UN (yang) Tidak Sah

Oleh : LORENS SANTOS

Ketika berada di dalam kelas dan sedang mengajar peserta didik Kelas XII, hampir setiap pertemuan (tatap muka) saya biasanya menyadarkan para murid tentang sulitnya menghadapi Ujian Nasional (UN). Namun tanggapan yang muncul amat beragam sesuai dengan karakter peserta didik. Ada siswa yang sangat serius, biasa saja (meminjam bahasa mereka), bahkan ada yang terlampau santai (untuk mereka yang tidak serius).

Berdasarkan syering pengalaman dari guru-guru yang lain, tanggapan demikian membuat guru merasa lebih deg-degan dibandingkan anak didiknya. Guru kadang telampau panik dan takut jika siswa tidak lulus atau mendapat hasil yang kurang memuaskan. Apalagi, ada pandangan bahwa hasil peserta didik adalah gambaran kualitas dan kerja keras guru. Hal itu sangat menggerogoti isi hati dan kepala para guru.

Guru lalu melakukan berbagai cara dan usaha memotivasi anak didiknya agar serius dalam menghadapi UN. Latihan soal, pendalaman materi, atau berbagai aktivitas lain dilakukan agar peserta didiknya benar-benar siap dalam menghadapi UN. Terkadang begitu keluar dari kelas, raut wajah guru begitu lusuh dan terlihat stres. Dari situ kita bisa menebak kalau guru tersebut baru saja “tidak menikmati” pelajaran karena banyak siswa yang sulit memahami materi atau cara menyelesaikan soal yang dia ajarkan.

Semakin mendekati hari pelaksanaan UN, guru semakin meyakinkan anak didiknya dan menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab itu kepada mereka. Guru memotivasi anak didiknya bahwa yang menentukan kesuksesan dan keberhasilan mereka adalah bagaimana persiapan mereka. Satu hal yang penting dan sering disampaikan guru adalah sikap jujur dalam menghadapi UN. Segala tindakan dan perbuatan siswa di dalam ruang ujian merupakan tanggung jawab mereka sendiri. Bila berlaku jujur, maka perasaan mereka akan tenang. Namun, bila mereka melakukan perbuatan curang tentu mereka tahu apa resiko yang akan mereka hadapi.

Namun, semua itu terlihat hampa dan tidak berarti ketika mengetahui kenyataan bahwa soal UN dinyatakan bocor. Banyak informasi yang beredar bahwa di sekolah-sekolah tertentu bahkan para siswanya sudah mendapatkan bocoran sejak seminggu sebelum UN. Awalnya, hal ini tentu berupa desas-desus. Namun, ketika media mengangkat berita ini ke permukaan, pihak Bareskrim Polri sudah menentukan tersangka pembocor soal UN, dan pemerintah yang mengakui adanya kebocoran soal UN ini membuat semuanya terlihat jelas bahwa pelaksaan UN tahun ini dilaksanakan dengan tidak jujur.

Sebanyak 30 paket soal Ujian Nasional (UN) tingkat SMA dari total 11.730 paket soal bocor ke publik. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan menyebut 30 paket itu dicetak di Perum Percetakan Negara RI. Anies mengatakan, hal tersebut diketahui dari kode yang tercantum dalam soal UN yang diunggah ke Google Drive. Tiga puluh paket soal itu merupakan soal yang sedianya untuk 2 daerah yaitu Aceh dan Yogyakarta (Detik.com, 17/04/2015).

Peristiwa bocornya soal UN ini tentu mencederai kejujuran yang ditanamkan oleh guru kepada peserta didiknya. Kita tentu berharap bahwa pelakunya bukanlah seorang guru. Tanpa perlu mencari tahu siapa pembocor soal UN ini dan berbagai sanggahan dari pihak pemerintah yang menyelenggarakan UN, keabsahan UN atau tepatnya hasil UN ini tentu patut dipertanyakan.

Selain mengenai kejujuran, apakah mungkin hasil UN yang saat ini dipakai untuk mengukur kualitas, indeks kejujuran, dan integritas sekolah diperoleh dari sebuah proses yang tidak benar atau ilegal? Seberapa kecil pun persoalan ini, tetap harus dilihat secara makro bahwa sebuah hasil yang dipakai untuk mengukur sesuatu tentu dengan timbangan yang jujur. Mendikbud juga menyatakan bahwa ada 11.730 paket soal UN, 11.700 aman, dan 30 paket dinyatakan bocor. “Jadi 99,99 persen aman, yang 0,1 persen bocor”. Semoga kalimat ini bukanlah sebuah pembenaran, karena kenyataan bahwa soal UN yang bocor adalah bentuk timbangan yang tidak jujur.

Mendikbud, Anies Baswedan pun mengakui bahwa yang terjadi ini adalah sebuah tindakan melawan hukum, ribuan orang bekerja keras untuk UN ini, ribuan orang yang menjemput ke tempat ujian ini sudah bekerja keras dari subuh hingga pelaksanaan ujian selesai. Lalu ada satu-dua orang yang meng-upload. Ini adalah sebuah pengkhianatan yang luar biasa atas kedisiplinan.

Hanya Anies lupa bahwa yang paling merasa dikhianati dalam hal ini adalah para guru dan para siswa yang telah berperilaku jujur. Ada begitu banyak pihak yang berusaha untuk jujur, sementara ada pihak lain yang dengan mudah mengakses soal yang sudah bocor. Kalau sudah demikian faktanya, lalu pertanyaan yang paling penting untuk dijawab adalah apakah pelaksanaan UN dan hasil UN bisa dianggap sah?

Hal ini tentu bisa dijawab dengan mudah jika kita menggunakan filosofi bahwa hasil yang baik dan jujur diperoleh dari timbangan yang jujur. Ketika proses UN dilaksanakan secara tidak jujur, mustahil hasil UN dipakai untuk mengukur kualitas, indeks kejujuran dan integritas sekolah.

Kalau ada pihak yang mengatakan bahwa toh itu hanya terjadi pada segelintir wilayah dan hanya sebagian orang, pasti pernyataan itu muncul dari pihak yang sama sekali tidak merasakan bagaimana susah payahnya menyiapkan para siswa dalam menghadapi UN. Peserta didik yang masih remaja sangat perlu untuk diajarkan tentang kejujuran. Lebih penting dari itu, mereka harus diteladani dalam hal kejujuran. Ketika saat belajar dan menempuh pendidikan mereka melihat sebuah ketidakjujuran menggilas kerja keras mereka, kita bisa menebak generasi seperti apa mereka di masa depan. Mereka akan menganggap bahwa kejujuran hanyalah sebuah guyonan dan bahasa pemanis bibir.

Penulis adalah guru kelahiran Manggarai, sekarang mengajar di Mahatma Gading School, Jakarta.

spot_img

Artikel Terkini