Cara Baca Pemimpin

venansius.jpg bagu

OLEH : VENANSIUS HARYANTO

Sebentar lagi, delapan kabupaten di provinsi NTT akan memilih pemimpinnya yang baru. Satu hal yang pasti bahwa semua kabupaten bermimpi yang sama, kelak yang terpilih adalah the best one dari ke sekian calon yang tampil dalam helatan lima tahunan ini. Lantas, inti pertanyaannya adalah pemimpin mana yang cocok dengan daerah kita? Pertanyaan yang jamak, tetapi sepertinya menjadi agak rumit untuk dijawab kalau dipikirkan secara ‘masak-masak’.

Telusur

Pertanyaan di atas dijawab secara berbeda oleh rakyat. Dari kesekian jawaban yang terlontar dari mulut rakyat (baca: pemilih), satu jawaban yang menurut saya boleh ‘dibaptis’ sebagai jawaban favorit rakyat NTT saat ini. Sebagian (besar) rakyat kita ‘paten’ dengan anggapan bahwa pemimpin itu harus orang yang (berkepribadian) baik. Pemimpin ideal dipersepsikan sebagai pribadi yang ‘sedap’ dipandang berkat karakter tertentu seperti kesantunan berbicara, luwes dalam bergaul, mudah menerima pendapat orang lain dan sederetan kualitas lain yang bersentuhan dengan prihal etik pribadi. Masyarakat kita cenderung ber-chemistry (terkesan) dengan pemimpin seperti ini. Rakyat kecil (di desa-desa) yang mana merupakan mayoritas masyarakat di NTT sudah ‘mengakar’ kuat dengan pandangan seperti ini. Lantas, salah atau kelirukah itu?

Saya sendiri tidak bermaksud menyalahkan masyarakat yang sudah ‘paten’ dengan anggapan ini. Sekadar menelusur jawaban atas pertanyaan di atas, yang juga mungkin terkesan ‘lebai’ (berlebihan) atau terlalu memperumit hal yang sebenarnya sederhana, saya coba tuk bependapat agak lain.

Hemat saya, pandangan terhadap pemimpin seperti ini (baca: pemimpin yang berkepribadian yang baik), merupakan cerminan dari hubungan yang terjalin antara pemerintah dan rakyat selama ini. Mungkin kita menganggapnya sebagi hal yang biasa-biasa saja, tetapi hemat saya, selama ini kita telah mengesahkan hubungan yang sebenarnya ‘dominatif’ antara kita sebagai rakyat di hadapan pemerintah. Hal ini terbungkus rapi dalam sejumlah sebutan kita terhadap pemerintah/pemimpin politis seperti pejabat, kaum elit, atau kami orang Manggarai menyebutnya sebagai tuang mese (tuan besar).

Cara baca ini kian dimantapkan oleh ‘jarak materi’ yang sudah menjadi semacam ‘keniscayaan’ ketika seorang menjadi pemimpin. Fasilitas seperti mobil, rumah, uang perjalanan dinas kian menguatkan persepsi masyarakat kecil bahwa pemimpin itu identik dengan kekuasaan, pasti juga menyusul kekayaan.

Di tengah kuatnya pandangan ini, pemimpin yang tampil low profile dirasa sebagai suatu antitesis dari apa yang telah menjadi mainstream selama ini. Saya kira ini yang terjadi dengan Jokowi kala itu. Rakyat serempak terpesona dengan pemimpin yang satu ini. Sementara Prabowo cenderung dinilai sebagai pribadi yang agak congkak dari cara ia berpendapat di hadapan publik. Problemnya adalah apakah modal etik seseorang, menjamin dirinya bakal menjadi pemimpin yang visioner/revolusioner?

Bisa saja, pemimpin yang beristri banyak yang dinilai sebagai tabiat buruk, justeru lebih baik dalam memimpin ketimbang seorang yang lain misalnya. Kita akhirnya bersentuhan dengan soal etika pribadi dan etika institusi. Bahwasannya pemimpin yang baik tidak dijamin oleh karakter pribadi yang baik tetapi yang paling penting adalah wawasan institusi dalam hal ini wawasan politis.

Kontekstualisasi

Sebagai rakyat (NTT), sepertinya kita perlu melangkah lebih maju dalam cara membaca pemimpin. Bahwa pemimpin haruslah pribadi yang berkarakter baik, itu perlu, tetapi itu tidak menjadi satu-satunya ideal pemimpin politis (pemerintah) yang ideal.

Ada bahaya, saking kuatnya persepsi pemimpin seperti itu, maka pemimpin yang berwawasan perubahan tidak lagi menjadi titik perhatian hanya karena karakter cara bicaranya yang agak congkak saat kampanye misalnya. Ingat pemimpin politis tidak terutama bersentuhan dengan etika pribadi, tetapi lebih bersinggungan dengan perkara menjadi pemimpin atau jelasnya menjadi ‘pekerja’ bagi banyak orang yang kadang harus tegas, prinsipil kadang juga egois untuk kebaikan bersama.

Melalui tulisan ini, saya hanya mau bilang, sudah saatnya kita mencari pemimpin yang berwawasan politis yang visioner guna memanfaatkan sumber daya (manusia dan alam) yang selama ini hanya terkubur sebatas potensi di tanah kita. Sepakat dengan Emanuel Kant, pemimpin itu harus licik seperti ular tetapi tulus seperti merpati. Kita butuh pemimpin yang punya segalanya untuk kebaikan daerah kita.

Alumnus STFK Ledalero, tinggal di Kota Yogyakarta

 

spot_img

Artikel Terkini