Melawan Pragmatisme Bupati Mabar

Ino Mansur

Oleh: INOSENTIUS MANSUR

Bupati Manggarai Barat (Mabar), Agustinus Ch Dula kini “berubah” haluan. Hal ini tampak dari sikapnya yang “tiba-tiba” saja memberi sinyal untuk menyetujui privatisasi Pantai Pede.

Awalnya, saya merasa bahwa dia adalah bupati harapan rakyat, karena bersama rakyat pernah menolak “elitisasi” ruang publik seperti Pantai Pede. Tetapi kini, saya sungguh percaya bahwa dia adalah pemimpin oportunis, yang berjuang bukan lagi untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan pragmatisnya.

Dia tidak lagi figur yang mengakomodasi kehendak rakyat, melainkan tokoh antagonis yang hanya mengartikulasikan hasrat orang-orang “berada”. Bagaimana tidak, dia kehilangan otoritas sebagai bupati dan lebih memiliki mendukung rencana Gubernur Frans Lebu Raya mengambil Pantai Pede dari rakyat dan memberikannya kepada kaum bermodal.

Dia meninggalkan rakyat dan memilih bergabung dengan gubernur. Ya, tidak diragukan lagi bahwa orang nomor satu di Mabar itu mendukung rencana “pencaplokan” ruang publik itu dan memberikannya kepada kaum berpunya.

Dia “melegitimasi” keputusan gubernur yang sudah lama mengeluarkan izin kepada PT Sarana Investama Manggabar (SIM) untuk menguasai tanah yang katanya milik Pemerintah Provinsi itu. “Omong tentang Pantai Pede, kalau diminta saya ikut berjuang melawan gubernur, saya minta maaf. Saya bupati. Kalau saya pensiunan bupati, mungkin,” demikian pernyataan Bupati yang memperlihatkan ketakberdayaannya sebagai pemimpin daerah di depan pemimpin provinsi.

Atas hal itu, ada dua pendapat saya. Pertama, di satu sisi, sikap sang bupati yang “tiba-tiba” saja sepikiran dengan gubernur, merupakan sebuah “cara lain” untuk mengemis jatah dan meminta kepercayaan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Melihat persaingan untuk mendapatkan kendaraan politik semakin ketat, maka Dula pun harus segera meyakinkan PDIP bahwa dia adalah figur yang bisa diandalkan untuk menjadi pemimpin daerah.

Cara pertama yang dilakukannya adalah “mencari muka” dengan para petinggi partai itu, salah satunya adalah Frans Lebu Raya (pemimpin tertinggi PDIP di NTT). Bukan tidak mungkin, “kesepahaman” ini akan menjadi titik awal atau katakanlah sebagai salah satu poin untuk membuat nota “kesepakatan” antara PDIP sebagai partai pengusung dan Dula sebagai orang yang akan didukung.

Dula tahu, bahwa jika didukung oleh PDIP, maka dia akan dengan mudah maju sebagai orang nomor satu di Mabar Dengan demikian, pernyataan Dula ini merupakan bentuk manuver dan “konsolidasi” politik agar segera mendapat legitimasi dari PDIP. Tatkala PDIP belum juga secara jelas memberikan dukungan politik, dia lebih dahulu “menawarkan” jasa untuk segera ditindaklanjuti oleh PDIP.

Kedua, tetapi di sisi yang lain, sikap inkonsistensi Bupati Mabar ini memperlihatkan dengan jelas betapa dia tidak memahami esensi seorang pemimpin. Seorang pemimpin ada untuk rakyat, sebab jabatannya diperoleh karena diberi kepercayaan oleh rakyat. Rakyat percaya bahwa dia adalah figur yang bisa membebaskan mereka dari diskriminasi sosial.

Jika demikian, maka segala keputusannya mesti mengartikulasikan kehendak rakyat dan berkiblat pada liberalisasi rakyat. Seorang pemimpin mesti lebih mendengarkan rakyat dan mendesain keputusannya berdasarkan kehendak rakyat pula. Dia tidak boleh mengeliminasi cita-cita, harapan, kegalauan dan protes rakyat dari setiap kebijakannya.

Namun, yang terjadi tidaklah demikian. Demi mencapai kekuasaan dan mungkin juga demi memperkaya diri sendiri, Bupati Mabar menutup mata dan telinga terhadap desakan rakyat Mabar menolak privatisasi Pantai Pede. Bupati rupanya tidak tahu bahwa jika Pantai Pede diberikan kepada kaum bermodal, itu berarti rakyatnya sendiri menjadi “orang asing” di tanah sendiri.

Amat menyedihkan, kita memiliki bupati seperti ini. Di saat rakyat membutuhkan dukungannya untuk bersama-sama menolak memberikan ruang publik itu kepada kaum bermodal, dia malah beralih dan menentang rakyatnya sendiri.

Karena itulah, kita tidak boleh diam. Kita harus terus dan bahkan lebih militan lagi menolak kapitalisasi Pantai Pede oleh kaum kapital dan juga siapa saja yang berusaha untuk melumpuhkan gerakan itu dengan mencari perlindungan di bawah otoritas tertentu.

Saya tidak sedang “memobilisasi” rakyat untuk menolak ataupun membenci Bupati Dula, tetapi tatkala dia bersikap oportunis dan pragmatis, sambil mengabaikan rakyat, tidak ada cara lain selain melawannya.

Sebab ternyata, selama ini dia hanya memainkan politik manipulatif, terkesan pro-rakyat padahal secara perlahan tetapi pasti lagi menyakitkan mengalienasi rakyat dari tanahnya sendiri.

Tentu saja kita berharap, agar sang bupati menarik lagi ucapannya dan memberikan dukungan kepada rakyat yang menolak pengkaplingan ruang publik itu untuk kepentingan pribadi.

Jangan sampai hanya karena ingin mendapatkan dukungan parpol atau mungkin juga hanya untuk memperkaya diri, dia malah menabrak konsep kemaslahatan yang seharusnya datang dari rakyat sendiri.

Memajukan Labuan Bajo, tidak boleh hanya bergantung dari pembangunan sejumlah hotel megah di Pantai Pede. Bupati harusnya ingat bahwa Pantai Pede telah menjadi “milik” rakyat dan akan terus menjadi milik mereka sampai kapanpun.

Keberadaan Pantai Pede amat strategis, sebab itu akan menjadi tempat “melepas penat” bagi rakyat yang keseharian mereka sibuk bekerja. Pantai Pede adalah tempat mengafirmasi diri sebagai makhluk rekreatif.

Karena itu, jangan hanya melihat Pantai Pede dari segi pendapatan daerah. Belum tentu juga pendapatan yang diperoleh dari Pantai Pede akan diberikan kepada rakyat.

Jika rakyat tetap menolak dan pemerintah tetap ngotot melawan penolakan itu, bukan tidak mungkin konflik horisontal akan muncul. Sayangnya, gubernur dan bupati, kurang peka akan hal ini.

Penulis ada Rohaniwan dan Dosen di STIPAS St. Sirilus Ruteng, Manggarai

 

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini