Dilema Kekuasaan dan Nyali Jokowi

Oleh: DOMINGGUS ELCID LI

Institusi kepresidenan nyaris tidak dianggap oleh lembaga-lembaga negara. Hampir pasti ‘permainan penangkapan’ Bambang Widjojanto, Abraham Samad, dan Novel Baswedan (BW) tanpa sepengetahuan Presiden. Polri sedang asik bermain dalam alam-nya sendiri.

Aslinya, situasi ini adalah potret sistem demokrasi Indonesia terkini yang tidak mampu menemukan bentuk ideal. Presiden Jokowi yang begitu populer saat Pemilu, seolah ‘tidak memiliki nyali’ menegakan prinsip publik. Ya, Presiden Jokowi seolah tidak memiliki wibawa meskipun dipermainkan oleh Kabareskrim yang diperintahkan untuk melepaskan penyidik KPK, Novel Baswedan. Kenapa?

Memparodikan demokrasi, menunggu autocracy?

Selama beberapa minggu ini tiga institusi penting dalam Negara Republik Indonesia telah melakukan ‘pelanggaran konstitusi’: (1) PDIP yang cuma meletakan Presiden sebagai petugas partai, (2) TNI AD yang cuma meletakan Presiden sebagai warga kehormatan, dan (3) Polri yang tidak menganggap Presiden ada.

Khusus untuk TNI AD dan PDIP, seharusnya keduanya paham bahwa kepala negara ada sebelum institusi lain hadir. Tanpa proklamasi Sukarno-Hatta, secara de jure Republik Indonesia tidak ada. Jika Jokowi selaku Presiden merupakan kelanjutan peran dari Sukarno selaku kepala negara kenapa hal mendasar ini tidak dipahami? Apakah hal ini tidak bertentangan dengan konstitusi?

Secara prinsipil ketiganya mengebiri arti Negara. Negara adalah Partai adalah versi Stalin. Negara adalah organisasi kuasa adalah versi Sukarno. Negara adalah TNI AD adalah versi Soeharto. Bagi Gramsci dalam teori negaranya, negara adalah kombinasi antara partai politik+masyarakat sipil.

Kritik terhadap TNI AD mungkin dianggap menggenaralisir, terutama untuk TNI AD pasca Soeharto. Transisi demokrasi Indonesia di tahun 1998 berlangsung dalam skala kerusuhan lebih kecil. TNI AD tidak sampai menghadirkan banjir darah ala Tiananmen. Meskipun dampak turunnya Soeharto tergambar jelas dalam berbagai kerusuhan sosial di seluruh Indonesia.

Ya, kita membutuhkan TNI AD dalam negara, tetapi kita jelas menolak kolonialisme internal. TNI harus kembali menjadi tentara rakyat. Konsep rakyat sendiri dibuka, di negeri ribuan pulau ini narasi lokal harus dipelajari, dan prinsip kenegaraan dibahas ulang agar tidak terjadi kolonialisme internal.

Dengan mengkritik PDIP tidak berarti seluruh usaha pembangunan partai dinolkan seperti yang jadi alibi PDIP, dianggap tidak ada (baca: deparpolisasi). Sebaliknya, jika sikap ngotot sebuah partai politik tidak bisa dijelaskan kepada publik, apakah itu wajar? Apakah partai politik dikelola dengan nalar terpisah dari nalar publik?

Dampak terhadap ketidakmampuan konsolidasi organisasi kuasa di era Presiden Jokowi amat jelas. Sistem demokrasi Indonesia sedang dipertaruhkan. Orang jelas bertanya mengapa sistem demokrasi yang begitu mahal dan memakan waktu tidak menghasilkan pemimpin ideal? Kenapa kualitas elit politik Indonesia malah mengalami involusi? Misalnya, apa mungkin membandingkan kualitas Sukarno dengan Megawati, atau Moeldoko dengan Hario Kecik, atau Hoegeng dengan Badrodin? Kenapa kaum progresif Indonesia hilang lenyap di era reformasi? Kenapa pemimpin yang berani, pemimpin yang punya prinsip, dan pemimpin yang visioner tidak hadir?

Lebih lanjut lagi, pembusukan terhadap ‘kepemimpinan populer’ aslinya sedang mendorong model autocracy ala Singapura, maupun dalam skala yang agak lain RRC. Kedua negara ini jadi contoh dalam pidato Ketua umum PDIP, padahal keduanya simbol anti demokrasi. Keduanya contoh favorit kaum kapitalis yang cuma faham kenaikan GDP dll.

Salah satu kekeliruan para petinggi di institusi-institusi pilar ini adalah model autocracy ala Singapura dijalankan dengan prinsip moralitas super. Artinya apa? Artinya kepentingan pribadi di bawah kepentingan publik. Coba temukan satu koruptor yang dilindungi Lee Kuan Yew.

Dalam kondisi ini pilihan kita makin sedikit. Reformasi sistem kepartaian, militer, dan sistem kepolisian merupakan tugas berat. Ketiganya tidak mungkin dikerjakan tanpa ‘kekuatan jaringan’ dan kepemimpinan yang visioner. Tidak mungkin kita cuma bertumpu pada media sosial. Penetrasi media sosial di Indonesia tertinggi di Asia Pasifik, sebaliknya jarak warga media sosial dari institusi-institusi resmi ini juga makin jauh.

Kekecewaan terhadap Presiden Jokowi terlihat jelas, karena saat ini mendapatkan reaksi keras di seluruh negeri karena KPK, institusi paling populer di Indonesia, dijadikan bulan-bulanan Polri, sebuah institusi yang paling tidak populer di Indonesia. Hal ini pun sudah bisa diprediksi, karena konflik lalu pun tidak mampu mendapatkan ‘kata final’ dari Presiden.

Jika Anda menertawakan Presiden maka mungkin Anda lupa bahwa sejak pelantikan Presiden hingga hari ini, konsolidasi kekuasaan di istana tidak pernah tunggal. Jika kuasa di istana tidak lah tunggal, maka kita harus memastikan siapa pemain lain di istana? Siapa penentu utama di istana?

Orang juga bertanya apakah ada organisasi solid dibelakang Jokowi agar ia tidak ‘dimakan’ para bandar lapar? Proyek infrastruktur yang dibangun di seluruh penjuru negeri pasti menggiurkan. Bagaimana kita tahu bahwa ‘kegaduhan politik’ yang terjadi di kalangan elit di Jakarta bukan lah bagian dari perebutan proyek infrastruktur alias perkelahian antar bandar?

Jika saat ini massa ingin bergerak maka pilihannya bukan menyerang Presiden Jokowi, tetapi secara jelas membidik institusi-institusi yang membangkang terhadap konstitusi. Kenapa? Jika Anda menyerang Presiden Jokowi yang sudah amat lemah posisinya, bukankan Anda ada dalam posisi yang sama dengan PDIP dan Polri?

Melanjutkan Reformasi?

Demokrasi jelas tidak populer jika ukurannya adalah pencapaian ala RRC dan Singapura. Tetapi demokrasi ala Indonesia jika dikerjakan dengan mengedepankan kepentingan rakyat, sesungguhnya merupakan harapan. Di tengah dunia yang sekat negara making mengencang, ketegangan rasialis begitu tajam, dan watak otoritarian dalam kendali nalar ekonom neoklasik, mungkin Indonesia mampu menemukan jalannya sendiri.

Sayangnya kecenderungan masuk ke dalam era autocracy tergambar jelas dalam komentar berandai-andai jika Prabowo yang menang, atau pun jika Moeldoko yang akan menang di Pemilu mendatang. Ini bukan soal dikotomi sipil-militer, tapi sekali lagi statecraft-nya apa? Negara Orde Baru model corporatist state yang dikerjakan dari awal tahun 1970-an terbukti gagal di tahun 1998. Model ini tidak memiliki harapan keberlanjutan. Bahkan RRC dan Singapura pun berhitung, berapa lama sistem authoritarian mereka bisa bertahan?

Titik mundur aktivis reformasi terjadi waktu Presiden Gus Dur diturunkan. Para kaum reformis tahun 1998 beranggapan bahwa turunnya Soeharto pertanda selesainya konsolidasi, dan bergegas hiruk pikuk dengan partainya masing-masing mengejar kuasa. Padahal selanjutnya kita sama-sama tahu, kekuatan politik reformasi pasca Gus Dur cuma lah kelakar. Sekedar bagi-bagi jabatan tanpa platform yang jelas. Jika kali ini kita ingin bergerak apakah kita siap membalikkan arah?

Selain memikirkan soal platform lanjutan reformasi, hal terpenting yang perlu kita lakukan adalah mengingatkan Presiden Jokowi untuk tegas. Seorang pemimpin yang visioner harus mampu mencari jalan dan menyelesaikan dilema kekuasaan. Artinya apa? Artinya seorang presiden tidak mungkin menyenangkan semua orang, tetapi ia harus bisa memastikan melakukan hal yang terbaik untuk Negara.

Penulis adalah peneliti IRGSC, sedang meneliti di Ash Center, Harvard Kennedy School. Tulisan ini diterbitkan pertama kali di Indoprogress.com. Diterbitkan kembali di sini atas izin penulis.

spot_img
spot_img

Artikel Terkini