PHK Karyawan, Perusahaan Tambang Salahkan Warga di Timor

Floresa.co – PT Elgary Resources Indonesia (ERI), perusahaan tambang yang beroperasi di Oinbit, Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak terhadap 21 karyawannya.

PHK ini dilakukan setelah PT. ERI menghentikan aktivitas penambangan di Oinbit akibat blokade yang dilakukan warga setempat yang menganggap perusahaan mangan itu telah melakukan penyerobotan lahan masyarakat.

Hal ini terungkap ketika belasan karyawan yang di-PHK PT ERI mendatangi kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Naskertrans) TTU guna menuntut kejelasan nasib mereka pada Jumat (8/5/2015).

“Ada 21 orang karyawan yang kontrak kerjanya diputus sepihak oleh PT. ERI. Pemutusan kontrak itu dilakukan secara lisan oleh PT. ERI yang diwakili Denis Castillo selaku pelaksana kerja,pada tanggal 25 April 2015 lalu,” jelas Frans Teti, salah seorang korban PHK.

Hal ini cukup mengherankan para karyawan, lanjut Frans, sebab kontrak yang mereka buat dengan PT. ERI adalah kontrak tertulis, bukan kontrak lisan, yang masa berlakunya hingga September 2015.

“Kami sudah bertanya kepada Pak Denis mengenai masa kontrak yang belum selesai tetapi sudah diputus di tengah jalan, dan Pak Denis bilang kalau tidak puas silakan mengadu ke Nakertrans, makanya kami ke sini untuk tanya kejelasan nasib kami,” kata salah seorang karyawan yang enggan menyebutkan namanya.

Upaya pengaduan yang dilakukan karyawan ini agaknya menemui jalan buntu sebab pihak Nakertrans TTU justru membenarkan tindakan PT. ERI. Alasannya, perusahaan itu telah berhenti beraktivitas sehingga tidak ada pekerjaan yang perlu dilakukan para karyawan di sana dan gaji mereka tidak akan dibayar sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

Pihak Disnakertrans TTU juga membacakan surat yang dikirim oleh PT. ERI terkait pemutusan hubungan kerja tersebut dimana dalam salah satu poinnya disebutkan bahwa pemutusan kontrak kerja itu bukan dilakukan oleh PT. ERI melainkan dilakukan oleh masyarakat Oinbit yang melarang PT. ERI beroperasi di sana.

Sikap PT. ERI dan Disnakertrans TTU ini mengundang tanggapan dari Direktur Lembaga Anti Kekerasan Masyarakat Sipil (Lakmas) TTU, Victor Manbait. Dalam penilaian Victor, sikap ini menunjukkan bahwa ada upaya PT. ERI untuk melepaskan tanggung jawabnya dan melemparkan kesalahannya kepada masyarakat Oinbit.

“Tanggung jawab sepenuhnya ada pada manajemen PT. ERI, sebab yang mempekerjakan para karyawan berdasarkan kontrak tertulis adalah PT. ERI bukan masyarakat Oinbit. Kejadian ini jelas menujukkan bahwa PT. ERI bukanlah sebuah perusahaan yang profesional dan bonafide. Sebaliknya pihak Disnakertrans juga perlu mempelajari dengan teliti surat yang dikirim perusahaan dan aduan yang dilakukan para karyawan, bukan langsung membenarkan sikap perusahaan tanpa mendengar keterangan para karyawan. Hal seperti ini perlu diwaspadai, sebab jangan sampai perusahaan sengaja menuding masyarakat untuk mengadu domba karyawan dengan masyarakat Oinbit,” tandas Victor.

Persoalan antara PT. ERI dan para karyawan ini bukanlah yang pertama kali terjadi. Sebelumnya, pada Januari lalu pernah digelar dialog yang melibatkan anggota Komisi C DPRD TTU, Distamben TTU, dan Disnakertrans TTU setelah karyawan PT. ERI menuntut diberikan kontrak tertulis dan jaminan sosial oleh PT. ERI.

Pasalnya sejak November 2014 hingga Februari 2015 para karyawan dipekerjakan tanpa kontrak tertulis oleh PT. ERI. Ketika itu mereka diberi upah 750 ribu rupiah/bulan dengan waktu kerja 9 jam/hari dari pukul. 08.00-17.00.

Berdasarkan kontrak tertulis yang diberikan pada bulan Maret 2015, para karyawan memperoleh upah sebesar 925 ribu/bulan dengan jumlah jam kerja yang sama. Namun, baru dua bulan diberi kontrak kini mereka diberhentikan secara sepihak tanpa kejelasan tanggung jawab dari PT. ERI.

Hal ini jelas bertentangan dengan pasal 61 dan 62 UU No. 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.

Dalam pasal 61 ayat (1) disebutkan, “ Perjanjian kerja berakhir apabila: a). pekerja meninggal dunia; b). berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; c).  adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau d). adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.”

Sementara tanggung jawab atas pemutusan kontrak kerja diuraikan dalam pasal 62 UU 13/2003 yang berbunyi, “Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.” (Laporan Eman Tabean, Kontributor di Kefamenanu-TTU)

 

 

spot_img

Artikel Terkini