Mengapa Mesti Datangkan Guru dari Sragen untuk Mengubah Orang Manggarai?

Oleh: PASTOR DARMIN MBULA OFM

Kabupatan Manggarai menjadi salah satu daerah sasaran pengiriman guru-guru program Guru Garis Depan (GGD) dari pemerintahan Presiden Jokowi (Kompas, Selasa 26 Mei 2015, hal. 12).

Program GGD ini secara khusus menyasar daerah-daerah yang tergolong terdepan, terpinggirkan dan terluar (3T). Ini merupakan bagian dari realisasi Nawacita Jokowi, yang fokus pada upaya membangun daerah dari pinggiran.

Masuknya Manggarai ke dalam kategori 3T memang tidak hanya karena posisi geografisnya, tetapi juga karena de facto, perhatian untuk pendidikan di Manggarai memang masih sangat layak untuk disebut sebagai salah satu sektor yang tak terurus. Karena itu, sudah pantas dan layak menjadi sasaran Program GGD.

Agustin, salah seorang guru dari Sragen, Jawa Tengah yang akan diutus ke Manggarai mengatakan kepada Kompas,  ia ingin membangun pendidikan dan mental siswa yang lebih baik di Manggarai.

Di balik kebijakan Jokowi yang tentu konstruktif itu, pertanyaan besar kini menyeruak:  Mengapa harus datangkan guru dari Sragen untuk menubah orang Manggarai? Apakah orang-orang Manggarai tidak mampu membenahi sendiri sektor pendidikan?

Terpilihnya Manggarai sebagai salah satu daerah yang dunia pendidikannya masih dianggap masuk kategori 3T itu melahirkan gugatan terhadap banyak pihak, terutama mereka yang selama ini menjadi pemimpin.

Rasa-rasanya mereka tidak berbuat apa-apa dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan, baik untuk Pendidikan Anak Usia Dini, Sekolah Dasar dan Menengah maupun Perguruan Tinggi.

Bupati Christian Rotok dan Wakil Bupati Kamelus Deno layak disebut tidak berbuat apa-apa selama satu dekade terakhir memimpin Manggarai. Bukankah rentang waktu 10 tahun itu cukup untuk menghadirkan perubahan?

Dapat dikatakan bahwa pemerintah selama ini tidak fokus untuk meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan menengah, demi menciptakan sumber daya manusia (SDM) Manggarai yang bermutu tinggi.

Singkatnya urusan pendidikan hanyalah  sekedar “gega meka kaeng” bagi para birokrat. Menangani pendidikan, hanya sekedar main-main, tidak serius dan tidak fokus pada visi dan misi peningkatan kualitas SDM.

Ada beberapa indikator yang menjadi basis penilaian demikian. Pertama, penempatan kepala sekolah atau mungkin kepala dinas yang amat tergantung pada kontribusi sebagai tim sukses selama Pilkada.

Kepemimpinan kepala sekolah tidak berdasarkan standar kompetensi sebagai pemimpin. Sebagaimana ungkapan klasik mengatakan, “Ikan busuk mulai dari kepalanya, bukan ekor.” Artinya, jika kepemimpinan kepala sekolahnya tidak berkualitas, maka seluruh organ-organ di sekolah juga turut hancur dan babak belur.

Oleh karena itu, kalau mau serius mengurus sekolah di Kabupaten Manggarai, maka seleksi ketat dalam pemilihan kepala dinas serta para kepala sekolah adalah keharusan. Yang dipilih adalah yang profesional, bukan hanya karena jasa menjadi tim sukses bupati saat Pilkada.

Kedua, selain kepala sekolah yang tidak berdasarkan kriteria dan standar profesional dan kinerja, juga seleksi, pengangkatan dan penempatan guru-guru yang tidak merata dan berkualitas. Sudah lama keluhan dan keresahan terkait hal ini.

Konon, banyak guru yang diangkat tidak berdasarkan kualifikasi yang sesungguhnya. Pemerintah daerah perlu menempatkan guru-guru sesuai dengan kualifikasi dan mengajar sesuai dengan bidang studinya. Bukti ketidakseriusan pemerintah mengurus guru-guru yang berkualitas adalah dengan didatangkan guru-guru paket program GGD.

Ketiga, selain kepala sekolah, guru-guru juga tidak diurus dengan baik oleh pemerintah sehingga semakin kurus dalam mutu, juga staf-staf –  yang dalam bahasa undang-undang disebut tenaga kependidikan – seperti tenaga perpustakaan, tenaga administrasi dan penjaga sekolah yang tidak berkualitas.

Hampir pasti tidak ada tenaga pustakawan, petugas laboratorium yang berkualitas dan bermutu. Juga, hampir pasti tidak ada satu pun tenaga pustakawan yang diangkat berdasarkan kualifikasi D3 atau D4 Perpustakaan. Tenaga administrator, juga tidak memiliki kualifikasi dari tenaga D3  sekolah sekertaris.

Keempat, selain SDM yang kurang bermutu, juga pemerintah tidak mau tahu dengan sarana dan prasarana demi memenuhi standar nasional pendidikan.

Pemerintah lebih suka menelan dana yang seharusnya ditujukan untuk peningkatan mutu, lebih senang main proyek sehingga kualitas gedung, buku-buku, tidak diurus dengan baik.

Memang pemerintah saat ini banyak membangun sekolah hampir di setiap kampung. Namun, mereka tidak berpikir bagaimana melengkapinya dengan fasilitas seperti papan tulis, perpustakaan dan laboratorium. Tidak ada kemauan sama sekali untuk membenahi hal ini. Dana-dana bantuan untuk pendidikan seringkali lenyap begitu saja.

Berdasarkan sejumlah alasan ini, saya melihat, urusan pendidikan di Kabupaten Manggarai, sekali lagi, seperti “gega meka kaeng”. Lantas, perlu suntikan dan hentakan dari luar, dari Jokowi dan Menteri Anies Baswedan melalui program GGD.

Semoga apa yang dikatakan oleh Agustin bahwa ia datang ke kabupaten Manggarai dengan fokus memperbaiki kualitas pendidikan sungguh-sungguh terwujud sehingga Kabupaten Manggarai keluar sebagai pemenang dalam hal pembangunan manusia dan kebudayaan.

Akan tetapi, seperti ungkapan, “Anggur baru harus dalam kirbat yang baru”, semestinya berlaku juga untuk Agustin. Agustin yang baru harus juga dalam mentalitas birokrat pendidikan yang baru, bukan seperti sekarang ini.

Oleh karena itu Pilkada yang akan datang adalah sebuah momen untuk mengganti kirbat yang lama. Jika tidak, hampir pasti predikat 3T tidak akan menjauh dari Manggarai.

Penulis adalah Imam Fransiskan, Doktor Pendidikan Lulusan Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Terima kasih telah membaca artikel kami. Jika tertarik untuk mendukung kerja-kerja jurnalisme kami, kamu bisa memberi kami kontribusi, dengan klik di sini.