Islah Tidak Menghapus Unsur Tindak Pidana

Floresa.co – Akhir-akhir ini, dua kasus di Kabupaten Manggarai yang sempat menyedot perhatian publik dikabarkan berakhir dengan islah.

Dua kasus itu antara lain, pertama, yang melibatkan anggota DPRD Manggarai Marselinus Nagus Ahang dan Wakil Ketua DPRD Osy Gandut. Ahang yang semula melapor Osy ke polisi dengan tudingan menitipkan proyek di sejumlah instansi, mengaku sudah islah dengan Osy, yang juga melapor balik Ahang dengan tudingan pencemaran nama baik.

Baca: Polisi: Ahang dan Gandut Sudah Islah

Kasus kedua terjadi antara Dwi Jaya, pemilik CV Wijaya Mandiri dan Jefry Teping, staf di Dinas Pekerjaan Umum (PU) Manggarai.

Dwi melapor Jefry yang menulis status di Facebook, di mana Jefry mengungkap kejanggalan dalam penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) ruko milik Dwi.

Pada  Sabtu (13/6/2015), muncul kabar, pihak Jefry mendatangi Wakil Bupati Kamelus Deno, meminta Deno untuk memediasi islah dengan Dwi.

Kedatangan Jefry ditemani Romo Marten Jenarut Pr, Yani Rewos dan Yance Janggat.

Deno pun sudah menyanggupi permintaan itu dan mengatakan akan mempertemukan pihak Jefry dan Dwi.

Baca: Deno Akan Fasilitasi Mediasi Jefry Teping dan Wijaya Mandiri

Dalam dua kasus itu, islah seolah jadi kata yang mujarab untuk menghindar dari tekanan publik agar membongkar semua praktek busuk yang terjadi, baik di DPRD Manggarai, maupun di instansi PU dan Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP)  Manggarai yang menerbitkan IMB ruko Wijaya Mandiri.

Islah juga seolah dianggap sebagai jalan untuk menghentikan proses hukum terhadap kasus-kasus itu.

Namun, apa benar demikian?

Edi Danggur, dosen di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Jakarta mengatakan, dalam hal dugaan pelanggaran hukum publik atau dugaan pelanggaran hukum pidana, sejatinnya tidak dikenal islah.

“Mengapa? Sebab pengusutan dugaan tindak pidana tidak tergantung pada kehendak pelapor untuk mencabut pengaduannya. Atau tidak tergantung pada niat terlapor untuk berdamai atau islah. Pengusutan tetap harus dilakukan oleh penegak hukum,” katanya kepada Floresa.co, Selasa (16/6/2015).

Ia menegaskan, islah tidak menghilangkan unsur tindak pidana dari suatu perbuatan yang diduga merupakan tindak pidana.

Menurut dia, mediasi dalam rangka penyelesaian masalah secara damai tentu sangat bagus dan baik adanya.

Bahkan di pengadilan, kata dia, sebelum hakim memeriksa dan memutuskan suatu perkara, pihak-pihak yang bertikai diupayakan didamaikan oleh mediator.

Kalaupun mediator gagal mendamaikan kedua belah pihak, hakim sambil memeriksa perkara tersebut memberi kesempatan kepada para pihak untuk berdamai sebelum palu putusan diketuk.

“Itu pertanda, mediasi itu hal yang bersifat imperatif, bersifat memaksa. Konsekuensinya, kalau terbukti hakim tidak memberikan kesempatan kepada pihak-pihak untuk berdamai, maka putusan dalam perkara itu dinyatakan batal demi hukum (null and void), dianggap tidak pernah ada,” katanya.

Tetapi, demikian Edi, mediasi seperti di atas ada dalam sengketa keperdataan antara warga masyarakat, menyangkut hak-hak privat masyarakat.

“Sementara dalam kasus pidana dan pelanggaran hukum publik, tidak berlaku islah,” katanya.

Ia menegaskan, inisiatif mediasi atau inisiatif islah dalam kasus pidana dan pelanggaran hukum publik bahkan dapat dianggap sebagai kompromi atau konspirasi melakukan pelanggaran hukum. (Ari D/ARL/Floresa)

spot_img

Artikel Terkini