Novanto: Investor Tambang atau Legislator?

Oleh: SILVI M MONGKO PR

Diskusi seputar “tolak tambang” kembali memanas pasca pernyataan kontroversial Setya Novanto beberapa waktu lalu pada kesempatan Seminar HUT Ke-410 Gereja Protestan masuk Indonesia yang bertajuk “Mampukah NTT sebagai Pintu Gerbang Selatan Indonesia yang Sukses” di Kupang (26/2/2015).

Menurut Novanto, ketika investor hendak masuk mengelola potensi yang dimiliki NTT, selalu saja dihadang oleh LSM dan masyarakat yang bernaung di balik Gereja. Padahal, demikian Novanto, NTT itu kaya dengan mangan, marmer, emas dan pasir besi. Sebab itu, menurutnya, Gereja sebagai elemen penting pembangunan NTT harus memberikan pencerahan kepada masyarakat dan LSM agar kekayaan tambang bisa dikelola oleh investor untuk kemajuan NTT.

Pernyataan tersebut kemudian menuai banyak protes dan desakan publik termasuk LSM dan Gereja, supaya Novanto mengklarifikasi pernyataan itu justru karena status gandanya: pengusaha sekaligus wakil rakyat (legislator). Yang pertama lebih sebagai kapitalis, yang mendewakan prinsip laba perusahaan, sedangkan yang kedua sebagai corong hak-hak politik rakyat.

Tampak dari pernyataannya, Novanto tersandung pada statusnya sebagai wakil rakyat, walaupun juga ia melabrak etika bisnisnya (tambang) karena lebih meninggalkan petaka bagi rakyat. Sebab itu, pada hemat saya, pernyataan Novanto meninggalkan sejumlah teka-teki sosial-politik yang mesti dijelaskannya lebih lanjut, apakah pernyataan tersebut terkait dengan statusnya sebagai investor tambang, ataukah sebagai legislator, wakil rakyat NTT?

Investor atau Legislator?

Jika pernyataan itu lahir dari hasrat terdalamnya untuk menjadi pengusaha sukses di bidang pertambangan, maka hemat saya, pernyataan Novanto itu bakal melabrak etika bisnis karena ia mengabaikan semua analisis dampak tambang bagi keutuhan lingkungan.

NTT sejauh ini selalu identik dengan krisis air bersih di mana-mana, lahan hutan dan pertanian yang sangat terbatas, rawan bencana serta terdiri dari gugus pulau-pulau kecil, maka sudah barang tentu tidak cocok menjadi sarang investor tambang. Sebab, kehadiran tambang secara langsung menegasikan semua unsur kehidupan tersebut. Sebagai seorang investor tambang, Novanto mesti memikirkan semua dampak itu bagi masyarakat.

Tambah lagi, pasca Sail Komodo 2013, NTT telah dipromosikan sebagai salah satu destinasi wisata dunia. Karunia wisata yang orisinal, kaya akan pesan kultural, religi, alam, dan aneka kearifan lokal mesti dijaga kelestariannya. Tanpa analisis yang canggih, promosi wisata itu bakal terkubur jika dipadukan bersama proyek tambang versi Novanto. Tambang justru menghadirkan monster yang mengancam eksistensi pariwisata. Lagi-lagi, Novanto tidak memperhitungkan dampak itu karena terlampau obsesif dengan kekayaan dalam perut bumi Flobamora.

Selanjutnya, apabila pernyataan itu lahir dari mulutnya sebagai corong rakyat NTT, maka terlihat sejumlah kelemahan fundamental seorang Novanto sebagai wakil rakyat.

Pertama, alienasi dari konteks politik. Novanto yang sudah lama malang melintang di dunia bisnis dan telah lama mencari suaka politik di NTT mestinya tahu betul keadaan rakyat dan daerah NTT.

Selama ini, selain problem lingkungan hidup, tambang juga meninggalkan jejak konflik sosial-politik tak terbantahkan, disharmoni horisontal, dan praktik dehumanisasi. Masih segar dalam ingatan publik akan reaksi penolakan “ibu-ibu bertelanjang dada” di Tumbak, Manggarai Timur beberapa bulan lalu.

Sayangnya, Novanto yang terpilih menjadi legislator berkat suara rakyat NTT tidak peka dengan situasi demikian. Gambaran seorang wakil rakyat yang terasing dari situasi rakyatnya sendiri. Memangnya, Novanto itu orang dari mana?

Kedua, pengabaian nasib rakyat. Pada hemat saya, selain Novanto menghina kemiskinan rakyat, pernyataan Novanto juga menyiratkan sikap culas seorang legislator yang tak peduli pada keadaan rakyatnya. Ini berbahaya sebab tatkala legislator acuh tak acuh terhadap fenomena ketidakadilan warganya karena ulah pertambangan, maka sesungguhnya ia sedang menindas dan membenarkan kejahatan atas warganya. Pernyataannya membenarkan dugaan motif bisnis di balik hasrat politiknya.

Sejatinya, seorang wakil rakyat mesti berjalan bersama rakyat, berjuang bersama rakyatnya, dan menjadi corong untuk mengartikulasikan kepentingan rakyatnya, bukan sebaliknya berseberangan dengan keinginan politik rakyatnya sendiri.

Yang terjadi, Novanto malah melihat rakyat, termasuk LSM dan terutama Gereja, sebagai pesaing bisnisnya. Menganggap masyarakat sebagai tembok penghalang investor tambang tak ubahnya melihat rakyat sebagai rival bisnis, bukan subyek politik yang perlu mendapat tempat dalam perjuangan politik. Ini sebuah kelemahan fundamendal pernyataan Novanto justru karena rakyat dilihat sebagai pesaing bisnisnya. Tak heran jika relasi yang terjalin menjadi sangat dominatif dan dikuasai prinsip atasan-bawahan dunia usaha. Rakyat dengan mudah diobjektivasi untuk kepentingan bisnis.

Ketiga, tambang tak punya kontribusi secara politik. Berbagai laporan sejauh ini, tambang sama sekali tidak memberikan laporan yang menggembirakan untuk kemakmuran rakyat dan mendokrak pendapatan asli daerah (PAD). Jika dilaporkan bahwa sumbangan tambang tidak lebih dari 0,012 persen untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) NTT, maka itu artinya kita sedang mengizinkan secara legal para investor merampok harta karun kita, lalu meninggalkan jejak kutuk bagi anak cucu kita kemudian.

Untuk konteks NTT, tambang justru meninggalkan mudarat, sengketa sosial, dehumanisasi, kehancuran alam ciptaan yang berdampak bagi kehidupan manusia.

Maka, kiranya menjadi jelas, bahwa tambang tidak bisa dipercaya dan tidak cocok bersarang di NTT. Sejauh ini, para investor tambang lebih leluasa mengeruk kekayaan bumi Flobamora justru karena praktik oligarki penguasa lokal dengan sesuka hati mengeluarkan izin usaha tambang tanpa memperhitungkan nasib lingkungan dan rakyat ke depan. Kita masih punya banyak potensi lain yang jauh lebih menjanjikan kesejahteraan sambil tetap memelihara keutuhan lingkungan dan relasi sosial masyarakat.

Untuk konteks khusus di Labuan Bajo, Manggarai Barat, hemat saya, pernyataan Novanto itu bisa dimengerti jika dihubungkan dengan polemik pengelolaan Pantai Pede akhir-akhir ini, karena nama Novanto disebut-sebut juga ada di balik investor yang hendak membangun hotel berbintang di sana. Artinya, sebagai pengusaha, Novanto lebih melihat reaksi atas penolakan masyarakat sebagai “penjinak” yang bisa menggagalkan investasinya.

Hukuman Politik!

Maka jelaslah bahwa masyarakat, termasuk LSM dan Gereja khususnya, menolak tegas investor seperti Novanto yang berhasrat mengeruk kekayaan ulayat rakyat NTT. Rakyat butuh investor yang membangun, yang menghargai hak-hak politik masyarakat.

Pernyataan Novanto hemat saya sebuah bumerang politik bagi dirinya, mengingat selain investor, ia juga adalah wakil rakyat NTT sekaligus Ketua DPR RI. Saya sendiri merasa heran, bagaimana mungkin seorang Novanto bisa sukses mencuri hati masyarakat NTT untuk kemudian memilihnya menjadi corong kepentingan rakyat, padahal di sisi lain ia membangun kerajaan investasi tambang yang justru banyak meninggalkan kutuk dan malapetaka bagi lingkungan dan masyarakat.

Karena itu, pernyataan Novanto bisa dijadikan catatan penting bagi rakyat untuk memberikan “hukuman politik” terhadap legislator demikian pada periode pemilu selanjutnya.

Intinya, rakyat mau NTT ini berkembang tanpa tambang, tanpa merusak eksistensi ciptaan dan berbagai warisan budaya serta kearifan lokal. NTT bisa maju jika bidang pariwisata, pertanian, peternakan, perkebunan, kelautan menjadi leading sector pembangunan, serta didukung oleh pemerintahan yang bersih, bebas korupsi, sehingga jatah pembangunan betul-betul dimaksimalkan untuk kemakmuran rakyat.

Penulis adalah rohaniwan dan pemerhati sosial-politik, tinggal di Kisol, Manggarai Timur

[Opini ini sudah dimuat di Harian Flores Pos dengan judul “Novanto dan Tambang” pada Senin (27/4/2015). Dipublikasikan kembali di sini demi pencerahan bagi publik.]

spot_img

Artikel Terkini