak punya wilayah.

Perubahan yang dibuat oleh Gubernur, selain DKI Jakarta, itu tidak bisa dirasakan. Karena yang punya wilayah, yang punya rakyat secara langsung itu adalah bupati,”ujarnya.

“Karena itu, obsesi saya, mengapa saya memilih untuk mengambil bagian dalam Pilkada ini, saya ingin menjadi bupati di salah satu kabupaten di daerah di NTT dan ingin menjadikan daerah ini menjadi daerah model, menjadi model perubahan di Indonesia ini, sehingga daerah itu menjadi inspirasi bagi perubahan-perubahan di daerah lain,”tambahnya.

Mengapa memilih Manggarai di NTT? Selain karena Sebastian berasal dari NTT, juga ia punya misi untuk membebaskan NTT dari berbagai stigma buruknya selama ini, seperti daerah tertinggal, daerah miskin, dan daerah gersang.

“Kalau saya berhasil membangun Manggarai dan menjadi inspirasi perubahan di sekitarnya, maka kemudian stigma jelek tentang NTT itu berubah,”tandasnya.

Sebastian juga ingin mengangkat Manggaria ke etaslase politik Nasional. Selama ini, kata dia, ada beberapa daerah yang sudah sedemikian populer di telinga masyarakat Indonesia karena kiprah pemimipinnya. Misalnya, Kota Bandung dengan Ridwan Kamil-nya, Kota Surabaya dengan Ibu Risma-nya, dan dulu Solo dengan Jokowi-nya.

Sebastian pun menjelaskan motivasinya itu kepada para koleganya yang pesimis dengan rencannya untuk bertarung dalam Pilkada. “Dengan penjelasan itu mereka merelakan dan mendukung untuk saya ikut pilkada,”ujanrya.

Pilihan Maju Melalui Partai Politik

Ada dua alternatif untuk maju dalam pilkada. Selain melalui partai politik juga melalui jalur perseorangan. Namun, Sebastian memilih untuk maju lewat partai politik. Ia punya alasan kenapa maju hanya melalui partai, meski ada juga yang mendorongnya untuk maju saja melalui jalur perseorangan sebagai antisipasi bila partai tak beri dukungan.

“Selama belasan tahun saya dan teman-teman di Formappi selalu mendorong pengutan partai politik, selalu mendorong perbaikan partai politik, selalu ingin malakukan reformasi partai politik dari dalam. Karena menurut kita partai politik ini penting, tidak ada demokrasi tanpa partai politik. Karena itu, pilihan kita kalau mau masuk politik praktis, maka pilihan kita melalui partai politik. Ketika masuk, kita punya tanggung jawab moral untuk melakukan perbaikan partai politik dari dalam minimal di lingkungan kabupaten. Karena itu, memutuskan untuk memilih masuk dari partai politik,”begitulah alasannya kenapa Sebastian maju melalui partai bukan jalur independen.

Setelah memutuskan untuk ikut bertarung dan maju melalui partai politik, Sebastian pun mulai melakukan pendekatan dengan partai. Ia mengatakan mulanya teman-temannya di partai memberikan respons yang positif.

“Bahkan ada partai politik yang memberikan janji, memberikan harapan nanti partai kita akan mendukung. Bahkan ada partai yang dalam diskusinya itu, mau memberikan dukungan pembiayaan kalau Sebastian maju dan ini membesarkan harapan dan semangat saya,”ujarnya.

Namun, ketika masuk ke tahap perekrutan, Sebastian mulai menjumpai wajah sebenarnya dari partai politik yaitu pragmatisme.

“Alasan pertama yang mereka munculkan itu adalah pertama dasar partai politik ini adalah survei. Menurut saya ini adalah bentuk pragmatisme pertama dari partai politik yang saya temukan dalam proses ini,”ujarnya.

Sebastian mengaku tak keberatan dengan survei sebagai metode ilimiah untuk menakar elektabilitas. Namun, bukan itu satu-satunya. Survei, katanya, justru membuat calon-calon baru terhambat.

“Karena ternyata dari seluruh hasil survei itu yang paling tinggi elektabilitasnya di seluruh daerah itu adalah incumbent. Maka partai-partai kemudian berlomba-lomba untuk mencalonkan kembali para incumbent,”ujarnya.

Celakanya, partai tak lagi melihat track record atau rekam jejak incumbent. Parpol tidak peduli, incumbent ini sudah berbuat baik tidak untuk daerahnya. Tidak pedulu incumbent ini punya track record yang baik tidak selama dia menjadi kepala daerah. Tidak peduli,seberapa besar pembangunan yang sudah dilakukan di daerah.

“Bahkan ada partai yang masih semangat meskipun incumbent itu sudah bermasalah, ada yang sudah dilaporkan ke aparat hukum bahkan ada yang sudah menjadi tersangka. Masih dengan sadar partai politik itu memberikan dukungan.

Selain populer, incumbent juga memang punya uang. Karena itu, menurut Sebastian,semangat yang terjadi di daerah-daerah itu adalah incumbent-incumbent itu memborong partai-partai. “Maka tidak heran kalau ada fenomena di beberapa daerah itu yang maju tinggal satu, incumbent. Atau yang maju itu tinggal satu yang paling banyak uangnya,”ujarnya.

Terganjal Mahar yang Fantastis

Dalam situasi pragmatisme partai politik itu, Sebastian tetap melamar ke sejumlah partai. Ia mengikuti fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatuan di beberapa partai.

Partai-partai tersebut adalah PDI-Perjuanga, Demokrat, Golkar dan PKB. Namun, hanya PKB dan Golkar (dua kubu) yang memberikan dukungan kepadanya.

“Sampai hari ini saya tidak mendapat penjelasan mengapa PDI-P itu tidak mendukung saya. Yang kedua, apakah hasil fit and proper test saya itu buruk atau baik, tidak ada penjelasan sedikit pun. Saya tidak mendapat penjelasan yang rasional, mengapa PDI-P tidak mendukung saya. Belum ada jawaban dari teman-teman PDI-P. Meskipun memang saya tidak dimintai mahar oleh PDI-P,”ujarnya.

“Demokrat juga sama. Tidak ada penjelasan soal hasil fit and proper test-nya seperti apa, lalu,mengapa tidak mendukung dan mengapa mendukung. Bahkan berkas saya itu tidak disampaikan ke DPP, hanya berhenti di DPD, di tingkat provinsi, karena fit and proper test-nya di provinsi. Jadi, tidak ada penjelasan sedikit pun,”ujarnya.

Sebastian memberi apresiasi kepada Golkar baik kubu Agung Laksono maupun Aburuzal Bakrie. Ia mengaku mengikuti fit and proper test di Golkar.

“Setelah selesai proses fit and proper test itu, mereka (Golkar) menyampaikan hasilnya. Lalu, mereka memberikan dukungan,”ujarnya.

“Dukungan Golkar ke saya itu adalah tanpa mengeluarkan uang sepersen pun. Dan ketika mereka mengumumkan untuk saya maju mereka umumkan kepada publik dan saya diundang di depan wartawan-wartawan juga mereka umumkan, kenapa mereka mendukung saya dan saya sendiri tidak memberikan uang,”ujarnya.

“Karena itu, lepas dari konflik di Golkar saat ini, saya mendapat dukungan dari dua kubu di Golkar, dan saya memberi apresiasi kepada mereka. Mereka mengatakan keliru kalau partai seperti Golkar dan parta lain keliru kalau tidak memberikan dukungan kepada Sebastian,”tambahnya.

Sebastian juga mendapat dukungan dari PKB yang memiliki dua kursi di DPRD Manggarai. Namun, dukungan dari PKB dan Golkar tak cukup untuk menghantarkan Sebastian menjadi calon bupati, karena akumulasi jumlah kursi keduanya baru enam, minus satu kursi.”Satu kursi ini menjadi sangat menentukan,”ujarnya.

Sebastian berhadapan dengan pilihan apakah melanjutkan proses atau mencari tambahan satu kursi. Ia pun memtuskan untuk mencoba melobi beberapa partai untuk mencari tambahan satu krusi itu.

“Tentu dengan sikap dasar saya bahwa saya mau maju dalam pilkada ini saya ingin menjadikan daerah itu sebagai contoh, sebagai model, maka saya ingin memulai proses politik di pilkada ini tanpa mengeluarkan uang,”ujarnya.

Karena PDI-P sudah memilih Herybertus GL Nabit, Sebastian tidak lagi melobinya. Di sinilah ia menjumpai kenyataan partai mencoba menawarkan mahar sebagai kompensasi dukungan politik kepadanya.

“Memang pengalaman saya ini, saya tidak pernah diomongin secara langsung oleh partai untuk minta duit. Tetapi orang di sekitar saya, sudah mulai didekatin dengan model-model, ada dengan bahasa yang halus,”ujarnya.

Namun, kepada timnya Sebastian menegaskan menolak menggunakan sogokan uang untuk mendapatkan dukungan partai. “Kalau kita membayar, maka lebih baik saya mundur. Saya tidak bisa memulai proses pilkada ini dengan cara-cara seperti ini,”ujarnya.

“Ada partai yang minta dengan sangat fantastik. Dan menurut saya model-model seperti ini, ini adalah awal kehancuran calon-calon kepala daerah. Ini baru untuk mendapat perahu. Belum nanti untuk memenangkan pertarungan di masyarakat. Karena itu, kalau dengan partai politik, sudah berani membayar, maka godaan berikutnya, kita akan tergoda untuk membayar pemilih agar mendukung,”tambahnya.

Sebastian mengaku untuk mengumpulkan uang untuk keperluan pilkada sebenarnya tidak sulit. Asalkan mau, kata dia banyak cukong yang bersedia menyetor uang, seperti para kontraktor atau pemilik izin pertambangan.Namun, ia tidak mau menempuh jalan itu.

“Karena itu, pilihan saya, sampai hari ini saya memilih untuk stop prosesnya sampai kemarin (27 Juli). Saya tidak melanjutkan. Meskipun nanti KPU memperpanjang proses, saya memilih untuk stop samapi di sini,”tegasnya.

Pelajaran yang Diperolah

Meski akhirnya, gagal untuk maju dalam proses Pilkada Manggarai, namun Sebastian menaku banyak pelajaran berharga yang ia peroleh dari proses yang telah ia lewati.

“Yang saya lihat begini. Ternyata jauh sekali antara mimpi kita tentang pilkada ini sebagai momentum demokrasi untuk memilih orang terbaik di daerah. Karena partai politik, terjebak dalam pragmatisme mencari orang yang elektabilitasnya tinggi dan itu rata-rata jatuh ke incumbent. Kemudian orang yang punya uang,”ujarnya.

Meski demikian, Sebastian berharap agar orang-orang muda yang memiliki idealisme untuk memperbaiki Indonesia untuk tidak berhenti berjuang.

“Karena saya yakin sekali, ada banyak orang di Indonesia ini yang punya komitmen, punya integritas, punya kemampaun dan track record yang baik, tetapi mereka tidak berdaya dengan sistem politik seperti ini. Tapi kalau kita berhenti berjuang untuk memperbaiki ini, maka harapan kita untuk memperbaiki Indoensia dari daerah menjadi pupus,”ujarnya.

Kepada para simpatisan dan pendukungnya, Sebastian berpesan itu tidak merasa kalah dan merasa malu. “Karena ini juga memberikan pesan, di tengah pragmatisme politik yang luar biasa, dalam proses pilkada ini, masih ada orang seperti kita ini yang ingin tegak menunjukan prinsip nilai yang kita pegang, bahwa mahar politik, politik uang itu harus dilawan. Meksipun risikonya tiak jadi maju. Kita harus tunjukan kepada bangsa ini, supaya masih ada harapan, masih ada spirit masih ada harapan untuk melihat Indonesia ini lebih baik,”pungkasnya. (Petrus D/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini