Perihal Sikap Netral Gereja dalam Pilkada: Pilihan Ideal?

Uskup Ruteng Mgr Huber Leteng Pr berkali-kali menegaskan bahwa Gereja mengambil posisi netral dalam Pilkada Desember mendatang.  (Foto: katerdralruteng.com)
Uskup Ruteng Mgr Huber Leteng Pr berkali-kali menegaskan bahwa Gereja mengambil posisi netral dalam Pilkada Desember mendatang. (Foto: katerdralruteng.com)

Floresa.co – Bagi Gereja Katolik di Keuskupan Ruteng, netral menjadi kosa kata paling penting menjelang Pilkada Desember mendatang. Menjadi netral berarti tidak berpihak pada calon mana pun.

Pilihan sikap itu berkali-kali ditegaskan Mgr Huber Leteng Pr. Pada pembukaan Sinode III Sesi V yang berlangsung di Aula Efata Ruteng, 13 April 2015 lalu misalnya ia mengingatkan agar kaum klerus serta religius mengambil jarak dari sikap mendukung kandidat tertentu.

“Para imam dan segenap biarawan-biarawati, baik yang berada di komunitas-komunitas religius maupun yang bekerja di paroki-paroki dan di lembaga-lembaga Gereja tidak boleh ikut terlibat secara langsung atau tidak langsung, aktif atau pasif dalam menggolkan calon-calon atau paket-paket tertentu,” katanya.

Di satu pihak, apa yang disampaikan uskup dapat dipahami. Sebagai lembaga moral yang tanpa berafiliasi dengan kepentingan mana pun, Gereja sudah pasti tidak berpihak kepada calon tertentu. Agar masih bertindak bebas dan otonom, Gereja berupaya menjaga jarak.

Maka yang paling mungkin untuk diusahakan, sebagaimana kata uskup Huber, Gereja hanya menetapkan kriteria tertentu dalam pemilihan. Salah satu, misalnya, uskup menetapkan syarat bahwa bupati adalah figur yang tidak pro tambang.

Meski demikian, sikap tersebut tidak serta-merta jelas dengan sendirinya ketika harapan terhadap peran Gereja makin tinggi di tengah merosot tajamnya kepercayaan kepada para aparat pemerintah.

Sikap netral Gereja dapat saja dianggap sebagai pilihan politik yang pasif. Bahwasannya Gereja enggan terlalu sibuk dalam urusan politik. Gereja tidak berminat untuk berpartisipasi aktif menjelang Pilkada. Padahal, Pilkada adalah momentum berarti demi transformasi sosial.

Karena itu, sikap pasif tentunya sangat tidak diharapkan.

Harus selalu disadari bahwa kepercayaan terhadap Gereja masih mendarah daging dalam masyarakat di Manggarai.

Terlepas dari benar-salah secara rasional, misalnya, seringkali ucapan para uskup, biarawan/wati dan para imam diidentikkan dengan suara penuh kebenaran, kejujuran, ketulusan dan tanpa kepentingan apa pun.

Situasi demikian mestinya dimanfaatkan untuk membawa kebaikan umum di tengah masyarakat. Karena usaha itu masih sejalan dengan visi Gereja universal yang ingin membawa “Kerajaan Allah” yang ditandai dengan keadilan, perdamaian, dan persaudaraan di tengah dunia.

Sejurus dengan itu, agar tidak disalahpahami, penting bagi Gereja untuk mengkaji lebih lanjut secara kritis, akurat, dan terperinci tentang kriteria yang perlu dipenuhi oleh calon pemimpin.

Oleh karena itu, tidaklah cukup kalau hanya sebatas himbauan moral yang seringkali diungkap dengan bahasa yang abstrak-teologis-filosofis. Tidak diungkap dalam bahasa yang gamang dan susah dicerna bagi masyarakat kelas bawah.

Lalu, bagaimana?

Melihat Fakta, Bukan Siapa

Besar harapan, Gereja dalam hal itu para hierarki dapat menjadi inisiator untuk mengkaji persoalan di tengah masyarakat. Pertambangan tentu saja hanya salah satu persoalan.

Angka pengangguran yang semakin tinggi, kemiskinan, gizi buruk, korupsi, kemerosotan kualitas pendidikan dan kesehatan, dan masalah tanah adalah sejumlah persoalan yang sedang mengemuka.

Karenanya, penelitian yang komprehensif di banyak sektor mestinya diadakan agar akar persoalan dan varibel-variabelnya benar-benar dipahami khalayak.

Dari penelitian tersebut, sebuah cerita besar tentang persoalan Manggarai dapat diketahui publik. Sebagai inisiator tentu tidak berarti semua itu hanya menjadi tanggung jawab kaum klerus. Awam juga dilibatkan, entah dengan mekanisme seperti apa.

Jika demikian terjadi, maka akan tampak jelas bahwa Gereja akhirnya mempunyai keterarahan sikap politik yang jelas. Gereja melihat fakta, bukan siapa. Gereja membedah persoalan, bukan bertendensi mendukung calon mana.

Kalau ada calon-calon yang merasa dirugikan, maka tentu saja bukan karena Gereja bermaksud untuk mengucilkan calon-calon itu, tetapi kompetensinyalah yang tidak memenuhi standar.

Artinya, kerugian tersebut hanyalah konsekuensi tidak langsung dari ketegasan sikap Gereja yang dapat dipertanggungjawabkan.

Tentu ada alasan lain yang bersifat pragmatis. Semakin dekat dengan Pilkada, kompetensi semakin ketat. Masing-masing calon bukan tidak mungkin saling mengklaim visinya paling benar dan solutif daripada yang lain. Propaganda semakin intensif digencarkan oleh tim sukses masing-masing.

Di tengah iklim kompetitif tersebut, masyarakat adalah korban. Tanpa dilengkapi kedewasaan berpikir dan sikap kritis, masyarakat menkonsumsi “kebenaran” yang salah, lalu tergiring pada pilihan yang salah.

Apalagi, banyak visi dan misi dari para calon bertolak dari “asumsi” yang diperkuat dengan argumentasi asal-asalan daripada hasil penelitian di lapangan.

Dalam kegalauan kolektif tersebut dan saling curiga antara “umat” yang semakin meningkat, tanggung jawab Gereja adalah menyajikan informasi yang benar.

Sebab, masyarakat sudah lama haus dengan kebenaran. Karena itu, menyajikan informasi yang benar sama dengan pewartaan kabar gembira.

Dengan demikian, tuntutan agar Gereja turun dari menara gading semestinya merupakan suatu keniscayaan. Menganalisis masalah dengan pendekatan ilmiah adalah tanggapan yang sudah selaras dengan tuntutan zaman.

Kata-kata yang sederhana, solutif, dan mudah dicerna yang paling dibutuhkan dewasa ini. Tidak tinggal mengeram di ranah intelektual teologis dan filosofis.

Apakah Gereja Tersandera?

Syukur kalau dalam kenyataan sejumlah catatan kritis tersebut sudah mulai dipikirkan dan dikerjakan. Akan tetapi, bahayanya adalah apabila semua itu masih tinggal sebagai ide belaka, tanpa pernah diminati dan mau digarap secara serius.

Resikonya kemudian, kenyataan itu merangsang sejumlah pertanyaan, paling parahnya mencurigai kepasifan sikap Gereja. Mengapa, misalnya Gereja mengambil sikap yang masih tergolong normatif dan tidak mendorong gebrakan baru dalam mengadvokasi persoalan sosial di tengah masyarakat?

Dalam keseharian, sikap pasif (dibaca:diam)  tidak hanya berarti “tidak ada apa-apa, kekosongan, tanpa masalah,” tetapi juga berarti “sesuatu” yang dipelihara, dijaga tetap rahasia.

Dalam kasus-kasus yang sengaja didiamkan, alasan yang paling mungkin adalah konsekuensi yang diterima sangatlah berisiko jika terbongkar. Intinya, diam membuat banyak kemungkinan.

Dalam kaitan dengan kepasifan sikap Gereja, kecurigaan  yang paling mungkin adalah bahwa Gereja takut membongkar secara terus-terang persoalan yang ada di tengah masyarakat.

Karena, barangkali efeknya akan menjadi bumerang. Bukan hanya wajah pemerintahan yang bobrok yang tersingkap, tetapi justru potret buruk wajah Gereja juga bakal tersingkap.

Kenyataan demikian bukan tanpa alasan. Senggama antara kekuasaaan gerejawi dan pemerintahan bukan hal yang sama sekali baru, tetapi sudah dimulai berabad-abad lalu. Dalam konteks Manggarai, bibit-bibitnya sudah bisa terbaca.

Misalnya saja, beberapa imam beberapa waktu lalu justru nimbrung dalam urusan islah di lingkaran pemerintahan. Belum lagi, hadiah motor tiap tahbisan imam dari bupati, entah langsung atau tidak, dapat menumpulkan taring kritis para imam. Dan masih banyak kenyataan lain yang bisa diamati di tengah masyarakat.

Dengan demikian, sangat diharapkan menjelang Pilkada, Gereja sudah semestinya menjadi seperti nyala lilin di tengah situgas gelap yang menghinggapi masyarakat, untuk menentukan calon pemimpin seperti apa yang layak dipilih. (Gregorius Afioma/ARL)

 

spot_img

Artikel Terkini