[Cerpen] Saat Cinta itu Sulit Dipercaya

 

OLEH : GREGORIUS AFIOMA

Pada hari Valentine, saya ada janji tukaran coklat dengan teman-teman di kelas. Ketika sedang membungkus kado pada pagi hari, seorang teman menyindir saya. “Apa sih arti cinta menurut kamu?” Saya hanya tertawa meresponnya dan terus membungkus kado agar terkesan indah dan menawan.

Tapi hari ini sebelum  ikut acara tukaran kado di kelas, saya ada janji bertemu dengan seorang teman. Sudah lama kami tidak berjumpa dan kebetulan dia datang ke kota ini, tentu saya coba menyediakan waktu untuk bertemu dengannya.

Namanya Renza. Dulunya kami teman sekolah menengah, tinggal bersama di sebuah asrama selama 4 tahun. Setelah tamat SMA kami berpisah dan tidak pernah bertemu sampai sekarang. Sudah menghampiri enam tahun.

Setahu saya dia orang yang punya selera humor yang tinggi, rajin, dan kadang-kadang menjadi pendiam yang tiba-tiba. “Dia kayaknya lagi memirkan sesuatu tuh.” kata teman-teman kalau dia tiba-tiba menjadi pendiam, jauh dari biasanya.

Kabar terakhir tentangnya  memang menyedihkan. Setelah tamat SMA dia jatuh sakit. Badannya kurus. Beberapa kali dioperasi di rumah sakit. Dan terpaksa tidak melanjutkan kuliahnya. Tapi kemudian dia pulih kembali.

Suatu waktu saya chatting dengannya melalui facebook. Dan saya menanyainya.

“Aduh rumit kalau diceritakan di sini. Nanti sajalah.” Katanya tidak mau membahas tentang penyakitnya itu.

 

******

Saya pun berangkat ke tempat yang kami janjikan. Di sana dia sudah menunggu. Rambut keritingnya keliatan menarik ketika dibiarkan panjang dan dilihat dari jarak jauh. Badannya  kelihatan berisi dan wajahnya putih dan cerah.

“Sudah lama menunggu?”

“Tidak. hanya sejak satu jam yang lalu”

Untuk kedua kalinya disindir hari ini. Tapi kali ini saya harus tertawa ngakak. Dan satu hal yang jelas, dia belum berubah. Selera humornya masih tercium.

Lalu kami ke sebuah warung yang terletak tak jauh dari tempat itu, memesan kopi dan sarapan pagi, dan mengambil tempat duduk di sudut ruangan itu. Suasana cukup sepi. Hanya ada kami berdua dalam warung itu. Mungkin kami adalah pelanggan pertama hari ini.

“Hey, bagaimana sakitnya dulu?” saya langsung menanyainya soal itu.

Dia tertawa sebentar.

“sampai sekarang tidak pernah tahu, saya sakit apa.”

“Kok bisa?” Nada saya sedikit dinaikkan dari biasanya.

“Itu juga yang menjadi keheranan saya selama ini. Awalnya memang hanya sakit di bagian dada dan demam terus-menerus. Lalu dirawat di rumah sakit. Setelah seminggu rasanya agak baik, lalu saya pulang ke rumah. Hanya dua hari di rumah, harus kembali ke rumah sakit. Lalu dioperasi.

“Operasi apa?”

 

“Ada penyedotan cairan dalam tubuh. Kurang tahu persis istilahnya. Setelah itu, saya dipulangkan ke rumah. Namun ternyata, kondisi saya malah memburuk. Saya tidak bisa tidur. Kalaupun tidur, harus posisi menyamping dan kaki harus ditekuk. Kalau tidur terlentang, rasanya sakit. Badan semakin kurus dan selalu muntah setiap saat. Nafsu makan hilang.Dan akhirnya saya mengalami kelumpuhan. Mama dan bapa selalu bergantian menggendong saya ke WC.”

 

Dia diam sejenak ketika seorang pelayan datang menghampiri kami. Diletakkannya makanan dan minuman yang kami pesan.

 

“Bisa dilanjutkan sambil makan?”

“hahaha kau kelihatan sopan sekarang.” katanya setelah mendengar pertanyaan yang kedengaran formal itu. “Waktu itu saya dibawa lagi ke rumah sakit. Bapa-mama telah banyak menghabiskan uang untuk sakit selama enam bulan itu. Dan kali itu saya hanya bertahan satu minggu di rumah sakit.”

“Kenapa?” saya memotongnya karena penasaran.

“Yeah, pada malam ketika saya dipulangkan ke rumah, saya mempunyai firasat buruk dan belakangan baru saya tahu itu benar bahwa dokter tidak bisa menangani saya lagi. Waktu itu saya tidak bisa berbicara lagi, ada sesuatu yang mengganjal di leher, sehingga saya tidak bisa bertanya, mengapa saya dipulangkan. Saya dibaringkan dalam mobil. Beberapa orang duduk mengelilingi saya. Waktu itu saya merasakan kematian sudah mulai mendekat. Mobil berjalan pelan. Saya memperhatikan semua keluarga yang duduk mengelilingi saya. Tak satu pun dari mereka yang mau melihat saya. Ada pancaran kesedihan dari wajah mereka. Lalu sepanjang jalan, saya seperti ingin memutar kembali semua masa lalu yang saya miliki, termasuk keinginan-keinginan saya di masa kecil. Tetesan air mata tidak bisa dihindari lagi ketika saya sadar semuanya akan segera berakhir. “

Ceritanya itu membuat saya berhenti makan sebentar. Benar-benar menguras rasa empati saya kepadanya dan saya pun menatap langsung ke bola matanya, seolah-olah ingin mencari tahu, apakah masih ada kesedihan yang tersisa di sana.

“Lalu kenapa bisa sembuh?”

“Memang setelah itu, rupanya keluarga sudah pasrah dan menunggu saat yang terburuk terjadi dalam hidup saya. Namun keesokan paginya, tiba-tiba mama sudah duduk di samping saya. Dia mencium kening saya, mengolesnya dengan minyak, dan memerciki air sekililing ruangan itu. Saya agak heran. Pada siang harinya, dia melakukan hal yang sama. Begitu pun sebelum tidur malam. Bukan hanya hari itu, keesokan harinya dia melakukan hal yang sama dan pada waktu sama dan pada hari-hari selanjutnya.”

“Lalu setelah melewati empat hari dia melakukan hal itu terus dan ketika saya sudah sedikit bisa berbicara, saya memanggil mama.’Apa yang mama lakukan?’ tanya saya saat itu. Dia menjawab saya dengan nada yang berat. Katanya, ada seseorang yang menasehati dia untuk melakukan itu. Ini semacam pengobatan alternatif atau black magic.”

“Sejak saat itu saya melihat pengorbanan mama yang sungguh luar biasa untuk pemulihan penyakit saya. Entah kenapa, setiap kali dia mencium, mengoles minyak, dan memerciki air ke seluruh ruangan, saya merasa semakin percaya diri bahwa saya akan sembuh. Harapan saya semakin besar. Apalagi mama selalu mengatakan, ‘kamu pasti merasa lebih baik hari ini’ kan?’. Dan memang betul, sejak itu saya semakin membaik dan akhirnya sehat kembali.”

“Waduh saya sangat terharu mendengar ceritamu.” Saya berkomentar dan sekaligus membuat jeda untuk beberapa saat.

“Ceritanya belum selesai teman.” katanya dengan sedikit tersenyum saat melihat wajah saya yang terkesan melankolis saat mendengar cerita menyedihkan itu.

“Oke, harus dituntaskan kalau begitu.”

“Kamu pasti sudah dengar kabar kalau mama saya sudah meninggal dua tahun lalu. Dan itu juga karena sakit dan dia merahasiakannya dari saya. Tapi okelah saat ini saya tidak menceritakan itu dulu. Lanjut dari yang tadi, ketika saya sembuh, saya lalu lanjut kuliah. Dan liburan pertama, saya kembali ke rumah. Itulah perjumpaan terakhir dengan mama sebelum dia meninggal.”

“Pada suatu sore, saya menghampirinya di dapur. Saat itu saya ingin berbicara dari hati ke hati dengannya tentang sakit yang saya alami dulu. ‘mama, siapa yang beritahu mama tentang cara penyembuhan alternatif itu dulu?’ tanya saya saat itu. Mama menatap saya cukup lama sebelum menjawab pertanyaan itu. Sepertinya ada keraguan yang tersirat dari wajahnya. ‘kenapa kamu ingin tahu tentang orang itu?’ tanyanya lagi memastikan tujuan dari pertanyaan saya. ‘saya hanya merasa berhutang budi dengan orang itu dan mau ucapkan terima kasih.’ Dia tersenyum dan menyuruh saya duduk di sebuah kursi dan dia mengambil tempat duduk yang berhadapan dengan saya. Kami duduk berhadapan”

“ Lalu mama memberitahukan begini, ‘tidak ada yang memberitahu saya tentang itu.’ Dan saat mendengarnya saya merasa terkejut sekali. Katanya, ‘malam ketika kamu dipulangkan dari rumah sakit, harapan saya hampir saja lenyap seratus persen. Semua kami sudah yang ada dalam mobil sudah pasrah. Tapi sebagai seorang ibu saya menyisakan sedikit harapan dan menguatkan hati bahwa kamu pasti bisa sembuh, walaupun logika saya mengatakan, semua itu hanya bahasa penghiburan. Tapi saya tetap menyisakan sedikit harapan itu dan percaya bahwa kamu bisa sembuh.’”

“Pada malam itu, ternyata mama tidak bisa tidur. Dia memikirkan, bagaimana harapannya yang sedikit itu bisa terwujud bahwa saya bisa sembuh. Pada hari itu dia mengatakan begini,’malam itu, saya sampai pada kesimpulan bahwa yang bisa menyembuhkan kamu adalah kamu sendiri. Saya percaya bahwa kamu mempunyai kekuatan dalam dirimu yang bisa menyembuhkan kamu. Yang dapat saya lakukan hanyalah bagaimana kekuatan itu bisa bekerja. Dan malam itu saya menemukan ide atau semacam trik. Pagi-pagi saya mengoleskan minyak di kepalamu, memerciki sekeliling kamar, dan lain sebagainya. Semua itu dilakukan karena didorong oleh harapan yang tinggal sepuluh persen walaupun sebetulnya saya sudah pasrah.”

“Dan ternyata apa yang mama pikirkan itu benar. Saya mulai berangsur membaik, dan harapannya pun bertambah. Lalu pada sore hari itu mama mengatakan kepada saya, ‘apa yang terjadi padamu adalah mujizat yang terbesar yang pernah saya alami.’ Ketika dia mengatakan itu, saya tidak tahan merasa haru. Saya merangkulnya dan menangis. Dan tanpa saya sadari, ternyata itulah hari terakhir saya memeluknya. Karena setelahnya, saya kembali dari liburan dan dia meninggal ketika saya tidak berada di rumah.”

Konsentrasi kami sedikit terganggu ketika beberapa orang datang ke warung itu. Namun, saya  tetap tidak bisa meneteskan air mata.

“Lalu, apa yang kamu rasa sekarang setelah mama pergi begitu saja meninggalkan kamu?” dalam kesedihan itu, saya tetap ingin mencari tahu lebih dalam kisah yang sungguh menyedihkan itu dalam hidupnya.

“Saya menyadari satu hal bahwa besarnya cinta seorang mama telah membuat saya punya iman bahwa segala sesuatu mungkin sekalipun itu mustahil, dan  bagi saya, mencintai orang lain adalah suatu kewajiban atau tuntutan moral.”

“Mendalam sekali. Kata teman saya, mencintai orang adalah pilihan.” Saya coba menyelanya.

“Bagi saya itu kewajiban. Barangkali kamu tidak setuju. Tapi saya punya alasan. Saya sudah merasakan betapa berartinya hidup saya ketika seseorang mencintai saya setulus hati. Saya ingin semua orang merasakan bagaimana berartinya hidup mereka ketika mereka dicintai. “

Saya tidak bisa berdebat lagi ketika mendengar jawabannya. Saya hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala entah untuk keberapa kalinya.

******

 

Tidak terasa kami sudah hampir satu setengah jam dalam ruangan itu.

“Hey kami ada acara Valentine di kelas hari ini. Saya mungkin sudah terlambat.”

“hahahha kamu bawa kado apa?”

“Coklat. Coklat artinya cinta sih, kata orang.” ujar saya dengan sedikit agak malu. Lalu kami berdua berpisah saat itu. Saya berjalan ke kampus. Di tengah perjalanan itu, sebuah pertanyaan menganggu saya.

“Apakah artinya cinta buat saya?” tanya saya dalam hati.

Penulis adalah salah satu staf redaksi floresa.co

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini