Manggarai Raya dalam Bahaya, Gereja Tak Boleh Pasif

 

Suasana diskusi bertajuk “Manggarai Raya, Pencaplokan, dan Masa Depan Daerah Kita” di Aula Efata Ruteng, Sabtu (19/7/2015).
Suasana diskusi bertajuk “Manggarai Raya, Pencaplokan Sumber Daya, dan Masa Depan Kita” di Aula Efata Ruteng, Sabtu (19/7/2015).

Ruteng, Floresa.co – Mencuatnya beragam persoalan di Manggarai Raya, seperti pencaplokan sumber daya alam dan proses peminggiran terhadap masyakat kecil dalam praktek pembangunan memperlihatkan masa depan daerah itu yang kini dalam bahaya.

Hal itu merupakan satu satu poin yang muncul dalam diskusi bertajuk “Manggarai Raya, Pencaplokan Sumber Daya dan Masa Depan Kita” di Aula Efata, Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sabtu (19/7/2015).

Diskusi itu digelar bersamaan dengan launching buku “Mengapa Gereja (Harus) Tolak Tambang?”  yang ditulis Diakon Benny Denar, lulusan pasca sarjana di STFK Ledalero, Maumere.

Selain Diakon Benny, pembicara lain dalam diskusi adalah  peneliti Manggarai Raya Institute (MRI), Alfred Tuname; Direktur Penerbit Ledalero, Otto Gusti Madung; Peneliti Sunspirit for Justice and Peace, Kris Beda; Ketua JPIC Keuskupan Ruteng, Romo Marten Jenarut Pr dan Romo Max Regus Pr.

Diskusi ini sekaligus menjadi bagian dari rangkaian kegiatan penutupan Sinode III Keuskupan Ruteng yang sudah dimulai pada Senin awal pekan ini.

Gejala Mencemaskan

Dalam presentasinya, Diakon Benny mengatakan, masa depan Manggarai Raya berada di bawah bayang-bayang neoliberalisme dan neokapitalisme.

Atas nama pembangunan demi mengubah wajah kemiskinan, kata dia, neoliberalisme dan neokapitalisme justru menciptakan masalah demi masalah.

“Manusia diinstrumentalisasikan, politik dan bisnis berkongkalilong, dan terjadi proses marginalisasi. Ini adalah patologi dari neoliberalisme,” jelasnya.

Menurutnya, bukan saja pertambangan yang sudah mengandung patologi tersebut, tetapi juga di sektor lain.

Terkait tambang, katanya, alih-alih membawa kesejahteraan, faktanya justru berpotensi bahkan terbukti sudah merusak nilai-nilai kultural, politik, sosial dan ekonomi.

Alfred Tuname, yang juga mengomentari masalah tambang mengatakan,  rumitnya masalah ini berhubungan dengan absennya political will dari para pemimpin lokal.

“Pemimpin itu bukan bodoh dan tidak tahu, tetapi mereka cerdas dan menghendaki cita-cita kapitalisme terwujud” jelasnya.

Sementara itu, Kris Beda mengaitkan invasi kaum kapitalis dengan sejumlah fakta di Manggarai Barat.

Di luar tambang, menurutnya, invasi kaum kapitalis sudah merangsek masuk dalam wajah lain seperti proses privatisasi di Labuan Bajo.

“Hampir semua pulau di Labuan Bajo sudah dibeli oleh orang asing!” jelasnya.

Menurutnya, seiring dengan terjadinya proses privatisasi terhadap tanah, air, pesisir, dan pulau itu, manusia dengan sendirinya tersingkir.

“Konsekuensi selanjutnya, orang Manggarai Raya mengalami krisis identitas,” kata Kris.

Gereja Harus Terlibat

Di tengah situasi memperihatinkan ini, para pembicara sepakat bahwa, Gereja Katolik yang sejauh ini memiliki kekuatan dan pengaruh perlu mengambil peran untuk mengatasi bahaya itu.

Di hadapan Uskup Ruteng Mgr Hubert Leteng Pr dan para imam lain, yang ikut dalam diskusi itu, Romo Max Regus mengingatkan pentingnya Gereja melibatkan diri dalam politik.

“Keterlibatan Gereja dalam menata dunia adalah panggilan dasar Gereja. Kalau politik adalah jalan menata dunia ini lebih baik, maka Gereja juga mesti masuk dalam ranah yang sama,” katanya.

Senada dengan Max, Benny  menambahkan, mesti dicatat, sikap Gereja perlu semakin hati-hati.

Pasalnya, kata dia, kaum neolib dan kapitalis serta Gereja punya orientasi yang sejajar, yakni mengangkat martabat manusia.

“Gereja karenanya perlu  menunjukkan sikap yang berbeda. Memberikan model pembangunan alternatif yang tidak membawa mudarat bagi rakyat,” jelasnya.

Oleh karena itu, dia berharap, agen pastoral dalam hal ini kaum hierarki mampu menjadi corong perubahan sembari tidak melakukan korupsi agar model pembangunan alternatif mampu mengerem laju kapitalisme.

Bagi Romo Marten Jenarut, sebagai bukti keterlibatan itu, Gereja perlu menjawab, bagaimana cara konkret menolak tambang dan bagaimana mempengaruhi kebijakan publik.

Karena, kata dia, kebijakan tambang sangat erat hubungannya dengan niat politik dari pemimpin politik.

Terkait desakan keterlibatan itu, Otto Gusti Madung mengatakan, Gereja memang mesti mengoreksi diri sendiri, agar tidak sekedar mengurus hal-hal ritual, tetapi juga menjadikan partisipasi dalam mengatasi masalah sosial sebagai prioritas.

Namun, ia menambahkan keterlibatan Gereja dalam politik misalnya, bukan tanpa catatan.

“Gereja tidak boleh terlibat dalam politik praktis. Keterlibatan gereja, membantu menyuarakan kepentingan masyarakat, dalam bidang etika dan moral,” kata Dosen Filsafat Politik dan HAM di STFK Ledalero itu.

Karena itu, tambahnya, “Sekalipun seorang calon bupati diketahui seperti seorang malaikat, seorang imam tidak boleh turut memberikan rekomendasi.”

Diskusi yang Alot

Pantauan Floresa.co, diskusi yang dimulai pukul 11.00 Wita  dan berakhir pukul 14.00 tersebut berlangsung alot.

Perdebatan memanas saat moderator diskusi, Cypri Jehan Paju Dale, memberikan ruang bagi peserta menyampaikan lebih banyak gagasan dan uneg-uneg daripada sekadar pertanyaan.

Andre Garu, Anggota DPD yang ikut dalam acara itu mengatakan, masalah sosial sangat kompleks, maka advokasi persoalan sosial baik oleh LSM dan Gereja tidak boleh tebang pilih.

“Kenapa pertambangan pasir tidak pernah didiskusikan?” katanya merespon diskursus soal tambang.

Sementara itu, salah satu calon bupati Herry Nabit, menyoroti Ajaran sosial Gereja (ASG), yang menurutnya belum akrab di tengah masyarakat.

Diskusi ini dihadiri kurang lebih 70 orang, baik dari kalangan hirarki, politisi, tokoh masyarakat, anggota DPR dan mahasiswa.

Herry Nabit satu-satunya bakal calon bupati yang hadir. Yang lain memilih tidak hadir, dengan alasan penyelenggaraan diskusi itu bertepatan dengan hari libur. (Gregorius Afioma/ARL/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini