Polisi dan Jaksa: Masih Sebagai Penegak Hukum?

Floresa.co – Hukum sering disebut sebagai panglima, karena selain berfungsi untuk mewujudkan keadilan, juga mendukung realisasi demokrasi. Tanpa supremasi hukum, demokrasi bakal berwajah anarkis dan totaliter.

Penting untuk ditegaskan bahwa dalam rangka penegakan hukum, selain kerangka objektif hukum itu yang perlu dipenuhi, unsur-unsur subjektif juga harus dibenahi.

Di Indonesia inilah titik persoalannya. Begitu banyak produk hukum yang berpihak pada nilai-nilai keadilan, akan tetapi menjadi persoalan ketika dikawal oleh aparat penegak hukum yang oportunis dan pragmatis.

Harus diakui bahwa lembaga kepolisian, kehakiman dan kejaksaan masih rentan dengan praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Berdasarkan hasil survey lembaga Transparency International (TI) tahun 2013 disebutkan bahwa kepolisian adalah lembaga paling korup, diikuti oleh DPR dan Pengadilan dan Kejaksaan.

Seolah menegaskan temuan tersebut, di Manggarai beberapa kasus penting juga bersinggungan dengan institusi kepolisian antara lain kasus dugaan korupsi 21 milliar yang langsung senyap dalam penyelidikan polisi, kasus penyelundupan minyak dan mafia proyek.

Kenyataan tersebut mengindikasikan, independensi pihak kepolisian dalam menangani kasus semakin disangsikan. Kebobrokan institusi penegak hukum demikian lantas menjadi momok yang menakutkan karena menjadikan demokrasi jauh dari cita-cita sejatinya. Demokrasi pada dasarnya mengedepankan kesetaraan dan penghormatan Hak Asasi Manusia.

Lalu, mengapa tujuan mulia dari demokrasi tersebut mustahil tercapai jika tak diimbangi oleh supremasi hukum?

Hukum sangatlah penting dalam demokrasi karena demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat. Rakyat dipandang setara dan punya hak mengatur pemerintahan. Akan tetapi karena manusia adalah makhluk berkepentingan diri yang selalu ingin kepentingannya didahulukan, maka demokrasi berpotensi menimbulkan kekacauan. Sebab manusia yang merasa diri sama dan setara itu akan bersaing agar kepentingannya diutamakan.

Di sinilah peran hukum. Hukum adalah mengatur mekanisme demokrasi agar tidak terjadi kekacauan. Hukum menjadi wadah agar kepentingan tiap orang tetap terakomodasi. Hukum menjadi panglima, sehingga ketamakan manusia bisa diredam demi kepentingan hidup bersama dan menghindari perang.

Sayangnya, karena penyelenggaraan hukum itu masih harus bergantung kepada aparat penegak hukum itu, esensi hukum belum tentu berjalan sebagaimana mestinya. Dalam kenyataan, tidak jarang pasal-pasal hukum menjadi komoditas yang diperjualbelikan secara sesuka hati oleh aparat penegak hukum demi mengisi pundi-pundi pribadi.

Bukti dari penyalahgunaan wewenang demikian terlihat beberapa istilah kunci yang selalu identik dengan institusi kepolisian. Selain istilah “rekening gendut” yang sudah terkenal di level nasional, istilah “ATM Polisi” dan “86” seolah sudah menjadi rahasia umum. Kedua istilah tersebut adalah menyangkut gratifikasi. Kalau tidak mau dijerat hukuman, silakan jadi “mesin ATM” bagi aparat.

Di situlah kelihatan jelas persoalannya. Kalau seorang pejabat eksekutif bermasalah secara hukum, sudah pasti akan diusut secara hukum. Begitupun dengan dengan anggota legislatif dan masyarakat lainnya. Kedudukan otoritas para penegak hukum memegang kendali dalam situasi ini. Hukum bisa diatur sesuka hati.

Pertanyaannya kemudian, kalau ada polisi atau jaksa yang membuat hukum bermasalah atau bermasalah secara hukum, bagaimanakah nasib mereka? Inilah pertanyaan paling sulit dijawab. Akan tetapi sekurang-kurangnya dalam konflik antara KPK vs Polri, kelihatan bahwa taring KPK sangat tumpul saat membongkar kotak pandora dalam institusi kepolisian.

Realitas tersebut seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi institusi hukum dan para anggotanya untuk berbenah diri. Kewibawaan polisi harus ditegakkan dengan cara menimbang segala persoalan dengan “mata tertutup”. Hanya melalui cara tersebut, integritas aparat penegak hukum yang selalu mendapat kredit rendah dari masyarakat bisa diperbaiki.

Sebaliknya kalau tidak dikoreksi, jangan heran kalau tindakan main hakim sendiri menjadi marak. Masyarakat tidak lagi percaya pada hukum objektif yang dibuat bersama, tetapi masing-masing orang cenderung menciptakan hukumnya sendiri-sendiri.

Sementara bagi masyarakat, jangan tutup mata untuk mengontrol skandal-skandal hukum. Perhatian terhadap lembaga eksekutif dan legislatif, harus sama  juga terhadap intitusi hukum seperti kepolisian dan kejaksaan.  Sebab kekuasaaan yang tanpa dikontrol pada lembaga yudikatif sama bahayanya kalau kewenangan besar menumpuk pada lembaga legislatif dan eksekutif.

Bukankah memiriskan jika sudah banyak kasus yang berhasil diusut, tetapi didiamkan begitu saja oleh aparat penegak hukum tanpa pertimbangan substansi persoalan yang jelas? Mirisnya lagi, semua itu seolah luput dari perhatian dan tekanan publik.

Tanpa kontrol publik, supremasi hukum dapat melemah sehingga sangat berpotensi memihak kepada kepentingan segelintir orang. Dalam hal ini, segelintir orang yang dimaksud adalah golongan yang berasal dari modal ekonomi dan politik yang kuat. Inilah yang mungkin melahirkan rejim oligarkhi.

Lantas, kekuatan minoritas seperti golongan kaya, kaum intelektual, dan dinasti bakal mengalahkan kepentingan bersama. Maka uang negara tidak mengalir ke orang banyak, tetapi berjalan mulus masuk ke kantung pribadi dari segelintir orang. Akibatnya, ada yang semakin kaya dan sementara yang lain bergulat di sekitar garis kemiskinan. Kesetaraan lantas tidak ada.

Oleh karena itu, jika mau perubahan, jangan hanya tanya siapa bupati dan wakilnya atau siapakah para anggota DPR, tetapi juga wajib bertanya, siapakah yang memegang kendali institusi-institusi kepolisian dan kejaksaan di Manggarai.

Selama kedua institusi tersebut menjadi sarang “penyamun” dan masih kurang diperhatikan, demokrasi tidak pernah menemukan rumah idamannya. (Gregorius Afioma)

spot_img
spot_img

Artikel Terkini