Saat Teroris Masuk Flores…

Floresa.co — Syarifudin bisa menjadi nila setitik yang akan merusak susu sebelanga.

Soalnya, terduga teroris yang ditangkap di Kampung Bambor, DesaWatu Wangka, Kecamatan Mbeliling Kabupaten Manggarai Barat ini langsung saja mengoyak ketentraman hidup masyarakat di Flores yang dikenal aman-aman saja dalam hal merajut pluralisme selama ini.

Tentu kegelisahan publik itu cukup beralasan. Pertama-tama terorisme sudah menjadi ketakutan publik (public phobia). Sewaktu bom Bali I pada 12 Oktober 2002, misalnya, ada ratusan orang meninggal. Yang lain mengalami cedera fisik yang parah. Sementara, yang paling membutuhkan waktu untuk diobati adalah efek psikologis. Tak heran, satu orang teroris saja sudah mampu memberikan efek ketakutan yang luas.

Alasan lain, kehidupan di Pulau Bunga seakan-akan steril dari jejak langkah teroris selama ini. Masyarakat sudah lama hanya menjadi penikmat berita-berita hangat terorisme di Jawa, Sulawesi, Sumatera dan Bali.

Kini situasinya berubah. Gerakan terorisme yang dikenal berbahaya itu tak lagi begitu berjarak. Bayangkan, pemuda asal Dompu (NTB) itu sudah menikah dengan seorang gadis dari Desa Siru, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat. Dengan mudahnya pula masyarakat menerima seorang teroris jaringan Santoso—sebuah kelompok teroris yang berbasis di Poso, Sulawesi Tengah—tinggal bersama mereka.

Kenyataan demikian tentu membawa implikasi sosial yang tidak ringan. Ancaman berbahaya terorisme yang kian dekat itu bukan tidak mungkin meningkatkan ketakutan sekaligus kecurigaan masyarakat. Lantas isu-isu terkait agama dan etnis bisa berhembus memperkeruh suasana.

Kenyataan buruk yang paling mungkin berikutnya, terjadinya konflik horizontal. Tanpa daya saring yang cukup bijak dan kritis, masyarakat di Flores yang dikenal mayoritas Kristen bisa melampiaskan amarah mengingat identifikasi teroris di tanah air sudah sangat jelas.Terorisme selalu dihubungkan dengan gerakan kelompok fundamentalisme Islam.

Sebelumnya kasus yang mengoyak kebhinekaan pernah terjadi pada awal tahun 2000-an. Kasus rabies mencuat di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai yang serentak disusuli pengrusakan massal terhadap warung-warung dan rumah orang “asing” di sekitar Ruteng.

Kemungkinan demikian jangan dianggap berlebihan. Tak jarang, gerakan radikalisme selalu ditanggap secara radikal pula. Contohnyata adalah penembakan anggota redaktur Charlie Hebdo di Perancis. Usai penembakan tersebut, isu Islam phobia meluas. Tentu amat mengherankan untuk konteks masyarakat Eropa yang sudah dianggap maju.

Bertolak dari kenyataan itu, tidak memandang sebelah mata persoalan ini adalah jawaban paling pertama. Sekurang-kurangnya masalah teroris tidak boleh dipandang sebatas masalah hukum. Artinya, konflik belumlah dianggap beres ketika seorang teroris ditangkap, dibawa ke mekanisme hukum formal dan menjalani hukuman.

Langkah antisipatif terhadap ruang tumbuhnya gerakan terorisme perlu diambil. Maka fakta yang perlu dipertimbangkan bahwa gerakan terorisme merupakan suatu paham ideologis. Artinya, membunuh seorang pemimpin jaringan tidak lantas menghentikan aksi terorisme. Tiap anggota bisa bertindak independen—lepas dari pemimpin—dan dibekali skill khusus.

Tanggapan dari pemerintah, para pemuka agama, tokoh masyarakat, dan para pendidik secara sinergis karenanya sangat diharapkan. Pencerahan kepada masyarakat segera diberikan melalui langkah-langkah yang konkret seperti seminar, kotbah, pengajaran dan lain sebagainya.

Sementara di tingkat pemerintahan desa, kewaspadaan terhadap orang asing patut ditingkatkan. Prosedur demi keamanan bersama harus diatur di tingkat Rukun Tetangga (RT). Orang asing dikenakan wajib lapor kepada Ketua RT setempat.

Di samping itu, kita tidak boleh lupa menyoroti soal sistem keamanan lintas pulau. Ada petunjuk kuat bahwa pengecekan dan sistem keamanan antarpulau, baik di bandara maupun pelabuhan tidak berjalan optimal.

Kasus teroris baru-baru ini hanya salah satu petunjuk tentang kelengahan itu. Kasus lain selama ini yang bisa dijadikan bukti adalah perdagangan manusia. Pemalsuan dokumen atau tanpa dokumen sekali pun dengan mudah membuat orang-orang seenaknya keluar-masuk pulau. Tentu karena kelalaian itu para teroris memanfaatkannya secara cerdik.

Atas dasar itu, evaluasi tentang sistem keamanan sangat mendesak. Tindakan tegas dari aparat keamanan sudah selayaknya hadir secara nyata. Oknum yang tak mempunyai dokumen resmi siap diganjar hukuman. Pun praktik-praktik tak wajar dari pihak yang terkait diberikan sanksi yang tegas.

Jika langkah-langkah demikian benar-benar diambil, kita memang bisa sedikit bernafas lega. Artinya, ketakutan bahwa Syarifudin adalah nila setitik yang merusak kenyaman hidup dalam nirvana pluralisme di Flores selama ini tak sampai bertahan lama.

spot_img

Artikel Terkini